JAKARTA (IndependensI.com) – Sejak Indonesian Golf Tour (IGT) mulai digulirkan, dominasi pro muda semakin tidak terbendung. Ini adalah sebuah trend yang sangat positif. Paling tidak, Indonesian Professional Golf Association (IPGA – dulu PGPI), telah berhasil membuktikan kepada publik golf di Tanah Air bahwa mereka telah berhasil mengubah image masyarakat pecinta olahraga golf di republik yang selama ini selalu sinis atau memandang dengan sebelah mata terhadap keberadaan pro di dalam negeri.
Dulu, diakui atau tidak, masih ada pecinta olahraga golf khususnya golf pro di Tanah Air yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin mereka bisa bersaing dengan golf pro dari luar negeri kalau mereka berasal dari caddy.
Mendengar ucapan sinis seperti itu para pengurus asosiasi menanggapinya dengan senyum. Selain memang fakta yang ada sangat mendukung – bahwa kebanyakan pro kita memang berasal dari caddy – pengurus juga tidak perlu melakukan bantahan atau klarifikasi agar tidak terjadi debat kusir.
Tapi, seiring dengan perkembangan zaman di mana pada saat sekarang ini siapa pun bisa mengakses berbagai informasi tentang golf profesional dan para pelaku aktifnya di seluruh dunia melalui internet dan lain sebagainya, pandangan sinis seperti itu akhirnya – perlahan-lahan tapi pasti – sudah mulai menghilang dari riuh-rendahnya pergunjingan dan rumor di kalangan publik golf di negeri ini.
Kenapa? Karena, tidak hanya Indonesia saja yang pada masanya mereka yang menekuni olahraga golf profesional berasal dari kalangan caddy. Hal yang sama pun terjadi di belahan dunia lainnya. Dan, seiring dengan perubahan zaman pula maka ketika di belahan dunia yang lain lahir professional golfer yang berasal dari strata sosial yang sudah sangat mapan secara sosial dan ekonomi, hal yang sama pun terjadi di negeri kita.
Cuma bedanya jika di negara lain populasi mereka lumayan banyak sedangkan di negeri kita masih kalah jimlahnya jika dibandingkan dengan negara lain.
Tapi, dari jumlah populasi yang belum bisa menyamai dengan negara lain — ambil saja contohnya di Thailand misalnya – keberadaan pro kita saat ini, dari segi kualitas dan teknik permainan, tidak kalah jika dibandingkan dengan kompetitor mereka yang berada di luar negeri.
Tak hanya kualitas dan teknik permainan yang setara dengan pesaing mereka dari manca negara, faktor-faktor non teknis seperti komunikasi misalnya, pun pro kita tidak kalah dengan mereka.
Paling tidak di era seperti sekarang ini tidak ada lagi pro kita yang sudah unggul atas pesaingnya, tiba-tiba menjelang finish sengaja “mengalah”, karena kalau menjadi juara dia – mau tidak mau – berpidato.
Pada tahun ini event Indonesian Golf Tour (IGT) sudah masuk series 5. Ini artinya bisa dikatakan bahwa setiap sebulan sekali sudah ada turnamen lokal yang diselenggarakan secara rutin. Betul bahwa prize money yang diperebutkan dalam IGT memang masih dalam kisaran angka ratusan juta. Namun, antusiasme para peserta – untuk ukuran kita – sangat luar biasa. Paling tidak, bagi seorang pro seperti Syukrizal yang berasal dari Lhokseumawe, Aceh, telah menempatkan IGT sebagai agenda yang utama bagi dirinya sebagai seorang pro; Sehingga, sejak dia terjun ke pro dia tidak pernah alpa untuk ikut berkompetisi yang, belum tentu agenda event tersebut “menghantarkan”-nya menjadi juara.
Dan, bicara tentang juara di ajang kompetisi pro lokal, pada masa pro di negeri ini didominasi oleh para caddy, seorang pro asal Sawangan, Depok, Jawa Barat, yang bernama Maan Nasim nyaris “seng ada lawan”.
Padahal, diakui atau tidak, kompetisi pro lokal pada saat itu situasi dan kondisinya belum sekondusif seperti sekarang. Oleh karena itu menjadi sangat wajar apabila rekan-rekan pers menjuluki Maan Nasim sebagai Pro Nomor 1 di Indonesia.
Pertanyaannya sekarang, apakah sejarah yang pernah ditorehkan oleh Maan Nasim tersebut akan terulang di era millenium seperti sekarang ini?!
Kalau jawabannya “iya” rasanya masih terlalu dini. Tapi, diakui atau tidak, untuk menuju ke arah sana rasanya tidak ada yang mustahil. Pasalnya, di ajang pro lokal yang berkompetisi di bawah “payung hukum” Indonesian Golf Tours (IGT) Series 5 yang berlangsung di Riverside Golf Course pada 6 – 8 Juni 2017 lalu, George Gandranata, untuk kedua kalinya keluar sebagai juara dengan skor -3. Sementara, Ian andrew dengan skor -1 berada di posisi kedua, dan disusul new comer Elki Kow di posisi ketiga dengan skor even par. Sedangkan lowest amateur direbut Kevin C Akbar dengan skor +2.
Meskipun “substansi”-nya berbeda, namun dalam beberapa hal ada kemiripan dengan apa yang terjadi pada era 1990-an. Saat itu, kalau Maan menjadi juara, posisi kedua direbut Ilyassyak. Sementara lowest amateur-nya selalu menjadi milik Sukamdi (alm).
Pertanyaan, mungkinkah pada series-series IGT selanjutnya George Gandranata – pro yang pernah mengenyam pendidikan khusus golf di Amerika Serikat tersebut – akan terus berjaya?
Kita tunggu saja kabar selanjutnya pada bulan depan. (Toto Prawoto)