JAKARTA (Independensi.com) – Badan Karantina Pertanian melakukan ‘grand launching’ ekspor bonsai ke Eropa.
“Ini merupakan ekspor bonsai terbanyak dan ekspor perdana yang proses eksportasinya berbasis ‘In Line Inspection’ dan bersertifikat karantina secara elektronik (e-Cert),” ujar Kepala Badan Karantina Pertanian, Banun Harpini, saat melepas satu truk container yang berisi lebih kurang 1.617 pohon tanaman bonsai bersama Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dalam keterangan pers diterima Independensi.com, Selasa (19/12/2017).
Selama ini perdagangan internasional bonsai hanya dilakukan antar individu penggiat dan penggemar bonsai saja, sehingga tidak tercatat dalam data statistik sebagai komoditas ekspor.
Padahal saat ini Indonesia masuk jajaran tiga besar negara dengan komunitas bonsai terbesar dan berkualitas, selain Jepang dan China. Potensi ekspor tanaman bonsai Indonesia cukup besar, mengingat bonsai Indonesia memiliki keunikan dan sangat diminati oleh negara-negara di Eropa.
Ekspor bonsai Indonesia dimulai tahun 2010 dan terus meningkat seiring dengan permintaan negara mitra dagang dengan rata-rata ekspor per tahun berkisar antara 6.000 pohon sampai dengan 8.000 pohon. Lebih dari 80%-nya melalui Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.
Potensi ekspor bonsai Indonesia akan terus berkembang dan diprediksi di tahun 2018 akan menembus angka 10.000 pohon. “Masuknya bonsai sebagai komoditas ekspor tentu berdampak pada meningkatnya nilai jual bonsai tersebut. Hal ini akan memberikan manfaat yang besar bagi peningkatan pendapatan petani bonsai” tegas Banun Harpini.
Badan Karantina Pertanian terus berupaya mendukung peningkatan daya saing dan akses pasar internasional bagi komoditas ekspor Indonesia melalui pemenuhan persyaratan sanitari dan fitosanitari (SPS measures).
Saat ini kerjasama dengan negara mitra dagang telah menggunakan pertukaran ‘Electronic services’ (E-Cert SPS). Belanda merupakan negara pertama yang telah menerapkan pertukaran ‘Elektronic Phytosanitary Certificate’ (e-phyto) yang akan diikuti dengan New Zealand, Australia dan Amerika Serikat.
Kebijakan Badan Karantina Pertanian dalam pelayanan ekspor komoditas pertanian berorientasi pada penerapan sertifikasi fitosanitari yang efektif, efisien dan akseptabel sehingga dapat menekan tingkat ketidaksesuaian (non-compliance) oleh negara mitra dagang.
Kebijakan tersebut dijabarkan melalui pendekatan kesisteman (in-line inspection) dalam pengelolaan risiko (approach control system on risk management) dengan penerapan mitigasi terbawanya organisme pengganggu tumbuhan dan kontaminasi cemaran berbahaya sejak di sentra produksi (on-farm) sampai dengan pengiriman dengan melibatkan para pihak yang terkait.
Program pelayanan sertifikasi ekspor berbasis ‘in-line inspection’ tentunya memerlukan sinergitas dengan perbagai pemangku kepentingan mulai dari petani/kelompok tani, instansi pemerintah daerah dan eksportir.
“Kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pihak atas jalinan kerjasama dengan Petugas Karantina di BKP Semarang dalam mewujudkan penerapan pelayanan sertifikasi ekspor berbasis ‘in-line inspection’,” tandas Banun.