Dr Tin Zuraidah, Stah Ahli Menteri Reformasi Birokrasi RI

Perongrong Kewibawaan Presiden

Loading

Independensi.com – Hari Senin, 11 Desember 2017 Presiden Joko Widodo menghadiri Konperensi Nasional Pemberantasan Korupsi ke-12 sekaligus Peluncuran Aplikasi e-LHKPN di gedung Birawa Bidakara Jakarta Selatan. Peristiwa tersebut menjadi liputan menarik, selain kehadiran Presiden juga saat Republik ini sedang gaduh terkait kasus korupsi e-KTP rentetannya dengan kursi Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar dengan tertuduhnya Setya Novanto.

Hari ini pula kita dikejutkan berita media bahwa Tin Zuraidah, isteri mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, telah dilantik menjadi Staf Ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).

Tin Zuraidah adalah doktor hukum sebelumnya adalah Kepala Pusat Pelatihan dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dan suaminya sebelum mengundurkan diri Agustus 2016 adalah Sekretaris Mahkamah Agung.

Kedua berita tersebut di atas sebenarnya biasa-biasa saja, kalau berita menyangkut Tin Zuraidah tidak kontroversial menurut sebagian orang, paling tidak bagi pegiat anti korupsi.

Mengapa? Alasannya, karena Tin Zuraidahlah sebagai isteri Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang rumahnya digeledah Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena ketakutan , katanya, sampai merobek-robek berkas-berkas dan membuang uang ke toilet sebanyak Rp. 1,7 miliar.

Peristiwa penggeledahan itu menyusul terkena Operasi Tertangkap Tangannya (OTT) seorang Panitera Pengadilan Jakarta Pusat Edy Nasution, April 2016, dan merembet ke Sekretaris Mahkamah Agung dan penggeledahanpun tidak bisa dihindari, dan itulah penyebanya Tin Zuraidah sering dipanggil KPK. Namun kasusnya abu-abu, tidak terlibat atau di peti es-kan tidak jelas oleh KPK. Apakah pilih kasih, pilih bulu, tebang pilih dan pilih tebang terhadap kedua orang ini?

Setelah Tin Zubaidah menjadi Staf Ahli Meneri PAN-RB, KPK seperti kebakaran jenggot mungkin merasa dipermalukan. Langganan KPK kok menjadi pejabat tinggi dan tidak seperti biasanya diminta tanggapan, yang satu ini tidak.

Jadi tidak salah, kalau Prof. Mahfud MD menjerit dengan mengatakan “Duh Negaraku” sebagaimana diberitakan Detik.com, karena menurut yang bersangkutan, secara hukum mungkin tidak menyalahi tetapi secara moral tidak pantas.

Masih beruntung kita memiliki Prof Mahfud yang masih memiliki hati nurani. Semoga beliau menyampaikan keluh-kesahnya itu ke Presiden Joko Widodo, di mana beliau sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, agar hal-hal yang mengusik dan menyakiti hati rakyat tidak terulang lagi.

Sebab negara ini tidak akan makmur dan rakyat tidak akan sejahtera kalau praktek korupsi terus berkembang dan tidak diberantas. Dan pemberantasan korupsi tidak akan berhasil dan wibawa Presiden akan merosot apabila orang-orang yang menjadi langganan KPK,  walaupun itu hanya sebagai saksi.  Apalagi sampai rumahnya digeledah dan membuang uang ke toilet, masih diberikan kesempatan berperan di pemerintahan.

Apakah tidak ada yang lebih baik dan bersih dari seorang yang terkait dengan geledah mengeledah serta kasusnya masih “nggantung”?

Kita ingin mengingatkan bahwa pemerintahan yang bersih tidak akan tercapai,  kalau hanya Presiden dan segelintir orang saja yang anti korupsi. Di sisi lain, orang-orang di sekeliling Presiden selalu membuat diskresi “menyimpang”,  mentolerir pelaku korupsi. Kondisi itu tidak hanya bagai “kerikil dalam sepatu” atau “kutu dalam selimut”, lebih kejam dari itu adalah menjadi “musuh yang akan menusuk dari belakang”.

Staf Ahli Menteri sebagai pejabat eselon I yang memberikan rekomendasi kepada Menteri adalah sangat riskan diberikan kepada sosok yang memang masih dalam perhatian KPK, yang tentunya dan seyogyanya menjadi perhatian pula bagi staf Kepresidenan.

Persoalan akan lain, kalau Presiden mengetahui apa dan siapa Tin Zubaidah sehingga tidak masalah bagi beliau. Untuk itu barangkali ada baiknya Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus terhadap pengangkatan yang bersangkutan menjadi Staf Ahli Menteri.

Sebab kurang elok kalau di mata pegiat anti korupsi, Presiden dianggap bermain mata bagi orang-orang tertentu.

Bagi KPK, ada baiknya menuntaskan kasus sekitar kaitan OTT Edy Nasution dan penggeledahan rumah Nurhadi, termasuk perobekan berkas dan pembuangan uang ke toilet, KPK jangan hanya berani kepada pegawai kecil tetapi tak bernyali kepada pejabat tinggi.

Kita berharap ada kejelasan kasus Staf Ahli Meneri PAN RB ini, kalau pembantunya tidak seirama dengan Presiden, kewibawaan Kepala Negara akan menjadi taruhannya, apalagi, apabila kebijakan Presiden sering-sering disimpangi para pembantunya. (Editorial/Bch)