JAKARTA (IndependensI.com) – Terlepas dari anggapan bahwa tuan rumah (katanya) selalu berada di posisi yang diuntungkan, yang jelas keberhasilan team Indonesia dalam duel antar negara serumpun di ajang Indonesian Golf Tour (IGT) versus Professional Golf of Malaysia (PGM) Championship 2017, yang berlangsung di Riverside Golf Club pada 5 hingga 7 September lalu adalah, sebuah torehan prestasi yang patut diapresiasi.
Selain duel pegolf pro dari negara serumpun tersebut merupakan pertemuan kedua mereka, di mana pada duel pertama yang berlangsung di Malaysia negeri jiran tersebut keluar sebagai juara, event yang berlangsung di Riverside Golf Club tersebut juga merupakan event pro pertama berformat match play yang diikuti oleh para pegolf professional yang bernaung di bawah Indonesian Golf Tour (IGT) pimpinan Jimmy Masrin.
Diakui atau tidak, event golf yang berformat match play khususnya dan terutama di Indonesia, memang belum popular dan kalah pamor dengan event yang lazim diselenggarakan di negeri ini yaitu stroke play.
Ketidakpopuleran event berformat match play di Indonesia bisa jadi karena dalam event tersebut yang menjadi “musuh” bukan “diri” pegolf itu sendiri – sebagaimana yang lazim terjadi dalam event berformat stroke play – tetapi yang menjadi “musuh” dalam arti yang sebenarnya adalah lawan seperti yang terjadi dalam olahraga tennis dan atau bulutangkis.
Sehingga, pegolf yang berkompetisi dalam event berformat match play dituntut harus siap menang sekaligus siap untuk kalah pada saat itu juga.”Kalau tidak memiliki mental juara, jangan coba-coba deh berkompetisi di turnamen match play,” kata Wahyu Hendarman yang lebih dikenal dengan panggilan akrab Uke Widarsa, seorang pro yang saat ini lebih intens menggeluti profesinya sebagai teaching, saat diminta opininya oleh independensi.com.
”Kecuali kalau perkumpulan golf tempat pemain tersebut bernaung sering latihan bersama dalam permainan yang berformat match play, bolehlah ikut kompetisi seperti yang setiap tahun diselenggarakan oleh Gunung Geulis itu,” tambahnya.
Pada level dunia, event berformat match play yang sangat terkenal adalah Ryder Cup yang mempertemukan team dari Eropa dengan team Amerika Serikat.
Tentu saja, karena Ryder Cup memiliki sejarah yang sangat panjang, maka event tersebut selalu ditunggu-tunggu oleh para penggemar olahraga golf dari seluruh dunia.
Meski masih dalam level nasional, namun event Match Play Credit Suisse, yang merupakan annual event-nya Gunung Geulis Golf & Country Club, pun termasuk salah satu event yang sangat ditunggu-tunggu oleh para pegolf amatir yang tergabung dalam perkumpulan golf di seluruh Tanah Air.
Annual event yang identik dengan keberadaan Gunung Geulis Golf & Country Club tersebut berlangsung selama empat hari. Dua hari pertama menggunakan format stroke play untuk mendapatkan ranking pemain, yang berhak untuk tampil pada dua hari berikutnya yang berformat match play.
Beberapa pegolf amatir nasional seperti Benita Juniarso (Beni Kasiadi), Harjito, Heri Kurnia Sandy (Heri KL), Cahyo Adhitomo (Bobby Cahyo) yang telah beralih status sebagai pro dan sangat aktif mengikuti turnamen pro lokal di bawah payung Indonesia Golf Tour (IGT), pernah merasakan betapa beratnya pressure saat mereka berkompetisi di Match Play Credit Suisse Golf Championship.
Beni Kasiadi adalah salah satu pemain dari 12 orang pemain yang tergabung dalam Team IGT yang berhadapan dengan Team PGM dalam duel dari dua negara serumpun yang memperebutkan total hadiah sebesar Rp600 juta tersebut.
Dan, keberhasilan team Indonesian Golf Tour menjadi juara dalam duel versus Professional Golf of Malaysia dengan skor 14 1/2 (Empatbelas Setengah) point tersebut bukan karena kontribusi Beni Kasiadi seorang.
Akan tetapi berkat kerjasama team yang solid di bawah arahan Teddy Jubilant sebagai Manager Team, yang sangat tepat dalam menyusun pemain yang diturunkan pada setiap ronde atau nomor-nomor yang dipertandingan yang meliputi 4 Foursome Matches, 4 Four-ball Matches (ronde pertama pagi dan siang) untuk mendapatkan 8 point; Kemudian dilanjutkan pada ronde kedua (pagi dan siang) juga untuk mendapatkan 8 point dalam match 4 foursome dan match 4 four-ball.
Dari fakta dan data yang berhasil dihimpun independensi.com, diakui atau tidak Team IGT, tampaknya masih terlalu tangguh bagi Team PGM, karena pada ronde kedua Beni Kasiadi dan kawan-kawan sudah unggul dengan skor 9-3.
Strategi jitu Teddy Jubilant yang berpengalaman menjadi Kapten Tim Indonesia pada SEA Games 2011 di mana Indonesia berhasil meraih dua medali emas (individu dan beregu putri) dan dua medali perak (individu dan beregu putra), membuahkan hasil yang sangat positif pada kejuaraan pro beregu antar dua negara serumpun kali ini.
“Saya optimistis bahwa tim kita akan menjadi juara, karena teman-teman yang tergabung di Team IGT kali ini tampak kompak dan bagus sekali kerjasamanya… Event ini kan event beregu, sehingga dalam perhitungan saya kalau kita sudah leading di ronde-ronde awal, musuh kita akan down,” katanya.
Ronde ketiga atau final IGT-PGM Championship 2017 mempertandingan nomor perorangan atau 12 Single Matches. Tapi, karena salah seorang pemain tuan rumah, Indra Hermawan, mengundurkan diri akibat cidera pinggang, maka ronde final ditetapkan hanya 11 lawan 11 dalam Single Matches. Akibat peristiwa tersebut Team PGM memperolehan tambahan 1 point.
Selain ada pemain yang mengundurkan diri pada babak final, sebelumnya yakni pada ronde kedua juga terjadi penundaan akibat cuaca buruk serta gelap menjelang malam tiba.Namun, saat partai tunda terjadi Team IGT sudah unggul 11-5 atas Team PGM dalam nomor 4 Fourball Matches.
Sehingga Team IGT harus bisa mencetak minimal 3 point tambahan dari nomor 12 Single Matches (yang akhirnya ditetapkan menjadi 11 Single Matches karena Indra Hermawan mengalami cidera pinggang).
Single Matches 11 melawan 11 – sebagaimana fakta dan data yang berhasil dihimpun oleh independensi.com – berlangsung seru dan menegangkan.
Dan, meski relatif jarang – kalau tidak boleh dikatakan tidak ada sama sekali – tampil berkompetisi dalam kejuaraan yang berformat match play, namun para pro muda yang tergabung dalam Team IGT mengakhiri penampilan mereka pada event Indonesian Golf Tour – Professional Golf of Malaysia 2017 dengan manis.
Betul bahwa dari 28 nomor yang dipertandingkan untuk mendapatkan 28 point, Team IGT hanya berhasil mendapatkan 14 1/2 (Empatbelas setengah point). Tapi, apa pun dan bagaimanapun hasil akhirnya, harus tetap disyukuri.Hal ini membuktikan bahwa para pro yang bernaung di bawah payung IGT – khususnya mereka yang memiliki Order of Merit – masih tetap eksis dan tetap diperhitungkan oleh para kompetitor mereka di kawasan Asia Tenggara.
“Keberhasilan teman-teman atau adik-adik saya yang telah menyandang status sebagai professional golfer dalam duel antar negara serumpun kali ini adalah, itu semua berkat adanya iklim touring pro di tingkat lokal yang semakin kondusif sejak tiga atau empat tahun belakangan ini,” kata Uke Widarsa.
“Sehingga, walaupun mereka jarang sekali atau belum tentu dalam tiga bulan atau setahun sekali mereka berkompetisi dalam kejuaraan yang berformat match play, namun mereka berhasil mengalahkan rival mereka,” tambahnya.
Oleh karena itu, kita (tidak cuma Uke), sangat menghargai usaha dan jerih payah Jimmy Masrin yang sangat mendukung keberadaan professional golfer di Indonesia, di mana dukungan yang diberikan tidak hanya sebatas pada doa semata; Akan tetapi berupa sponsorship dari perusahaan miliknya dan mengajak para owner dari company lainnya untuk ikut berpartisipasi.
“Saya yakin iklim kompetisi touring pro lokal akan semakin kondusif dan maju pada masa yang akan datang, sepanjang masih ada “Jimmy Masrin-Jimmy Masrin” yang lain di Republik tercinta ini, Mas,” kata Uke Widarsa mengakhiri perbincangannya melalui telepon selular dengan independensi.com. (Toto Prawoto)