JAKARTA (IndependensI.com) – Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menilai, penunjukan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri sebagai Pelaksana tugas (Plt) Menteri Pemuda dan Olahraga merupakan langkah Presiden Joko Widodo untuk menyenangkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Menurut saya mungkin Presiden ingin menyenangkan PKB supaya jabatan ini tidak kemana-mana,” ujar Hendri seperti dikutip dari Antara, Jumat (20/9/2019). Dia menambahkan, keputusan Presiden untuk memberikan posisi rangkap jabatan kepada Hanif merupakan langkah yang kurang tepat.
Jika memang Jokowi menginginkan adanya posisi rangkap jabatan menteri, maka seharusnya yang menjadi Plt Menpora adalah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Hal itu terkait posisi Kemenko PMK yang dipimpin Puan membawahi delapan kementerian, termasuk Kementerian Pemuda dan Olahraga. “Jadi harusnya sama Menko PMK, karena secara organisasi lebih tepat,” ucap Hendri.
Namun demikian hal tersebut tidak bisa diperdebatkan lantaran Jokowi telah mengambil keputusan menunjuk Sekjen PKB tersebut sebagai Plt Menpora. Hendri mengatakan, untuk kedepan kinerja Hanif dalam memimpin dua kementerian diprediksi tidak akan terlalu berat, mengingat masa jabatan menteri akan berakhir pada Oktober 2019. “Kan hanya tinggal sebulan lagi, saya rasa sih tidak akan terlalu banyak mengganggu pekerjaan dan mengganggu prestasi kabinet kerja,” ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Plt Menteri Pemuda dan Olahraga.Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan Bogor, pada Jumat (20/9/2019) mengatakan, terdapat sejumlah pertimbangan dalam pemilihan Hanif sebagai plt Menpora. Salah satunya karena alasan politik, yakni Hanif berasal dari partai politik yang sama dengan Imam, Partai Kebangkitan Bangsa.
Sebelum Revisi
Sementara itu pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan, proses penyelidikan dan penyidikan untuk tersangka mantan Menpora Imam Nahrawi (IMR) dan asisten pribadinya Miftahul Ulum (MIU) dilakukan sebelum revisi UU KPK terjadi. “Jadi, penyelidikan dan penyidikan dilakukan sebelum revisi UU KPK terjadi,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Febri mengungkapkan, penyidikan untuk dua tersangka tersebut sudah dilakukan sejak 28 Agustus 2019. Lebih lanjut ia menyatakan, pengumuman tersangka adalah bagian dari pertanggungjawaban KPK pada publik. Menurutnya, informasi telah dimulainya penyidikan pihaknya sampaikan ke masyarakat agar dalam pelaksanaan tugasnya KPK juga dikawal dan diawasi. “Namun memang dalam setiap kasus jarak pengumuman dengan penetapan tersangka berbeda-beda. Semua tergantung pada karakteristik dan kebutuhan tindakan awal dari kasus tersebut,” ucap Febri.
Pernyataan tersebut sekaligus mengklarifikasi pernyataan Imam yang baru mengetahui statusnya sebagai tersangka pasca jumpa pers oleh KPK, Rabu (18/9/2019) sore. Selain itu, kata Febri, dalam kasus tersebut ada enam saksi yang sudah diagendakan pemeriksaan. “Kemudian tersangka MIU diperiksa dan ditahan 20 hari pertama dan kegiatan penyidikan lainnya. Namun, untuk pemenuhan hak tersangka, sekitar tiga atau empat hari KPK langsung mengirimkan pemberitahuan pada tersangka,” ujar Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif juga memastikan tidak ada motif politik sama sekali terkait penetapan Imam tersangka. “Itu tidak ada motif politik sama sekali kalau mau motif politik mungkin diumumkan sejak masih ribut-ribut kemarin, tidak ada,” ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/9/2019).