Ironi Negeri Maritim, Garam Dapur pun Impor

Loading

JAKARTA (Independensi.com) -Keputusan pemerintah mengimpor garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dinilai berbagai pengamat bukan solusi yang tepat. Impor garam untuk mengatasi kelangkaan harus segera diiimbangi dengan merealisasikan secara  konkret peningkatan produksi garam oleh  petani garam di dalam negeri.

Keputusan itu cukup ironi mengingat Indonesia mengklaim sebagai negara maritim. Sumber bahan baku melimpah ruah, tetapi kita tidak bisa mengelola dengan baik. Tidak ada koordinasi dengan petani garam soal kebutuhan produk garam di dalam negeri, sehingga terjadi kelangkaan.

Kondisi itu juga menunjukkan bahwa pemerintah belum fokus dalam merealiasikan swasembada garam di dalam negeri. Sangat memalukan kalau negeri ini masih impor garam. Namun kejadian itu sepertinya terus berulang dan pemerintah terjebak pada skenario mafia impor. Ketika garam langka, tidak ada pilihan selain mengimpor.

Kebijakan impor garam yang dilakukan pemerintah diharapkan bukan sebagai solusi akhir dalam mengatasi kelangkaan komoditas itu di lapangan. “Impor tidak ada masalah untuk menutup kelangkaan. Namun perlu dilanjutkan dengan solusi jangka panjang dengan mendorong nilai tambah produksi petani garam,” kata  Wakil Dekan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajak Mada (UGM) Amirullah Setya Hardi di Kampus UGM Yogyakarta, Jumat (28/7/2017).

Penyebab terjadinya kelangkaan garam, kata Amirullah,  bisa disebabkan dua aspek utama yakni pasokan dan permintaan. Persoalan pasokan, perlu diperhatikan karena diantaranya menyangkut ada atau tidaknya kendala dalam memproduksi garam.

“Kendala produksi bisa disebabkan cuaca, tidak tersedianya teknologi atau sarana prasarana pendukung produksi, atau justru petani yang enggan memproduksi garam karena harga di pasaran terlalu rendah,” katanya.

Sedangkan dari aspek permintaan, kata Amirullah, juga perlu dipastikan apakah garam dari petani yang diminta oleh konsumen perantara betul-betul digunakan memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, atau justru dijual ke luar wilayah yang memiliki nilai jual lebih tinggi.

“Untuk konteks pasar Indonesia, jika permintaan garam lebih besar dari pasokan, maka perlu diwaspadai,” katanya.

Sebagai negara maritim, kata Amirullah, cukup ironi ketika kebutuhan garam masyarakat Indonesia justru ditutup dengan mengimpor dari luar negeri. Agar impor tidak menjadi ketergantungan, menurut dia, perlu ditempuh dengan memberikan kemudahan perizinan pemanfaatan lahan serta memberikan insentif untuk mendukung proses produksi para petani garam.

“Memberikan insentif berarti memberikan nilai tambah produksi garam. Dengan demikian kesejahteraan petani garam meningkat, produksi garam bisa terus berkelanjutan dan terhindar dari kelangkaan,” tambahnya. (antara/kbn)