Denny JA dalam peluncuran tujuh buku puisi di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Denny JA Merekam Sejarah Dalam Tujuh Buku Puisi Esai

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Penulis, intelektual publik, sekaligus pelopor genre puisi esai, Denny JA, kembali mengukir tonggak sejarah dalam dunia sastra Indonesia dan Asia Tenggara. Melalui peluncuran buku ketujuh bertajuk Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025), ia menutup proyek ambisius heptalogi puisi esai yang telah ia bangun selama lebih dari satu dekade.

Tujuh buku. Tujuh babak sejarah. Tujuh kisah luka kolektif yang tak selalu mendapat ruang dalam narasi resmi sejarah.

Karya ketujuh ini memperluas cakupan tema yang sebelumnya berfokus pada sejarah Indonesia. Kini, Denny JA menyuarakan tragedi global dari tangisan anak-anak yatim korban bom Hiroshima, pembantaian di Nanking, korban Holocaust, hingga revolusi berdarah di Prancis.

“Sejarah resmi menulis pahlawan. Tapi puisi esai menulis korban,” ujar Denny JA dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Semua karya dalam serial ini menggunakan format puisi esai sebuah genre unik yang memadukan narasi puitik dan riset sejarah. Genre ini diciptakan oleh Denny JA dan kini telah menjelma menjadi gerakan sastra lintas negara, dibuktikan dengan penyelenggaraan Festival Puisi Esai ASEAN yang sudah digelar empat kali.

Penerbit CBI menyebut proyek ini bukan sekadar karya literer, melainkan “arsip nurani kolektif bangsa dan dunia.”

Di tengah derasnya informasi digital yang serba instan, puisi esai justru menawarkan ruang reflektif sebuah napas panjang untuk memahami luka sejarah yang kerap dibungkam.

Mengapa Puisi Esai Penting untuk Sejarah?

1. Menyentuh sisi terdalam manusia.
Ketika angka dan statistik gagal menyentuh hati, puisi esai meneteskan air mata dan menghidupkan empati.

2. Memperluas definisi sejarah.
Ia memberi tempat bagi mereka yang tak disebut dalam buku pelajaran: perempuan penghibur, eksil politik, cinta yang terpisah zaman.

3. Menghidupkan narasi yang dilupakan.
Ia memberi suara pada bisikan Lastri, tangis Lina, dan rindu yang tertinggal di meja makan para pengasingan.

Tujuh Buku Puisi Esai Denny JA dalam Heptalogi

1. Atas Nama Cinta (2012) – Tentang cinta yang kalah oleh diskriminasi.

2. Kutunggu di Setiap Kamisan (2018) – Tentang mereka yang hilang paksa.

3. Jeritan Setelah Kebebasan (2015) – Tentang konflik berdarah pasca-reformasi.

4. Yang Tercecer di Era Kemerdekaan (2024) – Tentang mereka yang tak merdeka saat proklamasi.

5. Mereka yang Mulai Teriak Merdeka (2024) – Tentang pahlawan sebagai manusia, bukan ikon.

6. Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an (2024) – Tentang mereka yang kehilangan tanah air dan kampung halaman.

7. Yang Menggigil dalam Arus Sejarah (2025) – Tentang tragedi global yang membentuk nurani dunia.

Di akhir peluncuran, Denny JA menutup dengan kutipan yang menyentuh:

“Sebab kemerdekaan sejati, seperti puisi,
adalah keberanian untuk terus mendengarkan
yang tak lagi punya suara.

”Heptalogi ini bukan sekadar bacaan sastra ia adalah peta luka dan cahaya, yang menuntun kita untuk melihat sejarah tidak hanya sebagai catatan kejayaan, tapi juga jerit sunyi para korban yang terlupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *