Diskusi dihadiri oleh 3 narasumber di antaranya Prof. Gerry van Klinken (Peneliti Senior KTLV Belanda), Dr. Dianto Bachriadi (fellow CSEAS, Kyoto University), dan Dr. Sri Lestari Wahyuningroem (Dosen Ilmu Politik UPNVJ).

Mahasiswa Ilmu Politik UPNVJ Gelar Diskusi “Kewargaan dan Keadilan Transisi”

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik, Program Studi Ilmu Politik, FISIP UPNVJ bekerja sama dengan Jurnal Prisma menggelar acara Diskusi Publik dengan tema “Kewargaan dan Keadilan Transisi”

Diskusi ini dihadiri oleh 3 narasumber di antaranya Prof. Gerry van Klinken (Peneliti Senior KTLV Belanda), Dr. Dianto Bachriadi (fellow CSEAS, Kyoto University), dan Dr. Sri Lestari Wahyuningroem (Dosen Ilmu Politik UPNVJ).

Acara ini berlangsung pada hari Rabu (29/6/2019) pukul 13.00 di Auditorium 101 FISIP UPNVJ. Yayasan Obor dan Jurnal Prisma juga membuka stand buku yang dapat dibeli di depan ruang auditorium.

Diskusi ini dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama narasumber diberi kesempatan memaparkan materinya masing-masing dan sesi berikutnya yaitu sesi tanya-jawab antara audiens dengan narasumber.

Hal pertama yang dibahas oleh Gerry ialah mengenai kewargaan. Aristoteles menyatakan warga adalah seorang yang ikut ambil bagian dari pemerintah dan diperintah.

Menurut Gerry kewargaan yang dibahas di dalam buku bersifat dinamis karena dapat dipelajari di lapangan sebagai contoh konflik agraria di Sulawesi Selatan.

Gerry juga mengutip kalimat dari Engin F Isin yang mengatakan “Untuk memahami politik sekarang ini, kewargaan adalah sebuah kaca atau jendela untuk memahaminya lebih baik,” ujar Antropolog Gerry.

Menurutnya, tantangan paling utama untuk teori politik ialah memetakan praktik-praktik di dalam masyarakat politis timur. Sementara itu perjuangan kewargaan adalah untuk membuktikan bahwa masyarakat biasa juga dapat ikut andil dalam pemerintahan sebab warga negara lah yang menjalankan proses demokrasinya sendiri.

Setelah pemaparan dari Gerry dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Dianto. Ia mengawalinya dengan mengkritik buku Citizenship in Indonesia karya Ward Berenschot dan Gerry van Klinken karena terlalu fokus pada desentralisasi.

Selanjutnya Dianto membahas mengenai perjuangan dan perlawanan warga untuk merebut haknya. Ia menyampaikan isu-isu tentang kewargaan baru muncul setelah tahun ’98 karena banyak berita yang bertebaran mengenai perjuangan dan perlawanan dari warga untuk merebut haknya.

“Sebelum ’98 justru merupakan momen-momen yang sangat kewargaan karena bagaimana warga negara merebut yang seharusnya menjadi haknya,” ujar Dianto.

Dianto berpandangan untuk melihat kewargaan Indonesia perlu melihat kembali sejarah dari bangsa Indonesia itu sendiri. Menurutnya, demokratisasi yang diperoleh setelah ’98 tidak berhasil mendorong munculnya lembaga yang mengerti akan kesetaraan dan hasilnya banyak kebijakan yang bersifat diskriminatif.

Di samping itu, Dianto juga membahas mengenai berlangsungnya sikap-sikap politik dan sosial yang hidup dalam masyarakat. Ia mencontohkan korban kasus ’65 yang ingin memperjuangkan hak-haknya yang telah hilang langsung dicap sebagai komunis dan halal untuk disembelih. “Kewargaan seharusnya merupakan penghormatan pada hak warga yang lain,” tegas Dianto.

Menurutnya salah satu sistem politik dan prosedur politik yang penting untuk memulihkan hak-hak orang yang hilang akibat kekuasaan otoriter adalah dengan mandeknya keadilan transisi.

Selain itu, ia juga mengatakan politik identitas menemukan jalan yang terlalu cepat dan salah arah sehingga harus dipikirkan bagaimana memaknainya kembali. Permainan-permainan politik identitas dalam berbagai tingkat justru membahayakan nilai kewargaan yang melihat aspek kesamaan warga negara.

Dianto menilai partisipasi merupakan hal yang penting. Namun perlu dipertanyakan kembali apakah partisipasi yang selama ini dilihat dan didengar adalah bentuk-bentuk partisipasi yang mencerminkan sebagai hal yang esensial dari kewargaan. Menurutnya partisipasi adalah hak untuk mengatur diri sendiri dan kemudian mengikuti peraturan itu.

Selanjutnya pemaparan dari Sri L. Wahyuningroem atau yang akrab dipanggil Ayu. Pada awal pemaparannya ia menunjukan beberapa grafik mengenai Indeks Demokrasi Indonesia dari tahun ke tahun yang menunjukkan peningkatan. Namun di samping itu, ia juga menunjukan masih adanya tindakan represif yang kontras dengan demokrasi.
Ayu melihat Indonesia dari kacamata kewargaan.

Menurutnya, berbicara mengenai kewargaan maka berbicara mengenai partisipasi. Menurutnya kewargaan dibentuk dan dipraktikkan bukan dengan sesuatu yang given atau by it self melainkan dengan perjuangan politik. Selain itu, ia juga melihat kajian-kajian kewargaan di Indonesia masih mengadopsi kajian-kajian dari luar dan masih sangat asing. (Sekar Ayu)