Kultur Musyawarah Mufakat Mulai Luntur

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Konsep musyawarah dan mufakat sebagai falsafah bangsa telah tumbuh di masyarakat Indonesia sebelum bangsa ini merdeka. Kultur ini telah menjadikan Indonesia sempat lima besar negara paling demokratis di dunia. Namun, sekarang kultur ini sudah mulai ditinggalkan dan masyarakat lebih memilih sistem voting.

“Saya prihatin musyawarah mufakat bukan lagi jadi bagian dari masyarakat kita. Sekarang masyarakat lebih menyetujui suara terbanyak daripada kesepakatan bersama dan itu menjadi sesuatu yang berbahaya bagi bangsa ini karena masyarakat sekarang ini sedang berada di titik yang kalau kamu tidak sependapat sama saya, berarti kamu bukan teman saya,” kata Hj Liliy Wahid, mantan anggota Komisi I DPR RI, di Jakarta, Selasa (3/4/2018).

Hj Lily Wahid

Lebih lanjut cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari ini menerangkan bahwa zaman dulu musyawarah sudah menjadi jalan tengah dalam menghadapi masalah sehari-hari. Berbagai permasalahan di tengah masyarakat diperbincangkan bersama dan mencari solusi yang terbaik.

Saat ini kondisi masyarakat, telah berbeda dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan diselesaikan dengan cara voting, tanpa memikirkan maslahat untuk masyarakat. Kultur musyawarah mufakat telah menjadi landasan negara yang ditinggalkan baik dalam pemerintah maupun masyarakat.

“Masyarakat terkadang juga tidak mampu menyelesaikan persoalan perbedaan karena lunturnya kultur musyawarah. Adanya perbedaan ekonomi menjadikan suatu alasan mengapa perbedaan agama menjadi sesuatu yang diributkan,” kata Lily.

“Seperti penyerangan rumah ibadah dan sebagainya yang terjadi 10 tahun terakhir. Mungkin dulu ada juga, tapi itu karena hanya emosi sesaat dan hanya di suatu daerah saja, bukan yang menjadi berita nasional seperti saat ini,” imbuh perempuan kelahiran Jombang ini.

Lily menilai kondisi rentannya perpecahan di tengah masyarakat karena komunikasi dalam anggota masyarakat tidak banyak lagi diselesaikan dengan musyawarah. Salah satu imbasnya sekarang radikalisme dan terorisme semakin subur karena tidak ada wadah untuk mengutarakan pendapat dalam diskusi bersama.

“Saya melihat fenomena radikalisme terorisme ini memang dimasukkan ke Indonesia dengan berbagai cara dan rupa dan dengan ketersediaan media yang akhirnya menyulut fanatisme yang tidak perlu. Padahal kalau kita lihat orang yang radikal ini juga belum tentu menjalankan ibadahnya dengan benar,” ujar Lily.

Karena itulah, Lily menghimbau masyarakat agar tidak mudah tersulut emosi dengan provokasi yang dapat memecah belang bangsa. Kekuatan bangsa ini terletak pada kultur musyawarah mufakat yang telah menjadi salah landasan berbangsa kita.

“Bangsa ini akan kuat dengan musyawarah dan akan terpecahbelah ketika kultur ini menjadi luntur,” tandasnya.