Kuliah Umum (Studium General) ”Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab” yang dihadiri oleh Civitas Akademika di Universitas Gajahmada, Sabtu (18/11/2017), (Humas Kementerian Pertanian)

Kementan: Resistensi Antibiotik Jadikan Kurikulum di Fakultas Kedokteran Hewan

Loading

JAKARTA (Independensi,com) – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengharapkan kepedulian dan kesadaran terhadap resistensi antibiotik, serta penggunaannya yang benar dapat menjadi bagian kurikulum ajar bagi mahasiswa kedokteran hewan di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Syamsul Maarif selaku Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) saat mewakili Dirjen PKH memberikan orasi pada Kuliah Umum (Studium General) ”Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran Penggunaan Antimikroba yang Bijak dan Bertanggung Jawab” yang dihadiri oleh Civitas Akademika di Universitas Gajahmada, Sabtu (18/11/2017), dalam keterangan persnya diterima Independensi.com, Minggu (19/11/2017).

Studium General ini merupakan bagian dari puncak acara ”Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia” atau ”The World Antibiotic Awareness Week” yang setiap tahunnya diperingati pada tanggal 13 – 19 November 2017. Kegiatan ini secara bertahap dilaksanakan di 5 Universitas yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran hewan di Indonesia, yaitu IPB, UNAIR, UNHAS, UDAYANA, dan UGM.

Pada “Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia” ini telah dilaksanakan berbagai rangkaian kegiatan yang merupakan kerjasama antara Ditjen PKH dengan FAO-ECTAD (Food and Agriculture Organization) dan didukung oleh AFKHI (Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia), YOP (Yayasan Orang Tua Peduli), PPN (Pinsar Petelur Nasional), dan CIVAS (Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies).

Syamsul Ma’arif mengungkapkan, pada “Pekan Kesadaran Antibiotik Dunia” telah dilaksanakan beberapa rangkaian kegiatan untuk memperkenalkan dan mengajak kesadaran semua pihak, yaitu pemerintah, masyarakat umum, akademisi, professional di bidang kesehatan hewan, dan peternak agar dapat terlibat dan berkontribusi dalam mengendalikan laju resistensi antibiotik melalui kesadaran penggunaan antibiotik yang lebih rasional, bijak dan bertanggung jawab.

”Lembaga Perguruan Tinggi merupakan mitra kerja Pemerintah yang sangat berperan penting dalam penyediaan substansi berbasis bukti ilmiah, yang akan menjadi acuan bagi kebijakan pemerintah”, kata Syamsul Ma’arif. Menurutnya, Perguruan Tinggi merupakan lembaga yang akan mencetak insan-insan profesional, sehingga diharapkan Fakultas Kedokteran Hewan mampu mencetak tenaga dokter hewan yang memiliki pemahaman tentang resistensi antimikroba, dan prinsip-prinsip good veterinary practices, khususnya terkait dengan bagaimana antimikroba digunakan secara bijak dan bertanggungjawab.

”Kami mengajak calon dokter hewan untuk peduli dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antimikroba di Indonesia”, ucap Syamsul Ma’arif. Lebih lanjut disampaikan, pada saat ini laporan di berbagai negara dunia mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, namun disisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat yang artinya pola peningkatan laju resistensi sudah berbanding terbalik dengan penemuan obat antimikroba baru.

”Kita harus mulai waspada dengan adanya rilis sebuah laporan global review pada tahun 2016 yang menggambarkan model simulasi, dimana kejadian resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 didunia pada tahun 2050, dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di kawasan ASIA”, kata Syamsul Ma’arif menerangkan. “Gambaran model simulasi akan mungkin terjadi jika saat ini masyarakat internasional tidak memiliki upaya yang konkrit dalam pengendalian penggunaan antimikroba”, tambahnya.

”Kami menyadari Pemerintah memiliki peran yang penting dalam mengendalikan laju resistensi antimikroba. Untuk itu, Ditjen PKH Kementerian Pertanian sudah bersiaga dengan mempersiapkan pembentukan Komite Pengendali Resistensi Antimikroba di Kementerian Pertanian dan menyiapkan dokumen rencana aksi dan road map pengendalian resistensi antimikroba yang sejalan dengan rencana aksi nasional dalam kerangka kerja Kesehatan Terpadu (One Health)”, ujar Syamsul Ma’arif.

Syamsul Ma’arif menjelaskan, Indonesia sudah memiliki Rencana Aksi Nasional yang merupakan hasil pemikiran dan konsep bersama dari berbagai sektor. Menurutnya, konsep yang disusun sejalan dengan 5 (lima) tujuan strategi global yaitu: (1). meningkatkan pemahaman, kepedulian dan kesadaran terkait resistensi antimikroba; (2). memperkuat pengetahuan dan basis data (evidence) melalui surveillans & penelitian; (3). melakukan upaya pencegahan infeksi yang efektif melalui penerapan higiene, sanitasi, dan biosecurity; (4). mengoptimalkan penggunaan antimikroba; dan (5). mengembangkan investasi yang berkelanjutan berbasis ketersediaan sumber daya lokal dalam penemuan obat-obatan baru, alat diagnostik, vaksin dan intervensi lainnya dalam upaya pengobatan.

“Sesuai tujuan Studium General ini, saya berharap baik dokter hewan maupun calon dokter hewan mulai untuk ikut peduli dan berkontribusi dalam penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab untuk mengendalikan resistensi antimikroba di Indonesia”, ajak Syamsul Ma’arif.

Kegiatan Studium General ini juga dimeriahkan dengan berbagai lomba yang mengajak mahasiswa untuk mengembangkan inovasi dan pesan kunci yang kreatif terkait kampanye penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung jawab dalam mengendalikan resistensi antimikroba (seperti lomba essay, dan pembuatan video pendek).

“Kami berharap kegiatan ini dapat memberikan dampak di masa depan, terutama melalui peningkatan pemahaman mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan sebagai calon dokter hewan tentang resistensi antibiotik dan penggunaan obat, sehingga diharapkan dapat menjadi agen perubahan ke arah penggunaan antimikroba yang bijak dan bertanggung”, kata Syamsul Ma’arif penuh harap. “Dukungan dan komitmen dari civitas akademika dalam mengangkat komponen isu resistensi ini akan dapat menjadi kontribusi nyata terhadap pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia”, tutupnya.