JAKARTA (Independensi.com) – Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Zainud Tauhid, menegaskan, siap mengerahkan 45 ribu penyuluh agama untuk memberangus paham radikal, intolerans dan terorisme, demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berideologi Pancasila.
Hal itu dikemukakan Zainut Tauhid di Kantor Kementerian Agama Republik Indonesia, Jakarta, usai dilantik menjadi Wakil Menteri Agama, Jumat, 25 Oktober 2019. Zainut Tauhid, mendampingi Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama.
Pernyataan Zainut Tauhid, menggambarkan keinginan serius pasangan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo – Wakil Presiden, K.H. Ma’aruf Amin, untuk memberangus kelompok radikal, pasca dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indoneia (MPR-RI), Minggu petang, 20 Oktober 2019.
Dalam lima tahun terakhir, terasa sekali derasnya arus pemaksaan kehendak kelompok Islam garis keras untuk menggantikan ideologi Pancasila menjadi paham kekhilafahan sebagaimana diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sehingga dibubarkan Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017.
Kendati demikian, memberangus paham radikal, intolerans yang selalu berakhir dengan aksi terorisme, mesti bersikap hati-hati. Apalagi jika hanya dilihat secara parsial dari sudut pandang Kementerian Agama Republik Indonesia.
Apabila program Kementerian Agama Republik Indonesia, tidak memperhitungkan akar dari karekter, identitas dan jatidiri bangsa Indonesia, maka pemberantasan paham radikal, tidak akan membuahkan hasil.
Hegemoni agama impor
Harus disadari, Indonesia, Malaysia dan Filipina, merupakan tiga contoh negara di Asia Tenggara yang gagal total di dalam membentuk karakter, identitas dan jatidiri masyarakatnya.
Penyebabnya, karena sumber keyakinan iman (agama impor) di Indonesia, Malaysia dan Filipina, dipaksa menjadi acuan etika berperilaku. Di Indonesia, dan Malaysia, hegemoni Agama Islam, sangat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Malah di Malaysia, Agama Islam, sebagai agama resmi negara. Sementara di Filipina, aplikatif iman Katolik, sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dampaknya, karakter, identitas dan jatidiri masyarakat di Indonesia, Malaysia dan Filipina yang bersumber dari kebudayaan sendiri, hilang, dan bahkan musnah.
Hegemoni agama impor dengan jaringan infrastrukturnya yang sudah sangat mapan, membuat masyarakat di Indonesia, Malaysia dan Filipina, menjadi kehilangan karakter, identitas dan jatidiri.
Peradaban Asia
Dalam anthropologi budaya menyebutkan, kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial (sistem religi di dalamnya), ekonomi dan politik.
Jadi, bicara masalah kebudayaan sebuah negara dan sebuah suku bangsa, dimanapun berada, otomatis di dalamnya bicara masalah sosial dengan sistem religi (agama) di dalamnya, bicara masalah ekonomi dan bicara masalah politik dari sebuah negara atau sebuah suku bangsa yang bersangkutan.
Peradaban kebudayaan masyarakat di Benua Asia, memang bertolak belakang dengan Kebudayaan Barat yang mengedepankan rasionalitas. Masyarakat di Asia, termasuk di Indonesia, menganut trilogi peradaban kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.
Trilogi peradaban kebudayaan Asia dimaksud, membentuk karakter, identitas dan jatidiri manusia di Benua Asia beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama dan negara.
Karakter, identitas dan jatidiri manusia di Asia, termasuk Suku Dayak di Kalimantan yang beradat, lahir dari sistem religi yang berurat-berakar atau bersumber doktrinnya meliputi legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.
Jadi, di negara manapunn di dunia, karakter, identitas dan jatidirinya, selalu bersumber dari sistem religinya. Sama halnya dengan karakter, identitas dan jatidiri Suku Bangsa Yahudi yang membentuk sebuah negara bernama Israel.
Karakter, identitas dan jatidiri Suku Bangsa Israel, bersumber dari legenda suci Israel, mitos suci Israel, adat istiadat Israel dan hukum adat Israel yang sekarang tergambar di dalam Kitab Suci Injil, terutama di dalam Perjanjian Lama, bagi Gereja Katolik dan Gereja Kristen.
Menyadari hal itu, maka Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), melahirkan ideologi Pancasia, sebagai filosofi etika berperilaku seluruh Bangsa Indonesia. Pancasila, menurut Soekarno, disarikan dari kebudayaan berbagai suku Bangsa di Indonesia.
Karena Suku Dayak di Kalimantan dan Suku Jawa di Pulau Jawa, misalnya, merupakan bagian integrasi Bangsa Indonesia, maka kebudayaaan kedua suku ini di Indonesia, turut andil di dalam melahirkan ideologi Pancasila.
Jadi, dengan mencintai, melestarikan dan merevitalisasi Kebudayaan Dayak dan Kebudayaan Jawa di Indonesia, misalnya, sebagai bentuk nyata dari pengamalan ideologi Pancasila.
Dengan demikian, antara agama sebagai sebuah sumber keyakinan iman dan sistem religi berbagai Suku Bangsa di Indonesia, harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, agar tidak dituding mencampur-adukkan ajaran agama.
Karena ketika terjadi pemaksaan kehendak sumber keyakinan iman (agama) menjadi ideologi negara di Indonesia, maka di situlah titik awal kehancuran kebudayaan Indonesia yang dimaknai pula sebagai bentuk nyata pengingkaran dan bahkan pengkhianatan terhadap ideologi Pancasila.
G30S 1965
John Roosa, seorang peneliti berkebangsaan Kanada, penulis buku: “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto”, sebagaimana dikutip indoprogress.com, 12 September 2012, menyebutkan, karakter, identitas dan jatidiri Bangsa Indonesia, musnah, hilang, sebagai dampak Gerakan 30 September (G30S) 1965.
G30S 1965, merupakan kudeta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) di bawah kendali Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letnan Jenderal TNI Soeharto difasilitasi Central Inteligence Agency Amerika Serikat (CIA AS) terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.
G30S 1965, bukti kemenangan Ideologi Liberalis di bawah kendali AS di dalam memenangkan pertarungan melawan Ideologi Sosialis di bawah kendali Soviet (Rusia) di Indonesia. Indonesia sendiri, dilahirkan Presiden Soekarno, berurat-berakar dari ideologi sosialis, tapi sudah disesuaikan dengan alam dan budaya Bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Pasca G30S 1965, karakter, identitas dan jatidiri Bangsa Indonesia yang sebelumnya nasionalisme, cinta kebudayaan sendiri, menurut John Roosa, berubah total menjadi semangat anti komunisme, dengan berbagai implikasinya yang sangat serius.
Di antaranya, pada tahun 1978, Pemerintah Indonesia, mewajibkan seluruh warga masyarakat memeluk salah satu agama.
Kewajiban memeluk salah satu agama menjadi persoalan, setelah Pemerintah Indonesia, membuat sebuah kriteria agama yang menguntungkan eksistensi agama impor yang jaringan infrastrukturnya sudah mapan (sudah ada nama agamanya, sudah ada nama kitab sucinya dan sudah ada nama tempat ibadatnya).
Agama asli berbaga suku bangsa di Indonesia, dengan sumber doktrin, legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku banga di Indonesia, sebagai filosofi etika berperilaku, dituding bukan sebagai agama, karena belum ada nama agamanya, belum ada nama tempat ibadatnya, dan belum ada nama kitab sucinya.
Bagi masyarakat yang masih setia pada sistem religi leluhur, dituding tidak beragama. Tidak beragama, berarti identik dengan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Belum memeluk salah satu agama impor (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buday) dicap terlibat PKI, sebuah stigma yang sangat ditakuti di era pemerintahan Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998).
Semangat anti komunisme pasca G30S 1965, menyebabkan masyarakat di Indonesia, terlalu mendewakan agama impor. Ini bisa dilihat dari praktik pemaksaan sumber keyakinan iman menjadi ideologi negara, sebagaimana diusung kelompok Islam garis keras, HTI dengan paham kekhilafahan.
Lahirnya paham radikal di Indonesia, dampak dari praktik pendewaan terhadap doktrin agama impor yang tidak sesuai dengan karakter, identitas, dan jatidiri berbagai suku bangsa di Indonesia yang melahirkan ideologi Pancasila.
Program deradikalisme
Program deradikalisme, nampak jelas ketika Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo – Wakil Presiden K.H. Ma’aruf Amin, tancap gas, menyatakan perang terhadap paham radikalisme, intolerans dan terorisme sebagai ancaman terhadap ideologi negara Pancasila, pasca dilantik dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), di Jakarta, Minggu petang, 20 Oktober 2019.
Ini merupakan periode kedua bagi Presiden Joko Widodo, karena dalam satu periode sebelumnya, 20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2019, mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), itu, berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Saat pengumuman nama-nama anggota Kabinet Indonesia Maju, 2919 – 2024, pada Rabu, 23 Oktober 2019, Joko Widodo, menyebut tiga menteri diberi tugas khusus bersama Polisi Republik Indonesia (Polri), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam memberangus paham radikalisme, intolerans dan terorisme.
Yaitu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) periode 19 Agustus 2008 – 1 April 2013, Prof Dr Mohammad Mahfud MD, SH, S.U, M.I.P sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam).
Mantan Kepala Polri periode 13 Juli 2016 – 22 Oktober 2019, Jenderal Polisi Prof Dr Tito Karnavian (55 tahun) sebagai Menteri Dalam Negeri, mantan Wakil Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) periode 1999 – 2000, Jenderal (Purn) Fachrul Razi (72 tahun), sebagai Menteri Agama.
Selama menjadi Kapolri, Tito Karnavian, dikenal serius membongkar jaringan terorisme di Indonesia yang selalu bermuara dari sikap radikalisme dan intolerans. Mahfud dalam 5 tahun terakhir memang terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya terhadap kelompok Islam garis keras, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan paham kekhilafahan.
Di Gedung JS Luwansa Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2019, menyebut, ada informasi penganut paham radikal akan masuk ke Indonesia dengan membawa sejumlah dana untuk mendirikan pesantren beraliran radikal.
Sementara sebagai mantan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), Fachrul Razi, menjadi anggota Majalis Amanah Pengurus Besar Ormas Mathla’ul Anwar (PBMA). Ormas Mathla’ul Anwar berdiri sejak 1916 di Menes Pandeglang Banten, memiliki sekitar 6000 jaringan sekolah Madrasah Aliyah (MA) dan pesantren di seluruh Indonesia. Saat ini telah memiliki perwakilan di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Dalam kampanye Pemilihan Umum Presiden 2019, Fachrul Razi menjadi Ketua Tim Bravo 5, sebuah tim kecil, tapi bergerak lincah, dengan menghimpun kekuatan pensiunan TNI untuk memenangkan Joko Widodo – K.H. Ma’aruf Amin.
Masjid takfiri
Konsolidasi Pemerintah Indonesia dalam lima tahun mendatang, untuk memberangus paham radikalisme, karena sebagai ancaman serius terhadap keutuhan NKRI, memang membawa angin segar.
Ketua MPR-RI, Bambang Susatyo, pada pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, Minggu, 20 Oktober 2019, menegaskan, mendukung sepenuhnya langkah Pemerintah untuk mewajibkan Pancasila kembali menjadi mata ajar pada lingkungan dunia pendidikan di semua tingkatan.
Perang terhadap radikalisme, mulai ditabuh. Menteri Polhukam, Mahfud MD, mengingatkan, agar masjid-masjid dan pengajian di kantor pemerintahan tidak membangun pertentangan dan permusuhan.
“Masjid dan pengajian di kantor-kantor itu untuk membangun persaudaraan dan kesejukan. Tidak boleh mengadu domba, tidak boleh bersifat takfiri,” ujar Mahfud di Kantor Kementerian Koordinator Hukum, Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam), Jalan Merdeka, Jakarta, Jumat, 25 Oktober 2019.
Takfiri atau sifat seorang muslim yang menganggap orang lain yang berbedaan pandangan sebagai musuh, atau kafir. Indonesia yang menganut Pancasila keberagaman, kata Mahfud, harus hidup dan dijamin sepenuhnya. Masjid-masjid, kata Mahfud, harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bibit permusuhan hanya karena perbedaan pandangan.
Tidak kalah serunya, Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid, menegaskan, pencegahan berkembangnya paham radikal bisa dilakukan dari hulu, yakni dari kurikulum hingga pengajar.
“Nah orang belajar kan ada kurikulumnya, apalagi di sekolah formal ya. Nah kurikulumnya yang harus dilihat. Kemudian pengajarnya, kurikulumnya bagus tapi pengajarnya terpapar radikal ya dia pasti mengarahkannya anak didik ke paham radikal,” ujar Zainut Tauhid, di Kantor Kementerian Agama Republik Indonesia, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, Jumat, 25 Oktober 2019.
Masalahnya kemudian, program deradikalisasi sebagaimana akan dijabarkan Kementerian Agama Republik Indonesia, tidak akan berhasil sesuai harapan, apabila tidak berangkat dari akar karakter, identitas, dan jatidiri berbagai suku bangsa Indonesia yang bersumber dari sistem religinya.
Karena di negara manapun di dunia, karakter, identitas dan jatidiri sebuah suku bangsanya, selalu bersumber dari sistem religinya. Filsuf Thomas Aquinas (1225 – 1274), secara tegas mengatakan seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Karena sistem religi sebuah suku bangsa adalah wujud nyata dari suku bangsa yang bersangkutan di dalam mengenal Tuhan, melalui akal dan budinya.
Vietnam dan Thailand, sekarang sebagai salah satu negara yang bakal menyalip Indonesia dalam pertumbuhan ekonominya, karena kedua negara ini bangkit berdasarkan karakter, identitas dan jatidiri yang bersumber dari sistem religinya.
China, Jepang dan Korea Selatan, sekarang jadi rujukan dalam stabilitas ekonomi dan politik di Benua Asia, karena masyarakatnya dibangun berdasarkan karakter, identitas dan jatidiri suku Bangsa di Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara, dengan filosofi kehidupan bernegara selalu bersumber dari sistem religi suku bangsa pada tiga negara yang bersangkutan. (Aju)