Oleh: Ira Indrawardana*
“…Sampurasun…”
JAKARTA (Independensi.com) – Secara kasat mata, orang melihat sebagai sebongkah batu tegak dengan berbagai ukuran yang besar yang disimpan, ditata sedemikian rupa oleh tangan manusia secara bersama-sama atau bergotong royong, yang sarat makna budaya spiritual, sosial, ekokultural, dan kosmologis manusia bangsa nusantara dan dunia sejak dahulu kala.
Orang Sunda suka menyebut MENHIR dengan sebutan “Batu Satangtung”. Orang Toraja menyebut MENHIR dengan sebutan “Rante”, di Lampung ada yang menyebut “Batu Ubin” dan “Batu Tunggal Antatani”, dalam istilah lain MENHIR juga suka ada menyebut sebagai LINGGA dan sebagainya.
Budaya MENHIR dengan berbagai makna budaya dan spiritual manusia dunia sejak masa lalu menunjukkan peradaban manusia yang luhur, bukan dari hanya sisi teknologi yang mampu memetakan batu alam yang besar dalam berbagai ukuran dan tata pola bentuk penempatannya, tetapi peradaban luhur dalam pengertian kearifan lokal atau local wisdom dan kesadaran spiritual yang tinggi akan ruang kosmis manusia antara hubungan manusia sebagai JAGAT KECIL dan alam semesta sebagai JAGAT BESAR.
Artinya bahwa MENHIR sebagai bukti KELUHURAN BUDI MANUSIA YANG MEMPERCAYAI AKAN PENGUASA ALAM JAGAT SEMESTA BESERTA ISINYA (yang kemudian kita menyebutnya dengan konsepsi TUHAN), JAUH SEBELUM MUNCULNYA peradaban AGAMA-AGAMA dunia.
Artinya pula bahwa MENHIR Sebagai bukti budaya manusia yang SUDAH MEMILIKI RELIGIUSITAS jauh sebelum adanya agama-agama pendatang datang ke bumi Nusantara atau jauh sebelum-agama misi dan syiar menyebar ke berbagai pelosok bangsa dunia manapun.
Makna MENHIR sebagai peringatan kematian orang tua dan leluhur umat manusia, sebagai peringatan suatu perayaan upacara religius umat manusia, sebagai media astronomi masyarakat masa lalu, sebagai simbol manifestasi Hyang Maha Tunggal, sebagai simbol penguasa langit dan sebagainya, dan simbol sakralitas peradaban umat manusia di bumi ini secara Paleoantropologi atau arkeologi membuktikan bahwa sesungguhnya peradaban manusia sudah tinggi sejak ribuan tahun yang lalu sebelum berkembangnya budaya “keagamaan” yang kini berkembang.
MENHIR juga bisa dianggap sebagai bukti wujud manifestasi HUMANISME nya atau berperikemanusiaanya MANUSIA HOMO SAPIENS sebagai MAKHLUK BERPIKIR yang mampu NEMIKIRKAN masa depan kehidupannya setelah kehidupannya di Dunia FANA ini selain sebagai simbol THEISME masa lalu.
Hingga kini BUDAYA MENHIR diberbagai bangsa di dunia dilindungi oleh UNESCO sebagai WARISAN DUNIA peradaban UMAT MANUSIA. bahkan dibeberapa bangsa menjadi TUJUAN RISET KEILMUAN untuk memahami Peradaban dan keluhuran budaya MANUSIA MASA LALU.
Hingga kini, MENHIR masih tersebar dan mungkin masih banyak yang belum tergali di budaya masyarakat Indonesia, yang secara kajian Antropologi terindikasi sebagai pusat peradaban budaya bangsa-bangsa di dunia..Dengan demikian sungguh ironi, jika di masa sekarang ada sekelompok masyarakat yang beramai-ramai ingin merusak bangunan bersimbol kan MENHIR atau “Batu Satangtung” dimanapun dengan alasan yang tidak logis dan rasional mengatasnamakan perspektif sekelompok keyakinannya saja tanpa mempertimbangkan perspektif multikultur dan religiusitas lainnya.
Hal itu membuktikan mereka belum melek BUDAYA dan Peradaban bangsanya sendiri. Jangan-jangan mereka makhluk bangsa lain yang tidak memahami hakekat kehidupannya sendiri, dan lebih bodoh daripada manusia masa lalu yang sudah mengenal MENHIR dengan segudang makna luhur bagi peradaban kehidupan manusia sebagai makhluk bumi yang berbudaya…”
*Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Padjadjaran.
#VoiceOfIndrawardana
#KritikMembangunBudaya