layanan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP)
Ilustrasi layanan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). (foto istimewa)

Percepat Layanan E-KTP Masih Alami Sejumlah Hambatan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) –  Upaya mempercepat layanan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) masih mengalami sejumlah hambatan.

Mulai dari kerusakan alat, jaringan telekomunikasi, dan kondisi geografis. Salah satunya Kabupaten Merauke, Papua, masih menghadapi kondisi tidak normal dalam hal layanan.

Jika kondisi itu terus terjadi, maka layanan paling lama satu hari sebagaimana peraturan menteri (permendagri) No. 19/2018 tentang Peningkatan Kualitas Layanan, akan sulit dijalankan.

“Alat-alat di sini banyak yang rusak. Dari 20 distrik, 19 di antaranya rusak,” kata Staf Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Merauke Marten Gana, Selasa (17/04/2018).

Marten mengaku, kerusakan alat-alat tersebut sudah terjadi sejak 2015. Akibatnya, Kabupaten Merauke hanya mengandalkan alat-alat milik kabupaten saja saja dalam pelayanan e-KTP.

Karena itu, dibutuhkan tambahan alat-alat untuk mempercepat proses pelayanan e-KTP. “Yang baik itu cuma di kabupaten. Jadi, butuh 19 tambahan alat,” tuturnya.

Hal ini diperparah dengan adanya gangguan kabel optik yang membuat jaringan telekomunikasi terhambat. Padahal, untuk melakukan layanan e-KTP, jaringan telekomunikasi merupakan hal yang wajib ada. “Sedikit terganggu karena jaringan tidak baik,” ucapnya.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui, di beberapa daerah masih mengalami hambatan layanan. Misalnya, di Merauke untuk mendapatkan jaringan seluler saja tidak setiap waktu ada.

“Di sini (Merauke) sinyal saja kadang nyala kadang tidak. Kalau sepanjang itu ada gangguan-gangguan yang tadi mohon dimaafkan. Ini bisa lebih dari satu jam,” tuturnya.

Tantangan lain yang harus dihadapi adalah persoalan sumber daya manusia (SDM). Salah satunya SDM di Disdukcapil masih belum merata. Misalnya, di satu kantor hanya terdapat tiga orang yang mampu menggunakan komputer.

Bahkan, dalam peninjauannya di Kabupaten Merauke masih ditemukan penduduk yang tidak bisa melakukan tanda tangan. “Masih ada penduduk yang belum bisa tanda tangan. Baru belajar. Yang mudah saja, nama saja tulis,” ucap Tjahjo.

Lebih lanjut Politikus PDI Perjuangan itu meminta baik Disdukcapil ataupun masyarakat untuk proaktif megurus administrasi kependudukannya. Terlebih untuk daerah yang daya jangkaunya jauh dari pusat pemerintahan di daerah.

“Kami juga meminya Pak Sekda (merauke) agar ada satu alat di kecamatan. Belum banyak yang punya. Tidak mungkin dari Distrik Sota (wilayah perbatasan Indonesia-Papua Nugini) disuruh ke sini, kan kasihan,” jelasnya.

Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) I Gede Surata mengatakan, untuk Provinsi Papua, capaian perekaman masih rendah, yakni 30%. Dari jumlah penduduk Papua yang 4,2 juta jiwa, 3,3 juta jiwa juta di antaranya adalah wajib KTP.

“Memang baru 1 juta jiwa yang sudah melakukan perekaman. Tapi, untuk Kabupaten Merauke sebenarnya sudah cukup tinggi, yakni 76% atau 120.000 jiwa dari total wajib sebanyak 158.000,” jelasnya.

Gede mengatakan, tantangan administrasi kependudukan yang kompleks membuat capaian Papua jauh dari rata-rata nasional. Mulai dari kondisi geografis, tingkat aksesibilitas, kesadaran masyarakat, kondisi jaringan komunikasi data dan infrastrutur, serta jaringan listrik. “Misal di Pegunungan Bintang, dari 34 distrik itu yang bisa dilalui secara darat paling 4 distrik. Nah, 30 distrik sisanya itu harus pakai pesawat,” tuturnya.

Lalu, pemahaman masyarakat juga dirasa minim. Seperti masih ditemukannya warga yang tidak mempunyai tanda tangan. Padahal, itu salah satu syarat untuk penerbitan e-KTP. Selain itu juga sarana prasarana layanan serta SDM diakuinya masih jauh dari harapan. “Nah keterbatasan-keterbatasan itu terus kita kejar. Jangan sampai dia terus tertinggal dari daerah lain di Indonesia,” katanya.

Gede juga memastikan akan ada perlakuan khusus bagi daerah-daerah yang banyak memiliki keterbatasan. Misalnya, dalam hal pemberian dana alokasi khusus (DAK) akan lebih diutamakan.

“Misal di Papua itu DAK lebih besar karena aksesibilitas. Kemudian peralatan di sini banyak rusak, kami utamakan diperbaiki. Jadi, bukan membedakan tapi prioritas yang memiliki banyak keterbatasan,” pungkasnya.(BM/ist)