IndependensI.com – Kurs rupiah menyentuh Rp. 15.000 per dolar AS membuat semua panik, sementara segelintir orang mencari-cari kesalahan mengapa itu terjadi dan meramal yang akan terjadi serta membandingkannya dengan tahun 1998, bahkan ada pihak tertentu seolah senang bila kemelut itu berkecamuk.
Perilaku para politisi seperti itu hendaknya ditahan dulu sebab kalau terjadi yang terkena imbasnya adalah kita semua sebagai masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, di mana para komentator dan kritikus itu juga bagian dari republik ini.
Ada baiknya disadari bersama, bahwa tidak ada pemerintah yang menginginkan pemerintahannya mengalami kemelut sekecil apapun, demikian juga pemerintahan Jokowi-JK. Kalau terjadi gejolak rupiah dengan dollar AS bukan karena kesalahan kebijakan atau karena mementingkan diri sendiri atau kelompok.
Seandainya ada kekurangan Pemerintah sewajarnyalah yang memiliki kemampuan memberikan jalan ke luar agar bangsa ini terbebas dari kemelut, tidak sebaliknya justru mencari-cari kelemahan. Memang pertarungan politik menjelang pemilihan presiden adalah wajar tetapi tidaklah menggunakan kemelut bangsa dijadikan alat menjatuhkan lawan. Kita berharap, kalau tidak bisa membantu ya paling tidak janganlah menambah beban.
Bagi masyarakat banyak sebenarnya sederhana saja, bagaimana supaya dapat hidup wajar dengan kemampuan memenuhi kebutuhan, rakyat tidak senang direcoki kepentingan-kepentingan yang mengurangi keharmonisan hidup apalagi mempertentangkan keberadaan sehari-hari yang tanpa sekat dan batas.
Setiap permasalahan harus ada jalan ke luarnya, dan untuk tiba pada jalan ke luar itulah dibutuhkan kejujuran semua pihak, untuk saling mendukung dan saling menopang terlepas siapa yang menjadi nakhoda, masinis dan kelasi bahtera itu. Tetapi yang jelas bagaimana agar selamat ke pelabuhan sebagai tujuan bersama yaitu hidup yang aman, damai dan sejahtera.
Banyak pihak mengkhawatirkan akan terjadinya krisis ekonomi seperti di tahun 1998 sekaligus mengutak-atik risiko yang menanti, serta tanpa disadari timbul berupa kekeliruan dan seolah tanpa harapan. Padahal sepatutnya justru kita sebagai komponen bangsa harus saling menguatkan menghadapi kemelut tersebut.
Untuk memberikan sedikit perbandingan antara kerisis ekonomi tahun 1998 dengan yang kita hadapi saat ini, ada baiknya dikemukakan parameter yang beredar di media sosial perbandingan antara tahun 1997-1998 dengan 20017-2018 yaitu:
September 1997 Rp. 3.030/USD menjadi Rp. 10.725/USD September 1998 (rupiah terdepresiasi 254%); sementara September 2017 Rp. 13.345/USD menjadi Rp. 14.815/USD September 2018 (rupiah terdepresiasi 11%). Kalau pelemahannya seperti 1998, Rupiah seharusnya mencapai Rp. 47.241/USD pada September 2018.
Cadangan devisa 1998 USD 23,61 miliar, sementara cadangan devisa 2018 USD 118,3 miliar. Peringkat Surat Hutang Pemerintah pada tahun 1998 JUNK, peringkat surat hutang pemerintah pada 2018 Invesmment Grade.
Net Capital Inflow Triwulan II 1998 –USD 2.470 miliar sementara Net Capital Inflow Triwulan II 2018 USD 4.015 miliar. Pertumbuhan ekonomi Triwulan II 1998 -13.34% (yoy) sedang pertumbuhan ekonomi Triwulan II 2018 5,27% (yoy).
Inflasi Agustus 1998 78,2% (yoy) sedang inflasi Agustus 2018 3,2% (yoy) serta angka kemiskinan 1998 24,2 % atau 49,5 juta orang sementara Angka kemiskinan 2018 9,82% atau 25,9 juta orang.
Dari angka-angka statistik di atas kita berharap badai ekonomi global itu dapat kita hindari dengan partisipasi semua pihak yang bertanggungjawab secara hukum, faktual dan moral untuk mengatasinya.
Kita berharap semua industri berjalan normal dan produksi tetap lancar sehingga tidak ada perusahaan yang tutup serta PHK karyawan dapat dihindari, yang perlu juga diintensifkan seruan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar menghemat serta tidak membeli barang-barang mewah. Dengan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekspor serta mengurangi impor serta menunda proyek-proyek yang tidak mendesak, maka ketahanan ekonomi kita akan semakin kuat sampai gejolak global juga mereda.
Dengan pengendalian yang cermat serta perhitungan yang matang dan pemeliharaan stabilitas keamanan dan politik, pemerintah akan mampu mengurangi akibat tekanan ekonomi global. Tetapi pemeliharaan stabilitas dan ketahanan nasional bukan hanya tanggungjawab pemerintah, juga partai politik dan para cendekiawan. Persaingan dalam Pilpres boleh beda, tetapi dalam mengatasi kemelut nasional adalah tanggungjawab bersama. (Bch)