Pemimpin oposisi Kamboja, Kem Sokha (kiri), digiring polisi di rumahnya di Phnom Penh pada Minggu (3/9/2017). Dia ditangkap atas tuduhan makar terhadap Perdana Menteri Hun Sen. (AFP)

Pemimpin Oposisi Kamboja Ditangkap dengan Tuduhan Makar

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pemimpin oposisi Kamboja, Kem Sokha, ditangkap dengan tuduhan makar, Minggu (3/9/2017). Penangkapan ini diduga terkait dengan kecaman yang terus dilancarkan Kem Sokha terhadap Perdana Menteri Hun Sen.

Sebelumnya, pemerintah Kamboja juga memberangus Lembaga Swadawa Masyarakat (LSM) dan pers Kamboja yang kritis lewat keputusan pengadilan. Langkah ini dilakukan rezim Hun Sen jelang pemilihan umum tahun depan.

Hun Sen berniat memperpanjang kekuasaannya yang sudah berlangsung tiga dasawarsa. Tapi belakangan ini popularitasnya mulai disaingi Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP).

Pernyataan pemerintah menyebutkan “rencana konspirasi rahasia antara Kem Sokha, kelompoknya, dan orang asing yang membahayakan Kamboja,” dan menambahkan bahwa Kem Sokha ditangkap pada Minggu dini hari waktu setempat.

“Konspirasi rahasia di atas adalah tindakan makar,” kata pernyataan tersebut tanpa merinci tuduhan terhadap Kem Sokha.

Kem Sokha adalah pemimpin CNRP yang dibombardir dengan sejumlah kasus di pengadilan, larangan, dan ancaman.

Dia dibawa dengan tangan terborgol “oleh 100-200 orang polisi tanpa surat perintah setelah mereka menyerbu rumahnya,” kata putrinya, Kem Monovithya, di Twitter.

Pada Sabtu (2/9/2017), laman berita pro-pemerintah Fresh News menuduh Kem Sokha dan kelompoknya membahas cara menggulingkan Hun Sen dengan bantuan Amerika Serikat. Sejauh ini belum ada bukti atas tuduhan tersebut.

Pekan lalu, AS menyatakan “keprihatinan mendalam” atas demokrasi di Kamboja setelah pemerintah Kamboja mengusir sebuah LSM Amerika dan memberangus media independen.

Di antara media yang bakal digulung adalah Cambodia Daily. Surat kabar terpandang itu sering memuat artikel yang mengkritisi pemerintah.

Cambodia Daily terancam ditutup pada Senin (4/9/2017) jika tidak membayar tagihan pajak sebesar US$6,3 juta. Harian itu memandang ancaman tersebut sebagai langkah politik pemerintah untuk menghentikan pemberitaan kritis.