JAKARTA (IndependensI.com) – “Pelayanan Fisioterapi Secara Formal Sudah ada sejak tahun 1950 an , ketika seorang Dokter bedah orthopedi Indonesia bernama Dr. Soeharso banyak menolong para Anggota Tentara nasional Indonesia dan rakyat pejuang yang menjadi korban agresi militer belanda ke 2 1948 di Rumah sakit di Solo.
Saat itu Dr Suharso membawa seorang Fisioterapis dari Perancis untuk terlibat menangani pasien guna mengurangi kecacatan. Setelah Periode ini maka Fisioterapi mulai diajarkan kepada anak bangsa melelui pendidikan formal dan terus berkembang menjadi pelayanan baku di Rumah Sakit.
Berbeda dengan awal kiprahnya hari ini Profesi melayani spektrum gangguan gerak dan fungsi yang lebih luas, tidak saja mencegah kecacatan tetapi juga menyembuhkan cidera, neningkatkan produktifitas dan prestasi. Hari ini Fisioterapi berkiprah di Rumah Sakit , Klub olahraga, Klinik, Panti , sekolahan, Perusahaan dll.
Secara definisi Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis
dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi.
SEJARAH PENDIDIKAN FISIOTERAPI DI INDONESIA
Berawal pada tahun 1956 berdiri Sekolah Perawat Fisioterapi yang diikuti oleh utusan dari Rumah Sakit dan orang yang telah berpengalaman dalam bidang keperawatan selama 2 tahun dan memiliki ijazah SMP. Kemudian, pada tahun 1957 didirikan Sekolah Assisten Fisioterapi.
Perkembangan selanjutnya berdiri Akademi Keperawatan Fisioterapi (1967–1970). Awal berdirinya Akademi Fisioterapi Murni Non. Keperawatan pada Tahun 1970 di Solo-Jawa Tengah. Yang kemudian disusul pada tahun 1984 Akademi Fisioterapi (Akfis Depkes Ujungpandang) di jalan adiaksa,kemudian direlokasi ke Daya Ujungpandang tahun 1988.
Usaha terus menerus dan tak pernah lelah dari Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan fisioterapi yang jauh tertinggal dengan negara lain di dunia bahkan untuk kawasan asia tenggara sekalipun. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan daya saing Bangsa Indonesia.
Selama lebih dari 32 tahun sejak tahun 1970, Fisioterapis yang berkecimpung dibidang pendidikan bersama dengan IFI terus berupaya agar jenjang pendidikan Fisioterapi dapat meningkat dari pendidikan Diploma 3 yang selama ini ada ke jenjang yang lebih tinggi.
Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan terwujud di awal tahun 2000 yaitu dikeluarkannya izin program Diploma 4 Fisioterapi yang pertama kali di salah satu universitas swasta di Jakarta, dan akhirnya saat ini tahun 2017 pendidikan fisioterapi di Indonesia telah mencapai jenjang profesi.
Dalam 10 tahun terakhir perkembangan pendidikan fisioterapi berkembang sangat signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan pangkalan data perguruan tinggi (PD Dikti) Hingga saat ini tahun 2018 terdapat 59 institusi penyelenggara pendidikan fisioterapi yang terdiri dari 39 Program studi Diploma III, 8 program studi diploma 4, serta 11 program studi S1 Fisioterapi dan 5 institusi program studi level profesi Fisioterapi
SEJARAH IKATAN FISIOTERAPI INDONESIA
Perkumpulan persatuan dari suatu profesi fisioterapi pada waktu itu dibentuklah suatu wadah atau organisasi untuk profesi Fisioterapi pada tahun 1961 yang bernama HAFI – Himpunan Asisten Fisioterapi Indonesia, yang bertujuan untuk memperkenalkan profesi yang baru ini kepada saudara-saudara kita yang bekerja dalam bidang kesehatan lainnyadan masyarakat luas.
Keadaan pada waktu itu lulusan Fisioterapi langsung mendapatkan ikatan dinas dan ditempatkan, (sesuai dengan ketentuan Departemen Kesehatan). Atas dukungan Bpk. Prof. Dr. Suharso (Supervisor RC pada masa itu), kawan-kawan Fisioterapi bergerak untuk segera membentuk organisasi Fisioterapi yang bertujuan agar profesi Fisioterapi selain bekerja dalam membantu pemulihan kesehatan pasien yang non infectious, fractur, dislokasi dan degenerative deases juga agar Profesi Fisioterapi di Indonesia dapat setara dengan Fisioterapis dari luar negri terutama dari Negara Persemakmuran, Eropa dan Amerika Serikat. Organisasi ini disebut IKAFI.
Pengurus IKAFI yang pertama (1968 – 1970) adalah Ketua Umum – Albert Siahaan, MNZSP, Sekretaris Jenderal – Boedoyo,SMPh. Pada periode ini sudah terbentuk DCAFI (cabang) untuk wilayah : Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Semarang. Dan IKAFI pun diterima oleh organisasi fisioterapi dunia yaitu World Confederation for Physical Therapy (WCPT) sebagai Temporary Member of WCPT (London).
Pada tahun 1970 Ketua Umum IKAFI diundang ke Amsterdam untuk mengikuti kongres WCPT. Kemudian diadakan Kongres pertama IKAFI yang diadakan di Jakarta. Dengan kekuatan bersama dari semua Panitia dan Anggota serta Sponsor yang mendukung, Kongres pertama pun sukses digelar. Dalam Kongres I yang dibuka atas nama MenKes tersebut berhasil dibuat pengesahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Program Jangka Pendek dan Jangka Panjang IKAFI. Dibentuk pula kepengurusan pusat IKAFI untuk periode berikutnya (1970 – 1974), dimana Bpk. Albert Siahaan dan Bpk. Boedoyo kembali terpilih masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal IKAFI.
Pada tahun 1974 Ketum IKAFI berangkat ke Montreal untuk menghadiri kongres WCPT dimana pada saat itu IKAFI masih distatuskan sebagai anggota sementara WCPT. Lalu diselenggarakanlah Kongres ke II IKAFI di kota Bandung, dimana terpilih Bpk. Drs. Suhardi, SMPh sebagai Ketua Umumnya.
Perubahan IKAFI menjadi IFI bermula semenjak kepengurusan pusat, aktif bergerak di konsorsium kesehatan (CHS) yang dipimpin oleh Bpk. Prof. Dr. Ma’rifin Husin, MSc. Dimana beliau pada saat itu menganjurkan agar IKAFI berubah singkatan menjadi IFI. Pada akhirnya, nama organisasi Fisioterapi pun berubah dari IKAFI menjadi IFI. Setelah sebelumnya disetujui melalui Kongres VII Makasar pada 1996.
Upaya pengembangan organisasi dan profesionalisme, Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) terus berupaya meningkatkan standar kompetensi anggotanya dengan berbagai kegiatan pendidkan, Ilmiah dan pengabdian masyarakat. Atas dukungan dari para pemangku kepentingan, Ikatan Fisioterapi Indonesia berusaha memberikan kemampuan terbaiknya untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, produktif dan berprestasi.
Secara organisasi data terakhir sejumlah 34 Daerah Provinsi dengan 160 cabang dengan jumlah anggota terregistered 12.967 anggota.
MENJAWAB TANTANGAN MASA DEPAN
Pergeseran pola dan demografi penyakit di dunia dari penyakit-penyakit infeksi ke penyakit degeneratif, peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dikenal sebagai fenomena transisi epidemiologi-demografi, yang antara lain diakibatkan oleh kecenderungan pola hidup yang serba duduk (sedentary living) dan kurang gerak/kurang aktivitas fisik.
Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) terus berupaya untuk dapat berkontribusi dan mengambil peran strategis dalam permasalahan kesehatan di Indonesia. Namun masih dijumpai adanya permasalahan pelayanan fisioterapi di masyarakat berupa hambatan akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan fisioterapi.
Hambatan akses dapat berupa terbatasnya jumlah pelayanan fisioterapi di Indonesia, adanya peraturan yang saling tumpang tindih bahkan cenderung berlawanan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya adanya ketentuan BPJS yang mengharuskan setiap pasien mendapatkan konsultasi oleh dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (Sp,KFR). Hal ini terjadi oleh karena ketidakpahaman dan kurangnya kemampuan literasi pengambil kebijakan tentang Fisioterapi sebagai profesi, fisioterapi sebagai ilmu dan fisioterapi sebagai pelayanan.
Setiap tenaga kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan profesinya, hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang No 36 tahun 2009, Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No 65 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi hendaknya menjadi acuan kebijakan pemerintah termasuk BPJS dalam membuat ketentuan karena hal tersebut telah diamanahkan dalam Undang-Undang.
Namun kenyataan saat ini, pelayanan fisioterapi bagi masyarakat terhambat dan menjadi tidak optimal oleh adanya ketentuan dari BPJS tersebut. Efektifitas dan efisiensi pelayanan fisioterapi juga tidak dapat diwujudkan, pelayanan fisioterapi yang berkualitas menjadi sulit didapatkan oleh masyarakat karena tindakan fisioterapi ditentukan oleh profesi lain yang pemahaman dan pengetahuannya tentang fisioterapi justru sangat terbatas.
Solusi terbaik adalah memberikan kewenangan kepada fisioterapis untuk menjalankan proses fisioterapi sesuai dengan standar pelayanan fisioterapi yang tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 65 tahun 2015. Agar para fisioterapis dapat memberikan kompetensinya secara penuh untuk sebesar-besarnya bagi masayarakat.
Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) telah melakukan berbagai langkah untuk dapat meningkatkan kompetensi anggotanya baik secara formal dan informal.
Tercatat kegiatan P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) yang diselenggrakan dalam rentang 18 bulan terakhir pada kepengurusan ini terdapat 868 kegiatan ilmiah baik dalam bentuk seminar dan workshop Fisioterapi dengan nara sumber dalam dan luar negeri. Hal ini menunjukkan tingginya intensitas pembelajaran di lingkungan fisioterapi untuk meningkatkan kompetensi Anggotanya.
Sejalan dengan hal tersebut, pada ulang tahun yang ke 50, maka Ikatan Fisioterapi Indonesia akan melaksanakan sebuah agenda besar yaitu, International Conference Indonesian Physiotherapy Asoociation 2018 (2018) yang akan di hadiri oleh peserta dan nara sumber berbagai negara. Kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada 14-16 Agustus 2018 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC).(BM/ist)