Airnav Meningkatkan Kualitas

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau lebih dikenal sebagai Airnav Indonesia adalah BUMN Indonesia yang bergerak di bidang usaha pelayanan navigasi udara. Airnav didirikan pada 13 September 2012 melalui PP No 77 tahun 2012. Airnav Indonesia mulai melaksanakan tugasnya mengelola navigasi penerbangan di seluruh wilayah Indonesia mulai pada 16 Januari 2013.

Heru Legowo

Airnav terus menata diri dan meningkatkan kinerjanya. Memperbaiki semuanya dari mulai SDM, peralatan, system, organisasi dan juga strategi mendatang. Tidak mudah, tetapi mulai membaik. Tantangannya kemudian adalah tambahan tugas terus menerus bertambah dari pemerintah. Airnav ditugasi untuk mengelola lalu lintas udara di bandara-bandara UPT yang tersebar, juga pada titik-titik lalu lintas udara di seluruh Indonesia. Jumlahnya ratusan, sekitar 200-an. Tentu saja itu membutuhkan usaha yang cermat sekaligus juga biaya yang pasti tidak sedikit. Biaya untuk menempatkan para petugas dan mengadakan peralatannya.

Pada sisi lain, modernisasi peralatan dan system per-ATC-an juga membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk menjaga pelayanan lalu lintas udara yang akurat, canggih dan terpercaya, mesti didukung peralatan modern seperti Radar Primary & Secondary, ADSB, ATC Automation, peralatan komunikasi yang handal. Jika tidak, Indonesia dapat tertinggal dari negara-negara di wilayah sekitarnya. Pengadaaan peralatan baru yang canggih itu juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

 

Fasilitas Baru

Sementara itu dirasakan kebutuhan Menara Pengawas (Tower) baru di bandara-bandara. Menurut rencana tahun ini akan dibangun Tower baru di 11 bandara-bandara antara lain di : Bandara I Gusti Ngurah Rai Denpasar, Bandara Sepinggan Balikpapan, Bandara Ahmad Yani Semarang, Bandara Husein Sastranegara Bandung, Bandara R.H. Fisabilillah Tanjung Pinang, Bandara Depati Amir Pangkal Pinang, Bandara Supadio Pontianak, Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin, Bandara Kertajati Majalengka, Bandara Mathilda Saumlaki, dan Bandara Baru Kulonprogo Yogyakarta. Biaya untuk membangun Tower baru beserta peralatannya adalah sebesar Rp 2,27 Triliun. Angka yang sungguh fantastik! Jumlah itu masih dikurangi biaya pembangunan Tower Bandara Baru Kulonprogo, karena bandaranya saja masih dalam proses persiapan pembangunan sekarang ini.

Sementara itu di bandara-bandara Unit Pelayanan Bandara Umum (UPBU) kelas III, masih banyak Unit Kerja Airnav yang belum memiliki kantor yang memadai. Mereka masih bergabung dengan kantor UPBU setempat. Sudah pasti ini menjadi perhatian serius dari manajemen Airnav. Lokasi yang terpencil dan tersebar terutama di Propinsi Papua sana, memerlukan biaya yang tidak sedikit.

 

Peningkatan Pendapatan

Pada kenyataan di lapangan dalam pengamatan sepintas-kilas, Airnav terkesan agak kurang memperhatikan sisi pendapatan. Tampaknya concern terhadap biaya lebih dominan, sehingga tampaknya sektor pendapatan kurang mendapat perhatian serius. Mungkin karena Airnav tidak mencari untung? Alih-alih mencari untung, Airnav dituntut memberikan pelayanan terbaik. Pendapatan yang diperoleh digunakan sepenuhnya untuk mendukung dan menjaga pelayananan agar berjalan akurat dan tetap prima.

Bagaimana pendapatan ini diperoleh dan ada potensi untuk menaikkan pendapatan dari sisi tarif? Sudah pernahkah hal ini dibahas lebih intensif. Seyogyanya jangan hanya berfikir dari pelayanan saja. Mesti dipikirkan juga bagaimana agar pelayanan itu juga didukung dengan biaya yg memadai. Artinya sisi pendapatan mesti diusahakan juga agar meningkat, sehingga mampu mendukung besarnya biaya untuk menjaga pelayanan. Meningkatkan pendapatan dapat ditempuh dengan 2 cara : menaikkan produksi atau menaikkan (menyesuaikan) tarif. Produksi jelas akan terus bertambah. Lalu lintas udara terus berkembang, menunjukkan demand masyarakat yang terus semakin meningkat. ICAO bahkan memperkirakan Indonesia akan menjadi pasar besar bagi lalu lintas udara di Asia-Pasifik. Jadi produksi tidak perlu dikuatirkan.

Sisi tarif yang sepertinya dapat diupayakan untuk disesuaikan. Sekarang tarif route per unit hanya sebesar USD 0.65, sudah puluhan tahun angka itu tidak atau belum dapat diubah atau direvisi. Padahal perbaikan pelayanan sudah meningkat cukup signifikan pada 3-4 tahun belakangan ini. Sebagai gambaran saja tarif navigasi udara di Australia adalah sebesar USD 4 per route unit, dan di Thailand sebesar USD 2 per route unit. Suatu perbandingan angka yang cukup njomplang.

Dengan melihat angka tersebut kiranya sudah waktunya Airnav meninjau kembali mengenai tarif ini. Usaha untuk menyesuaikan tarif perlu diusahakan dengan serius. Jika disamakan saja dengan AeroThai Thailand, maka akan diperoleh peningkatan pendapatan yang signifikan, 3 kali lipat! Luar biasa. Dan itu akan menjadi modal yang memadai untuk memperbaiki sistem Navigasi Penerbangan di Indonesia.

Hanya saja upaya untuk menyesuaikan tarif ini pasti tidak mudah. Banyak fihak yang harus diyakinkan dan diberikan pengertian, diantaranya adalah para airline yang akan terkena dampak langsung, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan Udara dan Kementerian BUMN, INACA, IATCA dan lainnya. Persiapan mesti dilakukan sejak dini, dengan membuat perhitungan dan justifikasi yang logis dan komprehensif.

 

SDM dan Kualifikasi

Pada sisi yang lain, tuntutan pemerintah saya kira wajar saja. Airnav memang dibentuk untuk memberikan pelayanan lalu lintas udara yang terbaik. Dengan dua tuntutan diatas : 200-an bandar dan titik baru, ditambah modernisasi peralatan dan juga perbaikan kesejahteraan karyawan, ini bakal membutuhkan biaya besar. Jelas-jelas ini akan menguras pendapatan!

Masalahnya jika pendapatannya tidak memadai, Airnav bakal menghadapi dilema besar yaitu : tidak mampu menutup pengeluaran biaya yang terus meningkat!

Biaya lain yang bakal membengkak adalah biaya SDM! Jika pada tahun 2015 saja Airnav sudah memiliki karyawan sebanyak 3.406 orang atau naik 59% dari tahun 2014. Separuh lebih. Luar biasa! Pada tahun ini jumlahnya pasti sudah bertambah. Bukan hanya untuk menjaga kinerja saja, tetapi juga ditambah dengan rencana untuk mengelola wilayah UPBU yang baru. Dapat dipastikan biaya SDM pasti akan naik dengan signifikan.

Ini sekedar overview sederhana saja. Untuk lebih komprehensif mesti ada analisis yang mendalam mengenai faktor Revenue & Cost yang sedang membayangi Airnav saat ini. Dari sisi biaya tampaknya sedikit sulit mengendalikan untuk tidak naik, karena tuntutan, perbaikan dan pengembangan seperti yang sudah disebutkan diatas.

Menurut hemat saya, setelah semua perbaikan dan pemberian fasilitas baru, sudah saatnya Airnav mulai menyesuaikan tarif route charge-nya. Penyesuaian tarif ini akan memperbaiki pendapatan dan pada akhirnya akan memperbaiki kinerja dan fasilitas pendukung Navigasi Penerbangan. Upaya mesti mulai dirintis dan dipersiapkan untuk menyesuaikan tarif route charge, paling tidak setara dengan negara di sekeliling kita. Paling tidak disesuaikan dengan AeroThai atau bahkan dengan ASA. Ini tidak mudah tetapi mesti mulai dirintis mulai sekarang.

Akhirnya mudah-mudahan Airnav Indonesia terus berkibar menjadi penyedia jasa navigasi penerbangan yang handal dan terpercaya, seperti motonya : Striving best for improved safety and services. Semoga… (Heru Legowo)