Makam Sesepuh Adat Sundawiwitan masyarakat AKUR Cigugur Kuningan yang bertempat di kawasan Curug Goong Desa Cisantana. (Ist)

MENHIR yang Ternistakan

Loading

Oleh: Ira Indrawardana*

JAKARTA (Independensi.com) – Hari ini, ada aktivitas penyegelan pembangunan Makam Sesepuh Adat Sundawiwitan masyarakat AKUR Cigugur Kuningan yang bertempat di kawasan Curug Goong Desa Cisantana. Penyegelan dilakukan oleh Satpol PP Kuningan yang didukung oleh berbagai ormas keagamaan tertentu. Alasan penyegelan ya nampaknya agak berbelit-belit. Pertama alasan karena tidak ada IMB, padahal menurut ahli hukum, bangunan makam itu tidak perlu IMB.

Kemudian pihak keluarga mengajukan IMB , tapi ditolak pihak dinas terkait (tata ruang dan pemukiman) dengan alasan belum ada juklak juknisnya. Kemudian berbagai ormas keagamaan tertentu menolak pembangunan makam beberapa hari kemarin, padahal pembangunan makam sudah dilakukan sejak bulan februrari secara bertahap secara gotong royong oleh warga adat AKUR dan penduduk sekitar berbagai penganut keyakinan pula. Alasan penolakan berbagai ormas keagamaan tersebut karena dikhawatirkan menjadi tempat pemujaan karena bentuk makamnya menyerupai baru besar (menhir).

Sekilas kita menilik pada sejarah pembangunan Situs Purbakala Cipari yang merupakan kawasan situs purbakala enclave kehidupan manusia (manusia Sunda) masa lalu sekitar 2000-3000 tahun sebelum Masehi.

Inisiator pembabfunan situs purbakala Cipari ini pemrakarsanya adalah P.Djatikusumah (Sesepuh Adat Sundawiwitan) AKUR Cigugur) dan didukung oleh Bupati Kuningan pada waktu itu (Aruman Wirananggapati) yang dilanjutkan ekskavasi atau penggalian kawasan situs bersama pihak Pusat Arkeologi Nasional yang dipimpin langsung oleh Bapak Teguh Asmar (Ketua Arkenas Pusat Jakarta) bersama tim para arkeolog.

Hal yang menarik adalah antara bangunan makam di Curug Goong dan Situs Cipari adalah adanya persamaan pemacangan Batu Menhir dan posisi makam menghadap Timur-Barat seperti peti kubur batu yang ditemukan penggalian di Situs Purbakala Cipari. Nampaknya persamaan ini adalah hal yang sangat wajar, karena komunitas warga adat AKUR Sundawiwitan Cigugur adalah para penganut Agama Leluhur Sundawiwitan yang dalam konsep naskah kuno “bertapa di nagara”. Penganut Sundawiwitan Cigugur selain ada perbedaan tentunya ada persamaan dengan para penganut Sundawiwitan Kanekes yang mana mereka “bertapa di Mandala”.

Perbedaan itu hanya dalam konteks berbeda peran, kalau AKUR Sundawiwitan Cigugur itu “ngindung ka waktu mibapa ka jaman, mikukuh kabuhunan tapi teu katalikung ku kabuhunan”( mengukuhi ajaran leluhur adat Sunda tetapi menapaki kehidupan menyesuaikan dengan dinamika perkembangan jaman).

Sedangkan Sundawiwitan Kanekes, terikat kuat dengan aturan keadatan buhun dan memgukuhi kebuhunan sesuai amanat Karuhun dalam wilayah kemandalaannya dengan prinsip “pondok teu meunang disambung, lojor teu meunang dipotong, kudu kieu bae saayana. Ngaenyakeun nu enya ngalainkeun nu lain” ( mengukuhi tradisi leluhur apa adanya tanpa berani mengubah sedikit pun dalam kehidupan sehari-hari sampai kapanpun).

Dalam mengukuhi ajaran dan tradisi leluhur Sundanya, tentunya makam sebagai manifestasi religiusitas manusia, sangalah sakral. Namun demikian, bahwa sejak adanya situs purbakala Cipari, toh masyarakat AKUR Sundawiwitan pun tidak pernah melakukan pemujaan atau penyembahan pada batu menhir di Situs Purbakala Cipari. Tidak ada upacara khusus warga Sundawiwitan Cigugur untuk pemujaan terhadap batu menhir di Situs Cipari. Artinya sangatlah tidak beralasan kalau pembuatan batu menhir dalam bentuk bangunan makam Sesepuh Sundawiwitan Cigugur ini akan dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Bahkan kalau melihat dan memperhatikan pada kawasan leluhur Paseban di kampung blok Pasir Cigugur, tempat makam orang tua dan kakek dari Sesepuh Sundawiwitan AKUR Cigugur ini (Pangeran Tedjabuwana dan Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusumahwijayaningrat) tidak pernah ada ritual kolosal adat untuk pemujaan makam bersangkutan sejak lama pun.

Menghormati leluhur bukan sebatas pada “pemujaan makam” saja tetapi juga lebih dari itu adalah mengimplementasikan atau mengaktualisasikan tuntunan para leluhur Sunda, tradisi kebudayaan (tatali paranti) sebagai identitas dan warisan budaya bangsanya ditengah dinamika jaman dan pergaulan antar budaya dan bangsa lain.

Hal ini yang lebih penting dan dipandang penting oleh masyarakat adat AKUR Cigugur dan masyarakat adat Sunda lainnya. Bahkan dalam pepatah Sunda dikatakan bahwa “munjung mah lain ka gunung tapi ka indung, muja mah lain ka sagara tapi ka bapa” (menyembah dan memuja itu bukan pada gunung dan lautan tetapi sewajibnya pada ibu dan bapa atau orang tua kita sendiri).

Pembuatan makam orang tua keluarga Paseban (sesepuh adat Sundawiwitan AKUR Cigugur) adalah wujud penghormatan anak, keluarga dan warga atas penghormatan pada orang tua. Bakti dan hormat pada orang tua adalah ajaran Agama Sundawiwitan dan ajaran yang berlaku pada setiap agama apapun. Leluhur dalam perspektif ajaran Agama Sundawiwitan adalah juga orang tua yang sudah lama berpulang keharibaan Hyang maha Pencipta. Menghormati leluhur kita adalah wujud dari manusia Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa, karena hakekat kehadiran Tuhan di muka bumi adalah adanya leluhur dan kedua orang tua kita.

Manifestasi Batu Satangtung atau Menhir adalah manisfestasi hubungan transden yang mewujud sebagai simbol penghormatan manusia terhadap penciptaan Tuhan terhadp manusia di muka bumi ini. Pada perkembangannya bentuk yang menyerupai menhir ini pun ada pada setiap keagamaan di dunia baik dalam bentuk bulat, kotak, lonjong, patung dewa, patung nabi dan sebaginya.

Mengapa hal ini terjadi demikian? Karena secara antropologis manusia itu makhluk spiritual sekaligus makhul simbolis atau (Homo symbolicum). Oleh karena itu penistaaan terhaddap simbol menhir atau batu satangtung secara tidak langsung bagi mereka yang belum paham, tidak lain merupakan penistaan terhadap orang tua sendiri, leluhur bangsa sendiri dan kemudian secara kahekat penghinaan terhadap Tuhan siapin atau agama apapun. Artinya bertentangan dengan Ideologi Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

*Penulis adalah Dosen Antropologi FISIP UNPAD /kandidat Doktor Antropologi) UNPAD.