Oleh : H. Mahpudin, SH., MM
INDRAMAYU (Independensi.com) – Membaca profil, rekam jejak, gagasan dan pemikiran Sang Kiyai yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Maman, kita akan mendapati sosok tokoh poltik muda agamis multi talenta dan progresif yang hampir selalu hadir dalam keberpihakan dan pembelaannya pada kaum minoritas, kaum lemah (mustad’afin), yang mungusung tema pluralisme dalam kebinekaan dan kecintaannya pada bangsa dan negaranya.
Dan karena tema pluralisme ini, ia menuai kritik dan kontroversinya. Karakter, gagasan pemikirannya dan sikap poltiknya hampir mendekati sang guru Mursyidnya almarhum almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Kemampuan dan talenta Kang Maman dalam berinteraksi dengan segala komunitas lapisan sosial masyarakat menjadikannya seorang komunikator politik yang handal dan karenanya ia menjadi votegater bagi partainya hatta merngatarkannya ke Gedung Senayan.
Alih-alih menikmati kekuasaannya sebagai pejabat negara di tingkat pusat, Kang Maman malah masuk dalam pusaran drama kandidasi pilgub Jabar, walaupun – karena ia bukan pemegang kuasa dari partainya atau karena “politik punya logikanya sendiri” – ia terdepak dari pusaran drama tersebut, dan pada ujungnya ia diusung dan dicalonkan oleh “koalisi reuni plus” sebagai kandidat Bupati Majalengka pada Pilkada serentak tahun 2018.
.
Turun gunung atau balik kampungnya Sang Kiyai ini sebagai Kandidat Bupati Majalengka yang diusung oleh partai-partai yang tergabung dalam “koalisi reuni plus”, setidaknya memunculkan dua pertanyaan: pertama; apa motive dan tujuan partai-partai ini berkoalisi mengusung sang kiyai, dan yang kedua dengan pertanyaan yang sama tertuju pada Sang Kiyai itu sendiri ?
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, setidaknya kita patut dan dapat menduga dengan mengemukakan dua jawaban, pertama ; merujuk pada narasi atau literatur tentang peran-peran kiyai di tengah lingkungan sosial masyarakatnya yaitu peran kiyai sebagai komunikator politik.
Mereka adalah para komunikator politik yang handal, yang berpengaruh besar di lingkungan santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren. Bahkan dalam radius tertentu keberadaannya menjadi rujukan politik dan agama bagi masyarakat (Ali Masykur Musa, NU dan Moralitas Politik Bangsa, 2010, halaman 18-20).
Walaupun pada kondisi kekinian kita mendapati fakta-fakta sosial politik bahwa tidak selalu linier antara pilihan politik sang kiyai dengan pilihan politik umatnya.
Kondisi ketidaklinieran ini tidak serta merta diterjemahkan secara general, tetapi disebabkan oleh suatu kondisi sebab akibat. Ada variabel variabel yang menjadi faktor ketaatan totalitas ummat (sami’na wa atho’na) kepada kiyainya dan ada variabel-variabel yang menyebabkan ummat berbeda pilihan politik dengan kiyainya.
Kedua, adalah dengan bergabungnya partai (koalisi reuni plus) merupakan jawaban sekaligus sanggahan, bantahan dan menepis tudingan dan kekhawatiran berbagai kalangan terhadap apa yang disebutnya sebagai bahaya “politik indentitas” atau virus pilkada DKI Jakarta merembet pada pilkada serentak di Jawa Barat, sebagaimana tulisan Asep Salahudin, Pilkada 2018 dan Politik SARA dalam Media Indoensia, Rabu, 24 Januari 2018.
Hal ini dikarenakan bukan saja berbeda dari sisi kewilayahan, sub kultur, figur tokohnya dan sebab akibatnya serta “illat” hukumnya antara Jakarta dan Jawa Barat, disamping faktor-faktor pragmatisme politik.
Jawaban atas pertanyaan yang kedua, kita pun patut menduga dengan berkhusnudzon pada Sang Kiyai dengan dugaan jawaban sebagai berikut : sebagaimana diketahui bahwa Kiyai Maman Imanulhaq saat ini adalah sebagai Pengurus NU di tingkat pusat yang menggawangi bidang dakwah yaitu Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (PB LDNU).
Beliau juga adalah politisi yang berkiprah di Senayan sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi PKB yang terpilih dari daerah pemilihan Majalengka, Sumedang dan Subang. Beliau adalah seorang Kiyai, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan di Jatiwangi Majalengka.
Dari ketiga posisi ini saja (Anggota DPR RI, Ketua LD PBNU, dan Pengasuh Pondok Pesantren), Kang Maman dapat dikatakan “sudah cukup”, lalu apa yang mau dicari dengan menjadi pejabat daerah selevel bupati ?
Menjawab motivasi dan tujuan Kang Maman menjadi Bupati, disamping hanya beliau sendiri dan Tuhannya yang tahu, secara normatif tentu akan diketahui dari visi misi yang akan disampaikannya pada sidang paripurna DPRD Majelengka pasca penetapan pasangan calon bupati dan wakil bupati oleh KPUD.
Dalam perspektif penulis, jawaban atas pertanyaan ini setidaknya dapat dibaca dalam perspektif dakwah, kepemimpinan dan kekuasaan. Dalam literatur agama (Islam) tentu kajian dakwah menjadi tema utama, sedangkan kajian tentang kepemimpinan masuk dalam kajian ilmu ekonomi/manajemen, sedangkan kekuasaan termasuk dalam kajian ilmu hukum.
Tentulah bukan tempatnya untuk membahas teori-teori dakwah, kepemimpinan dan kekuasaan di sini, tetapi setidaknya dapat dikemukakan sedikit tentang kepimpinan politik.
Menurut Alfan Alfian, kepemimimpinan politik dituntut untuk mampu mempertahankan konstituen politik dengan baik, bahkan mampu memunculkan dukungan dukungan politik yang signifikan, mampu mengelola potensi konflik yang ada dengan baik dan efektif, mampu memotivasi anak buah dan konstituennya dengan baik, sehingga senantiasa optimis dan mampu bangkit dari keterpurukan.
Di samping itu, ia juga dituntut untuk mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan segmen manapun, mampu memberi contoh dan mendorong suatu proses pendidikan dan pencerahan politik, mampu menghadirkan proses sirkulasi elite di dalam organisasi secara sehat, dan mampu mendudukkan orang-orangnya di posisi-posisi strategis di lembaga lembaga politik kenegaraan yang ada.
Kepemimpinan politik juga harus selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang substansial. Seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses dan dinamika politik berjalan secara beradab (Alfan Alfian: 2009).
Partai-partai butuh figur atau tokoh potensial yang popularitasnya akseptable dan paralel dengan elektabiltasnya sehingga mampu memenangkan dan merebut suara rakyat dalam kontestasi dan suksesi kepemimpinan dan kekuasaan. Sedangkan Sang Kiyai butuh kekuasaan untuk menjalankan visi misi dakwahnya.
Karena ada adagium yang mengatakan : Dakwah tanpa kekuasaan adalah mandul, sedangkan kekuasaan tanpa landasan dakwah adalah dzolim dan korup.
Dakwah perlu kepemimpinan dan kekuasaan, sedangkan kepemimpinan dan kekuasaan diperuntukkan bagi dakwah supaya manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhannya, dakwah yang bersendikan kemanusiaan dan berkeadaban, dakwah yang menyatukan bukan dakwah yang menyebabkan perpecahan, dakwah yang merangkul dan akomadatif berasaskan musyawarah bukan dakwah yang otoriter dan menakutkan, dakwah yang mensejahterakan bagi terwujudnya keadilan sosial. Semoga hasil maksud.
Wallohu a’lam bisy syowab.
Penulis adalah seorang Advokat dan Dosen pada IAI dan STIE Latifah Mubarokiyah Suryalaya- Tasikmalaya, tinggal di Indramayu.