JAKARTA (Independensi.com) – Rencana masuknya beras impor asal Thailand dan Vietnam tinggal menghitung hari. Akhir bulan ini, beras khusus yang nantinya juga akan masuk di pasar beras konsumsi medium, akan diimpor sebanyak 500 ribu ton atas ijin Kementerian Perdagangan.
Janggalnya, sebelum masuknya beras impor ke Indonesia, namun harga beras lokal telah turun berkisar Rp300 perkilogram (kg), begitupula dengan harga gabah petani yang telah duluan anjlok hingga Rp800.
Menurut Akademisi Universitas Gajah Mada (UGM), Bagus Santoso, Minggu (28/1/2018), fenomena tersebut merupakan sesuatu yang menggembirakan sekaligus mengkhawatirkan.
Bagus mengatakan berita turunnya harga beras eceran premium sebesar Rp300 per kg merupakan berita menggembirakan karena ini mengindikasikan bila suplai beras di dalam negeri sebenarnya sudah cukup, tidak perlu impor.
Harga beras yang sempat melambung tinggi pada minggu-minggu sebelumnya nampaknya harga psikologis hasil ‘goreng-gorengan’ pedagang untuk mendesak Menteri Perdagangan (Mendag) merekomendasikan impor.
“Apa boleh buat, rekomendasi impor sudah terlanjur diteken dan pihak importir juga sudah terlanjur ditunjuk. Tetapi masalah tidak berhenti di situ. Kita perlu khawatir bahwa banjir impor beras yang tidak diperlukan ini sebenarnya punya maksud yang perlu diwaspadai,” ungkapnya.
Apa itu? Ia menjelaskan bahwa harga gabah hasil panen raya yang sudah mendekati pintu gerbang rezeki melimpah untuk petani ini akan terhempas ke titik rendah lagi.
“Pedagang akan memborong gabah petani pada harga yang murah. Setelah panen raya selesai, harga langsung melambung lagi. Pedagang untung, petani buntung. Jika benar dugaan tersebut, maka petani jelas dirugikan oleh niat politik yang sehat ini,” tandasnya.
Menurutnya, komitmen pemerintah untuk pro rakyat seharusnya dimaknai dengan memberi kesempatan petani menikmati panen rayanya. Pemerintah harus melindungi petani agar warga mau jadi petani sehingga Indonesia memiliki ketahanan pangan yang andal.
“Untuk itu saya cenderung merekomendasikan pada Mendag untuk membatalkan impor beras dari luar negeri tersebut. Sekiranya pembatalan punya risiko yang tidak siap ditanggung, pilihan terbaik berikutnya adalah agar pengiriman barang dilakukan dua-tiga bulan setelah panen raya usai,” ujarnya.
Penundaan ini juga, kata pengajar Ekonomi Bisnis UGM ini, sekaligus memberi ruang yang cukup pada Bulog untuk merencanakan stabilisasi harga beras yang berkelanjutan.
Soal apakah perlu melakukan ‘reekspor’, Bagus mengatakan dirinya merasa tidak perlu di-‘reekspor’. Kebijakan ‘reekspor’ akan membuat pemerintah seperti tidak cermat membuat perencanaan pangan karena miskin data yang akurat.
“Untuk tahun ini cukup dengan pembatalan impor atau second best-nya penundaan pengiriman barang setelah panen raya sudah benar-benar usai. Dan yang paling penting, perlu koordinasi yang lebih matang sebelum akan impor lagi,” pungkasnya. (eff)