JAKARTA (Independensi.com) – Anthropolog Sekolah Tinggi Teologi (STT) Gereja Kristen Kalimanatan Evangelis Banjarmasin, Pendeta Dr Marko Mahin, S.Th, MA (49 tahun), menegaskan, figur Hakim Adat Dayak, dimana biasa disebut Temengggung di Kalimantan Barat, Damang (Kalimantan Tengah), Pemanca (Sarawak) dan Anak Negeri (Sabah), merupakan pewarta atau pembawa atau penyebar agama asli Suku Dayak, penduduk pribumi di Pulau Borneo.
Hakim Adat sebagai pewarta agama asli Suku Dayak, karena didasarkan sebuah pemahaman universal, kebudayaan melahirkan agama, agama adalah produk budaya. Jadi bicara masalah Kebudayaan Suku Dayak, terutama terkait adat istiadatnya, otomatis bicara masalah agama asli Suku Dayak.
“Hakim Adat Dayak yang didaulat secara independen dari komunitas internal, merupakan orang yang dipercaya menyampaikan pesan Tuhan, di dalam mengatur etika berperilaku anggota komunitas adat Suku Dayak yang bersangkutan, demi terciptanya kedamaian, ketentraman, kesantunan dan keseimbangan alam,” ujar Marko Mahin, Selasa malam, 19 Desember 2018.
Karena eksistensi Masyarakat Adat bisa dilihat dari ada masyarakat adatnya, ada sejararahnya, ada pemimpin adatnya seperti Temenggung, Damang, Pemanca atau Anak Negeri, ada kelembagaan dan ada wilayahnya berupa peta dengan batas yang jelas.
Menurut Marko Mahin, masyarakat Adat Suku Dayak, secara historis, telah ada jauh sebelum ada kesatuan politik negara (state) baik Kerajaan Melayu Islam, pemerintahan Kolonial Belanda, Jepang, maupun Indonesia.
Mitos suci
Dalam Mitos Suci, Masyarakat Adat Dayak, menurut Marko Mahin, telah ada sejak penciptaan alam semesta, telah tinggal di Pulau Borneo, sebelum adanya kerajaan Hindu-Budha, Islam, Belanda, Jepang dan Indonesia.
Penemuan Ilmiah terbaru (2018) di Liang Jeriji Saleh, Kalimantan Timur, ditemukan “Lukisan Binatang Tertua Di Dunia” berusia 40.000 tahun. Itu berarti komunitas adat itu telah ada 40.00 tahun silam.
Secara teori Masyarakat Adat Dayak adalah sekelompok individu masyarakat pribumi Pulau Borneo yang bersekutu membentuk community (Kampong, Lewu, Tumpuk, Banua, Betang, Rumah Panjang) atau kesatuan hidup manusia yang menempati suatu tempat dengan batas wilayah yang jelas, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta terikat dalam satu rasa identitas komuniti. Komunitas-komunitas itu kemudian membentuk kelompok yang lebih besar yang disebut masyarakat.
Lahirnya komunitas Adat Suku Dayak, karena satu asal-usul nenek moyang, kesamaan bahasa, dan tinggal di satu wilayah yang sama, ada sejarah asal mula, sejarah perpindahan desa, sejarah para tokoh Desa.
Kelebihan memahami
Dikatakan Marko Mahin, seorang Hakim Adat dipercaya dan dipilih oleh masyarakat Adat, dengan pemahaman primus inter pares: yang terkemuka dari semua, memiliki kelebihan dari yang lain, seperti memiliki kelebihan memahami, mengerti Hukum Adat dengan baik, berani, pandai bicara dan berhikmat dan bijaksana, bisa merangkul semua orang, berjiwa pemimpin, kaya, sehingga mampu beri makan semua orang, sehat jasmani dan rohani.
“Hakim Adat Dayak merupakan panggilan Illahi, bukan jatah atau quota atau warisan, dan siap hidup terkutuk apabila terbukti berbuat salah,” kata Marko Mahin.
Dari aspek sosiologi adat sebagai sistem untuk mengatur komunitas dan masyarakat, bisa disimpulkan, interaksi melahirkan adat berupa norma-norma, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan, tata susila/etika, budaya, sistem nilai, dan hukum.
“Dari aspek anthropologi adat berasal dari Tuhan, sebagaimana penuturan Imam Agama Kaharingan, salah satu agama asli Suku Dayak disebut Basir, dimana Hukum Adat berasal dari Ranying Hatalla Langit. Schärer (1963) menyatakan bahwa hadat telah ada sejak penciptaan,” ujar Marko Mahin.
Hadat adalah perintah-perintah atau tuntunan-tuntunan yang bersumber dari peristiwa-peristiwa suci yang dialami oleh para leluluhur pada awal mula zaman. Misalnya hadat kawin bersumber dari peristiwa perkawinan manusia pertama Manyamei dan Kameloh yaitu nenek-moyang manusia orang Dayak Ngaju.
Secara anthropologi dan sosiologi, lanjut Marko Mahin, adat adalah sistem atau hukum yang lahir atau berasal, dipelihara atau dijaga oleh keputusan-keputusan masyarakat adat, terutama keputusan-keputusan berwibawa (berotoritas) para ketua adat yang bertugas memimpin dan melaksanakan peradilan adat untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang senafas-seirama dengan keyakinan dan kesadaran masyarakat adat.
“Keseluruhan sistem atau hukum atau peraturan yang terwujud dalam bentuk peraturan para fungsionaris adat. Inti dari adat adalah hidup harmoni secara vertikal, hidup harmoni secara horizontal. Manusia beradat adalah manusia yang hidup harmoni secara vertikal dan horizontal,” ungkap Marko Mahin.
Ruang hidup kita
Menurut Marko Mahin, wilayah adat adalah ruang hidup kita. Wilayah Adat adalah tempat harta-kekayaan, kehidupan kita. Wilayah Adat adalah eksistensi kita. Wilayah Adat adalah identitas Dayak. Berkaitan dengan itu, petakan wilayah adat Dayak sebelum orang lain memetakannya.
Akitifitas adat sebagaimana tertuang di dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tahun 2000, dalam pasal pasal 18B, menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Masyarakat adat memiliki kegiatan ritual tahunan, berupa: ritual ladang (pesta panen, Naik Dango), ritual kelahiran, perkawinan, kematian, ritual masuk rumah. Sementara kegiatan kebudayaan, pertunjukan seni budaya, festival kuliner, festival permainan rakyat.
“Sehubungan dengan itu, maka eksistensi masyarakat Adat Dayak tergantung kita, orang Dayak, karena hukum Adat Dayak hidup dan ditegakkan oleh kalangan internalnya, sehingga kalau bukan kita orang Dayak yang menggerakkan dan melestarikannya siapa lagi? Kalau bukan sekarang melakukan pelestariannya, kapan lagi?” tanya Marko Mahin. (Aju)