Rumah sakit darurat selama pandemi flu Spanyol di Camp Funston, Kansas, Amerika Serikat, tahun 1918

AP: Covid-19 Mirip Infectious Disease 1918

Loading

WASHINGTON (Independensi.com) – Kantor Berita Nasional Amerikat Serikat, Associated Press (AP), menilai, wabah penyakit menular corona, Corona Virus Disease-19 (Covid-19) yang dimulai di Wuhan, China, Desember 2019, dan merebak hampir pada semua negara di dunia, Januari – Mei 2020, mirip musibah tahun 1918.

AP mengilustrasikan musibah yang mirip perang biologi di era modern, kesannya, siklus yang terjadi 100 sekali, dari 1918 – 2019. Tahun 2019 muncul di Wuhan, dan sejak Januari 2020 diperkirakan baru mereda antara Juni 2020 hingga Juni 2020.

Pemulihan ekonomi global akibat Covid-19, bisa memakan waktu satu hingga dua tahun kemudian. Itu berarti jika mampu diatasi hingga pertengahan tahun 2020, maka perekonomian global, baru betul-betul pulih di akhir tahun 2022.

Pada tahun-tahun antara dua pandemi yang mematikan, satu flu Spanyol tahun 1918 dan 100 tahun kemudian, muncul Covid-19. Sekedar mengulas ke belakang, satu abad silam (1918 – 2019), flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang. Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi.

Menurut historia.id, Selasa, 5 Mei 2020, persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita. Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai “The Mother of All Pandemics.”

Asal-muasal virus ini masih menjadi perdebatan. Menurut Frank Macfarlane Burnet, virologis Australia yang mendedikasikan hidupnya untuk mempelajari influenza, pandemi 1918 bermula di Camp Funston dan Haskell County (Kansas) Amerika Serikat.

North China Daily News, seperti dikutip harian Pewarta Soerabaia, pandemi bermula di Swedia atau Rusia lalu menyebar ke Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara.

Beberapa epidemiologis Amerika menyimpulkan, virus flu dibawa oleh buruh Tiongkok dan Vietnam yang dipekerjakan militer Inggris dan Perancis selama Perang Dunia (PD) , 28 Juli 1914 sampai 11 November 1918.. Alasan utamanya, menurut historia.id, mereka terbiasa hidup berdekatan dengan burung dan babi.

Namun argumen tersebut dibantah Dr. Edwin Jordan, editor dari Journal of Infectious Disease, dengan menyebut bahwa wabah flu di Tiongkok tidak menyebar dan berbahaya. Jordan juga tidak sepakat dengan teori yang menyebutkan India atau Perancis sebagai asal dari virus mengingat virus flu di kedua negara tersebut hanya bersifat endemik.

Namun, tidak satu pun teori menyebutkan Spanyol sebagai tempat asal virus penyebab pandemi yang terjadi berbarengan dengan PD I itu. Penamaan pandemi dengan Flu Spanyol, menurut Gina Kolata dalam bukunya, Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It, berasal dari pemberitaan media-media Spanyol yang saat itu sirkulasinya cukup terbuka akibat netralitas negeri itu dalam PD I.

Pemberitaan tersebut segera menyebar ke luar Spanyol sehingga membuat wabah tersebut dikenal dengan nama “Flu Spanyol” meski orang-orang Spanyol menyebut pandemi itu dengan “Flu Perancis”.

Cepatnya penularan disebabkan karena virus ditularkan melalui udara. Cepatnya penularan dan luasnya jangkauan pandemi membuat jumlah korban amat tinggi. Satu miliar orang (60 persen dari total populasi dunia) diperkirakan terkontaminasi virus tersebut.

Jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 21 juta jiwa (John Barry) hingga 50-100 juta jiwa (Nial Johnson dan Juergen Mueller), di mana kematian terbesar terjadi pada balita, orang berumur 20-40 tahun, dan orang berumur 70-74 tahun. Itu berarti, dalam kurun waktu Maret 1918 – September 1919, Flu Spanyol merenggut sekitar dua persen populasi dunia yang saat itu berkisar 1,7 miliar orang.

Angka tersebut jauh melebihi jumlah korban PD I yang berkisar 9,2 juta-15,9 juta jiwa. Para epidemiologis menyimpulkan, Flu Spanyol merupakan penyakit menular paling mematikan dalam sejarah umat manusia, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera. Flu Spanyol tahun 1918 juga menjangkiti hampir semua pulau yang sekarang menjadi wilayah di Indonesia.

Tidak ada yang menduga 100 tahun kemudian akan muncul Covid-19. Ilmu pengetahuan modern dengan cepat mengidentifikasi Covid-19, memetakan kode genetiknya dan mengembangkan tes diagnostik, membuka pengetahuan publik yang tidak dimiliki siapa pun pada tahun 1918.

Hal itu telah memberi orang lebih banyak peluang musibah untuk menghindari bahaya, setidaknya di negara-negara yang melakukan tes dengan cepat, dimana Amerika Serikat (AS) tidak. Tetapi cara untuk menghindari sakit dan apa yang harus dilakukan ketika sakit sedikit berubah.

AP mengilustrasikan, jumlah korban meninggal dunia terbanyak di Amerika Serikat, karena kegagalan Presiden Donald John Trump di dalam melakukan langkah-langkah antisipasi secara lebih konkret.

Presiden Amerika Serikat, Donald John Trump, bahkan, sebelumnya sangat yakin negaranya akan mampu menghadapi Covid-19. Orang-orang dekat gagal meyakinkan Donald John Trump, untuk bertindak cepat dan lugas.

Laman worldometers.info, Selasa, 5 Mei 2020, melaporkan, kasus Covid-19 di seluruh dunia mencapai 3,646,834 orang, meninggal dunia 252,442 dan berhasil sembuh 1,200,573 orang.

Per Selasa, 5 Mei 2020, akan kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat mencapai 69,925 orang, disusul Italia 29,079 orang, Inggris 28,734 orang, Spanyol 25,428 orang, Perancis 25,201 orang, dan negara kecil seperti Belanda jumlah korban meninggal dunia mencapai 5,082 orang.

Menurut AP, Donald John Trump, mengulangi kesalahan dilakukan pendahulunya, Thomas Woodro Wilon, Presiden Amerika Serikat ke-28, periode 4 Maret 1913 – 4 Maret 1921, saat terjadi wabah tahun 1918, dimana tidak berdaya di dalam menyelamatnya nyawa rakyat.

Seperti Covid-19, pandemi 1918 berasal dari virus pernapasan yang melonjak dari hewan ke manusia, ditularkan dengan cara yang sama, dan memiliki patologi yang sama, kata Barry melalui email. Jurang sosial, cuci tangan, dan topeng memimpin tindakan kontrol dulu dan sekarang.

Saran medis dari itu juga beresonansi hari ini: “Jika Anda mendapatkannya, tetap di rumah, beristirahat di tempat tidur, tetap hangat, minum minuman panas dan tetap diam sampai gejalanya sudah lewat,” kata Dr. John Dill Robertson, komisaris kesehatan Chicago pada tahun 1918 “Kemudian terus berhati-hati, karena bahaya terbesar adalah dari pneumonia atau penyakit sejenis setelah influenza hilang.”

The Jerusalem Post berbasis di Tel Aviv, Israel, merilis, Thailand, pada Selasa, 5 Mei 2020, mengakui satu kasus virus corona baru dan tidak ada kematian baru, jumlah terendah infeksi baru sejak 9 Maret. Kasus baru itu adalah seorang pria Thailand berusia 45 tahun dari provinsi selatan Narathiwat, kata pihak berwenang.

Jumlah kasus baru telah menurun dalam dua minggu terakhir dengan pengecualian sebuah cluster di pusat penahanan imigrasi di Thailand selatan yang telah melihat 60 kasus baru pada periode itu, kata Taweesin Wisanuyothin, juru bicara Pusat Pemerintah Thailand.

Menurut The Jerusalem Post, sejak wabah Thailand dimulai pada Januari, negara itu telah menyaksikan 2.988 kasus virus corona dan 54 kematian. Taweesin mengatakan 2.747 pasien telah pulih, sementara 187 masih dirawat di rumah sakit. (Aju)