Independensi.com – Muncul wacana baru dalam penanganan dan penindakan terhadap pelaku tindak pidana yang merugikan keuangan negara atau yang disebut pelaku korupsi, karena pelaku korupsi jika tidak divonis hakim belum jadi koruptor.
Pernyataan Kabareskrim Komjen Polisi Ari Dono Sukmanto di sejumlah media mainstream maupun media social, kurang-lebih mengatakan bahwa seorang pejabat daerah yang disidik Aparat Penegak Hukum (APH) apabila mengembalikan dana yang di duga merugikan negara itu dikembalikan ke kas negara, maka penyidikan tidak akan dilanjutkan.
Pernyataan Komjen Polisi Ari Dono Sukmanto itu disampaikan saat menandatangani Kesepahaman antara Kejaksan Agung, Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian RI, Selasa kemarin di Ancol Jakarta.
Tetapi pada hari yang sama, Komjen Polisi Ari Dono Sukmanto, juga menurut berita media social, mengklarifikasi pernyataan itu. Pertama, bahwa hal tersebut tidak ada dalam kesepahaman, kedua: itu pemikiran pribadi dan ketiga, belum dibahas di internal Polri dan bahkan memerlukan pengkajian serta dia sendiri tidak mau penyataannya itu menjadi polemik.
Pertanyaannya, apakah aparat penegak hukum telah merasa kelelahan menghadapi perlakuan korupsi yang sudah massif dan menahun? Kalau pemikiran itu dikaji apakah pengembalian kerugian keuangan negara itu merupakan proses hukum atau diskresi Penyidik dan siapa-siapa saja yang berwenang untuk itu?
Menghentikan suatu proses hukum hanya Jaksa Agung dengan hak opportunitas, dan juga menyangkut banyak aspek baik kewenangan pemerintah termasuk tekad pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Hal itu juga menyangkut tugas-tugas pemerintahan dan aparat pemerintah dalam penegakan hukum khusus dalam pemberantasan korupsi. Yaitu KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian dan lembaga Peradilan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi serta Mahkamah Agung, terutama hak asasi mereka yang sudah dihukum karena proses pengadilan karena tuntutan sebagai pelaku tindak pidana korupsi, maka pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan prosedur hukum, apalagi pendapat yang jenuh menjalankan tugas, sebaiknya tidak dilempar ke publik.
Melihat maraknya perilaku korupsi termasuk masih berlangsungnya Operasi Tertangkap Tangan (OTT) oleh KPK belakangan ini, terutama dengan adanya pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa masih banyak calom Kepala Daerah yang terindikasi korupsi dan mempertimbangkan untuk diumumkan agar tidak dipilih rakyat, berarti bahwa masalah korupsi masih tetap menjadi ancaman buat bangsa dan negara ini, bukan hanya saat ini tetapi juga untuk masa depan.
Sehingga di tengah gencarnya pemberantasan korupsi, muncul wacana semacam “pengampunan” bagi pelaku korupsi walaupun itu suatu pemikiran pribadi, Presiden kelihatannya perlu menekankan kembali bahwa Indonesia sebagai negara hukum menyelesaikan kasus hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Memang harus diakui, kadangkala dalam penegakan keadilan muncul ketidakadilan sebab jumlah uang yang diduga dikorupsikan Rp. 100 juta – Rp. 200 juta akan memakan biaya Penyidikan Rp. 208 juta, lain lagi biaya Penuntutan serta Pengadilan dan biaya Lembaga Pemasyarakatan, memang negara akan tekor.
Pernah terjadi seorang Kepala SD dituduh menyalahgunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Rp. 33.000.000,– di Kabupaten Samosir dan harus diadili di Pengadilan Tipikor Medan. Sungguh menyakitkan, sebab Sang Ibu Kepala SD tersebut harus menjalani 5 Rutan dan satu Lapas yaitu Rutan Polres Samosir, Rutan Pangururan, Rutan Kejaksaan di Balige, Rutan Kejaksaan Tinggi Medan, Rutan Tanjung Gusta Medan lalu Lapas setelah diputus hukuman satu tahun.
Karena itu proses hukum dan sesuai dengan kondisi dan Peraturan Perundang-undangan, sebagai negara hukum harus dilalui, para pelaksana di lapangan terpaksa harus menutup mata hatinya, nuraninya serta perasaannya, bahwa ketentuan hukum yang diterapkan belum tentu setimpal dengan perbuatannya, terbukti atau tidak hanya Tuhan yang tahu?
Agar tidak menimbulkan kegaduhan baru, ada baiknya apabila Kapolri memberikan penjelasan tentang kebijakan Kepolisian dalam menangani kasus korupsi, apakah ada penurunan stamina atau kejenuhan perorangan.
Dengan adanya wacana “pengampunan” terhadap pelaku korupsi akan melemahkan semangat penegakan hukum di lapangan, dan kemungkinan sentimen sektoral akan meruncing.
Ada baiknya semangat antikorupsi perlu dikumandangkan lagi, dan semua yang tidak melakukan korupsi hendaknya berupaya menyadarkan orang-orang sekitarnya untuk tidak melakukan korupsi. Dan bagi pihak yang terbukti melakukan korupsi jangan sekali-kali diberi angin keringanan hukuman. Negara serta Pemerintah tidak boleh kalah terhadap korupsi. (Bch)