JAKARTA (Independensi.com) – Pemerintah melalui berbagai institusi dan dinas terkait perlu benar-benar menyerap seluruh produksi garam yang dihasilkan oleh petambak garam rakyat di berbagai daerah.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia Abdi Sufuhan, di Jakarta, Minggu (30/7/2017) menyatakan bahwa kabar adanya rencana impor garam membuat petani garam di Jeneponto, Sulawesi Selatan mengaku heran. “Mereka heran karena stok garam di gudang mereka banyak dan sudah membatu karena tidak terjual. Hanya sebagian kecil hasil garam dibeli tengkulak,” kata Abdi lagi.
Menurut dia, pada saat ini banyak ditemukan tambak garam di Jeneponto yang tidak beroperasi karena pemiliknya menilai rugi bila lahannya digunakan untuk produksi garam.
Hal tersebut, lanjutnya, karena mereka hanya mendapatkan keuntungan yang sangat tipis karena harga jual hanya berbeda sedikit dengan ongkos produksi yang mereka tanggung. Ia juga mengakui bahwa dari segi kualitas, garam yang diproduksi di daerah tersebut juga dinilai belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) baik untuk konsumsi maupun industri.
“Hal itu disebabkan karena teknik pembuatannya masih sangat tradisional,” kata Abdi, seraya menambahkan kualitas garam yang tidak sesuai SNI juga ditemukan pada beberapa sentra garam di Indonesia.
Dia menilai bahwa fenomena krisis atau kelangkaan komoditas garam yang terjadi adalah krisis garam yang berstandar SNI, karena sebenarnya banyak garam yang tidak berstandar dihasilkan oleh petambak.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan krisis garam yang terjadi selama beberapa pekan terakhir merupakan imbas dari cuaca buruk berkepanjangan selama kurun 1-2 tahun terakhir, sehingga produksi tambak garam turun drastis.
Di Jawa Timur kalau mataharinya bagus, produk garam mencapai 174 ribu ton per bulan. “Karena terlalu banyak hujan dan sering kondisinya mendung, produksi turun menjadi 123 ribu ton, sehingga minus,” kata Soekarwo, usai menghadiri peringatan Hari Koperasi, di GOR Lembu Peteng Tulungagung, Jumat (21/7/2017).
Selain itu, lanjut Gubernur Jawa Tumur, kualitas produk garam yang dihasilkan provinsi ini ikut turun sebagai dampak curah hujan yang tinggi.
Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat mencatat produksi garam rakyat anjlok dari 178.605 ton pada 2015 menjadi hanya 24.307 ton tahun 2016, akibat anomali cuaca.
“Penurunan produksi drastis sekali karena cuaca tidak menentu, kadang panas, kadang hujan, sehingga petani tidak bisa panen secara normal,” kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat H Lalu Hamdi. (antaranews)