Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*
JAKARTA (Independensi.com) – Pada tahun 2019, penulis berkesempatan untuk mengunjung Kota Bula, Seram Bagian Timur di Maluku. Ketika dari Bandara menuju ke Kota Bula, masih terdapat pompa angguk, yang tentu saja sudah ketinggalan zaman untuk saat ini. Tapi, pompa itu masih setia mengangguk seperti layaknya memberikan “penghormatan” sambil mengeruk minyak dari perut bumi Seram. Tapi, ada juga istilah di masyarakat Bula yang menggambarkan pompa angguk itu seperti kuda yang merumput tapi tak pernah kenyang.
Kota Bula sama sekali tidak terkesan seperti kota minyak yang biasanya “hidup”. Bula hampir sama dengan wilayah lain yang seolah tidak memiliki kekayaan alam. Padahal, sekitar satu abad lebih minyak bumi diangkat dari Bula. Tapi, tidak memperlihatkan kesejahteraan yang hadir sesuai dengan kekayaan alamnya.
Keberadaan minyak di Bula, Pulau Seram diketahui pada tahun 1897. Selisih sekitar 11 tahun dengan penemuan minyak di Pangkalan Brandan, Sumatera Timur. Namun, pengeboran pertama sumur minyak di wilayah Waru, Teluk Bula dilakukan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM)-anak perusahaan De Koninklijke atau dikenal The Royal Dutch pada tahun 1913. Minyak berhasil keluar setelah pengeboran mencapai kedalaman 950 kaki atau sekitar 289 meter.
Pada masa awal ini, pekerjaan melibatkan orang pantai dan Alifuru di Seram yang bekerja sebagai kuli. Namun, pengelolaan sumur sempat menemui kendala, karena ahli bor meninggalkan Bula menuju ke Ambon karena gigitan nyamuk akibat hutan yang baru ditebang.
Penemuan lapangan Bula Lemun pada 1925 menjadikan Bula sebagai sumber minyak mentah bagi pemerintahan kolonial. Minyak mentah diangkut dari Bula dibawa ke daerah yang memiliki kilang atau dikirim ke berbagai negara. Sebab, The Royal Dutch-Shell telah berubah menjadi perusahaan raksasa dunia. Di sisi lain, orang Seram dan Maluku bukan penikmat tapi justru menjadi korban, paling tinggi sebagai kuli di perusahaan kolonial. Di masa Hindia Belanda, sumber minyak hanya berasal dari Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Seram.
Kedatangan Jepang pada 1942, juga membawa pengaruh kepada penguasaan sumber daya minyak. Ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda sangat jelas terlihat menyasar sejumlah wilayah strategis, penghasil minyak. Mulai dari Kalimantan Timur, Sumatera Selatan (Plaju dan Sungai Gerong) dan Sumatera Utara (Pangkalan Brandan) dan Bula sebagai sasaran pertama. Dari rentang waktu sangat kelihatan, Sumatera jatuh ke Jepang pada Februari 1942, yang hampir bersamaan dengan jatuhnya Ambon ke Jepang.
Penguasaan wilayah minyak ini sangat penting untuk menunjang pasokan minyak bagi kapal, pesawat dan peralatan perang lainnya. Untuk itu, ketika Sekutu menyerang Jepang, juga menjadi wilayah penghasil minyak sebagai sasaran untuk dikuasai. Inilah yang saya bilang, orang Seram menjadi korban dari keberadaan minyak tanpa bisa menikmati sumber daya alamnya secara adil.
Pada masa awal Indonesia, lapangan minyak Bula tidak terawat. Hal yang sama terjadi untuk semua lapangan minyak karena Belanda merusak sebelum dikuasai Jepang, kemudian Jepang merusak sebelum ditinggal atau memang menjadi pusat serangan Sekutu. Pada masa awal pendirian Permina (Pertamina), sumber minyak hanya berasal dari Kilang Pangkalan Brandan, dengan minyak yang bersumber dari Rantau dan sekitarnya. Lapangan Bula tidak beroperasi karena pasti memunculkan sengketa kepemilikan seperti di tempat lain.
Jasa Bula juga mungkin dilupakan dalam masalah Papua tahun 1960-an. Sebab, komando pasukan Indonesia itu ada di Pulau Seram, tentu bukan tanpa alasan Seram menjadi pilihan, jika bukan karena mempertimbangkan pasokan minyak dari Bula untuk peralatan tempur. Sebenarnya dengan pengorbanan orang Maluku sejak masa kolonial menjadi pertimbangan dalam pengelolaan lapangan minyak di Bula. Tapi, itu semua belum cukup untuk memberikan keadilan yang pantas bagi orang Seram dan Maluku umumnya. Tentu sangat mengkhawatirkan, pengelolaan minyak di Bula dewasa ini tidak berbeda jauh dengan cara kolonial Belanda mengeruk minyak di Seram.
Buka Kontrak Awal
Lapangan minyak Bula memiliki sejarah yang cukup panjang, seperti lapangan minyak lain di Kalimantan dan Sumatera. Tetapi, proses pengelolaan oleh negara memiliki sejarah yang sedikit berbeda. Singkatnya: Perusahaan Minyak Negara (Permina) berdiri di akhir Desember 1957, tapi baru resmi pada April 1958. Di tahun 1960-an, Presiden Soekarno menambah dua perusahaan negara, sehingga ada tiga perusahaan yang bergerak di bidang tambang, yakni PN. Permina (beroperasi Sumatera Utara), PN. Perusahaan Tambang Minyak Negara (Pertamin) beroperasi di Jambi dan Bunyu; Perusahaan Minyak dan Gas Negara (Permigan) bertanggung jawab di Jawa dan Seram. Jadi, Bula berada di bawah kewenangan Permigan.
Sebenarnya manajemen Permigan sudah berusaha untuk menawarkan perbaikan dan operasi lapangan minyak Bula kepada investor Jepang, tetapi Jepang lebih berminat di Kalimantan. Tapi, seperti diketahui, pada masa PN. Pertamina, lapangan minyak dikelola Gulf & Western dari Australia.
Pada dekade 1980-an, operasi bergeser ke Bula Tenggara yang ditemukan pada 1983. Kemudian ditemukan Bula Air pada 1990-an yang dioperasikan Santos (Seram) Ltd. Di kemudian hari, lapangan kerja ini dinamai Bula PSC. Sedangkan, Kalrez Petroleum (Seram) Ltd memulai pekerjaan pada 2001. Kalrez Petroleum ini merupakan anak perusahaan dari South Sea Petroleum Holdings Ltd yang berpusat di Hongkong. Masa kontrak Kalrez berakhir pada Oktober 2019. Namun, yang cukup menarik, sebelum masa kontrak berakhir Kalrez, muncul PT. Hana Mandiri yang membeli dari Kalrez senilai US$ 600.000 (Rp 9 Miliar kalau kurs dolar Rp 15.000 per dolar). Penulis, tidak paham apakah harga ini termasuk sangat murah, layak atau justru kemahalan. Baiklah, itu urusan bisnis.
Namun, dalam setiap kontrak biasanya, ada klausul dimana, setelah berakhirnya masa kontrak, maka semua peralatan/perlengkapan diserahkan kepada pemberi konsesi (negara). Jika klausul ini ada, maka dengan sendirinya akan menyisakan pertanyaan besar. Untuk itu, kita harapkan ada pihak berkompeten untuk mempublikasikan kontrak itu, toh ini hak publik untuk tahu.
Sebab, lebih mengejutkan lagi pada Mei 2018, Hana Mandiri memperoleh hak perpanjangan Blok Seram Bula PSC untuk masa 20 tahun dengan sistem Gross Split PSC. Dengan situasi ini, menjadi sangat penting dan mendesak untuk mengecek perjanjian awal kontrak Blok Bula ini seperti apa?
Selain itu, pada 1999, Kontrak PSC Non Bula ditandatangani dengan Kufpec Ltd. yang bertindak sebagai operator. Tapi, pada 2006 Citic Seram Energy Ltd. mengambil alih 51 persen interest dari Kufpec (Indonesia) Ltd, dan bertindak sebagai operator di Blok Seram Non Bula.
Jadi, sampai dengan berakhirnya kontrak pada 2019, Blok Bula PSC dikelola Hana Mandiri setelah membeli dari Kalrez Petroleum (Seram) Ltd. Sedangkan Blok Seram Non Bula dikelola konsorsium Citic Seram Energy Limited yang terdiri dari Citic Resources, Kufpec, Gulf Petroleum, dan Lion Energy. Blok inipun sudah diperpanjang tanpa memastikan seperti apa hak orang Seram dan Maluku. Pola pengelolaan sumber daya ada seperti ini, minta maaf—tidak ada bedanya dengan masa kolonial. Silakan saja berkilah, kalau perusahaan sudah menyediakan CSR dan PI 10 persen, dan sudah ada pemasukan untuk negara. Kalau begitu, silakan keruk minyak di tanah nenek moyangmu untuk mendapatkan CSR dan Participating Interest (PI) 10 persen, jangan di Maluku!
Saya mengecek lampiran Peraturan Presiden tentang Dana Bagi Hasil Migas pada 2018, nihil untuk Maluku, meski pada Peraturan Menteri Keuangan 2018 ada Rp 1 atau 2 Miliar yang disisihkan untuk seluruh Maluku. Kekayaan alam dieksploitasi sedemikian rupa sehingga tidak menyisakan nilai tambah bagi masyarakat lokal, tapi pemasukan untuk Seram Timur misalnya pada 2018 hanya Rp 200 juta lebih dari DBH. Keadilan macam apa yang diharapkan dalam situasi seperti ini.
Butuh Industri
Orang Maluku membutuhkan, minyaknya diolah di Maluku melalui pembangunan industri, sehingga memiliki dampak bagi pengembangan ekonomi di Bula, Seram dan Maluku. Minyak mentah dikirim ke luar kemudian diolah menjadi benang, plastic dan aneka produk, kemudian orang Maluku harus membeli barang yang justru berasal minyak mentah. Padahal, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Seram bisa diaktifkan kembali dengan berbagai penyesuaian, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sehingga memungkinkan hadirnya industri turunan dari minyak di Seram dan Gas di Blom Masela dan sejumlah blok lainnya.
Kalau sekadar mengeruk minyak dan kirim ke luar Maluku atau ke luar negeri, apa bedanya dengan masa kolonial, karena BPM, Shell dan The Royal, Stanvac dan sebagainya melakukan hal yang sama pada masa kolonial. Masyarakat sekadar objek di atas kekayaan alamnya. Lebih dari itu, pasal 33 UUD 1945 masih berlaku, tapi tidak ditemukan dalam prakteknya di Bumi Seram. Semoga, Blok Masela tidak mengalami nasib yang sama dengan minyak di Seram.
Pada masa revolusi, kilang minyak direbut untuk diduduki para pejuang karena merasa itu hak bangsanya. Semangat merdeka inilah yang mengawali pendirian Permina, yang hanya berpedoman pada dua poin, Indonesia 100 persen dan tidak terikat pada pembeli tunggal. Hanya saja, semangat ini tidak terealisasi karena keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi, tapi sekarang Indonesia sudah memiliki SDM, teknologi dan dana sendiri, tapi masih menyerahkan nasib ke pihak lain, tentu menjadi masalah serius karena itu menyangkut nasib rakyat yang di atas tanah diberkati sumber daya alam.
Sebenarnya, ada harapan besar terhadap pemerintah daerah, termasuk lembaga perwakilan rakyat untuk mengartikulasikan kepentingan Maluku dalam bidang Migas ini. Sebab, kekeliruan dalam mengakomodir kepentingan Maluku dalam bidang Migas saat ini akan berdampak sangat panjang di masa depan. Mungkin saja, perjuangan Migas di Maluku tidak dirasakan generasi saat ini, tapi hampir pasti akan dinikmati generasi berikutnya, jika benar-benar ada keadilan bagi Maluku untuk ikut menikmati kekayaan alamnya. Semua ini bisa terjadi, jika semua bersatu padu dan menyingkirkan kepentingan kelompok, golongan dan pribadi dalam pengelolaan Migas di Maluku.
Tantangan terbesar yang harus dijawab, sampai kapan Migas dikirim gelondongan ke luar Maluku? Dunia industri membutuhkan Migas sebagai bahan baku, sehingga bersusah payah memburu Migas di Maluku untuk menghidupkan industrinya, sementara Maluku menyerahkan kekayaan alamnya di dalam kemiskinannya. Setidaknya, data BPS menempatkan Maluku sebagai kategori provinsi termiskin keempat di Indonesia. Mari bergandeng tangan, sehingga Migas diolah Maluku, biarkan orang Maluku yang suatu ketika mengirim barang hasil olahan dari Migas, bukan penerima barang. Jangan sampai, kita menjual bunga cengkih untuk membeli minyak cengkih. Semoga.
*Penulis, Engelina Pattiasina adalah Direktur Archipelago Solidarity Foundation dan Alumnus Universitas Bremen Jerman.