Oleh : M Sunyoto
IndependensI.com – Menguatnya persekutuan kekuatan politik di tingkat elite dan hilangnya kekuatan oposisi terhadap pemerintah dapat berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi.
Demokrasi yang sehat sedikitnya mengandaikan adanya kekuatan oposisi yang relatif seimbang. Tanpa oposisi yang seimbang, apalagi jika kalangan oposisi memilih menjadi bagian dari pemerintahan, peluang lahirnya oligarki di kalangan elite terbuka lebar.
Situasi yang kurang menguntungkan bagi demokrasi itu bisa menjadi mimpi buruk bagi rakyat. Dalam konteks perpolitikan Indonesia mutakhir, munculnya spekulasi bahwa Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto kemungkinan akan menjadi calon wakil presiden bagi petahana Joko Widodo pada laga Pilpres 2019 diharapkan tak akan terwujud.
Sampai saat ini, kemungkinan penyatuan kekuatan politik di kubu Jokowi dan pesaing terberatnya Prabowo hanya digaungkan oleh orang-orang di sekitar kedua kubu. Jokowi sendiri dan Megawati Soekarnoputri yang menjadi pengambil keputusan strategis dalam pencapresan Jokowi belum berkomentar tentang penyatuan itu. Namun, dari pihak Prabowo, ada pernyataan bahwa dia akan maju sebagai capres.
Jika dipandang dari kepentingan masa depan politik parpol pendukung petahana, masuknya wacana Prabowo sebagai cawapres bagi Jokowi juga bukan merupakan kabar yang sedap.
Kalangan pendukung utama koalisi petahana, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar, tentu akan berpikir panjang untuk menyepakati gagasan menerima Prabowo sebagai cawapres bagi Jokowi.
Seperti analisis sejumlah pengamat politik bahwa perebutan kursi presiden yang lebih seru justru terjadi pada tahun 2024, saat Jokowi tak lagi berlaga dalam pilpres.
Itu sebabnya partai-partai politik pendukung petahana saling berebut untuk menyodorkan orang-orang terbaik mereka menjadi cawapres bagi Jokowi.
Munculnya spekulasi penyatuan kubu Jokowi dan kubu Prabowo didasari oleh kekhawatiran tentang terjadinya perpecahan akibat pertarungan ulang kedua kubu pada Pilpres 2019.
Cukup disayangkan bahwa kekhawatiran semacam itu dijadikan argumen untuk menggiring opini publik bahwa Jokowi perlu menjadikan Prabowo sebagai cawapresnya untuk menghindari tragedi perpecahan yang membahayakan keutuhan NKRI.
Tentu saja kekhawatiran itu berlebihan dan tampaknya elite politik, baik di kubu Jokowi maupun Prabowo, tak perlu termakan oleh kekhawatiran yang sempat disuarakan oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy.
Selayaknya sebagai elite politik yang perlu mengembangkan kemajuan demokrasi di Tanah Air, Ketua Umum PPP itu perlu memberikan spekulasi politiknya yang bernada suram.
Rakyat Indonesia sudah belajar berdemokrasi lewat pemilihan presiden secara langsung sejak 2004. Artinya, sudah tiga kali pilpres berlangsung dengan aman dan demokratis. Pada Pilpres 2014 memang sempat terjadi pertarungan yang seru antara kubu Jokowi dan Prabowo. Namun, hal itu tidak sampai menimbulkan gejolak atau konflik yang berarti.
Apalagi, jika dilihat konstelasi saat ini, parpol besar seperti Golkar sudah berkoalsi dengan petahana. Artinya, pada saat kekuatan kubu Prabowo pada tahun 2014 cukup signifikan dengan dukungan Partai Golkar saja tak menimbulkan perpecahan, apalagi dengan masuknya Partai Golkar di kubu petahana.
Analogi yang dipakai oleh Romahurmuziy bahwa pada Pilgub DKI Jakarta 2017 melahirkan perpecahan pemilih juga masih perlu diperdebatkan atau diuji. Meskipun terjadi sejumlah kampanye negatif, menurut Romo Franz Magnis Suseno, Pilgub DKI Jakarta berlangsung aman dan demokratis.
Jika menyimak sejumlah pernyataan politik Prabowo, kemungkinan penyatuan kubu petahana dan kubu mantan Komandan Jenderal Kopassus itu dalam Pilpres 2019 tampaknya kecil. Prabowo antara lain mengatakan bahwa rivalitas antara dirinya dan Jokowi pada Pilpres 2019 tidak akan memicu perpecahan.
Spekulasi tentang peluang Prabowo dipilih menjadi cawapres petahana tampaknya juga dilandasi oleh fakta bahwa sampai saat ini Jokowi atau PDIP sebagai pengusung utama petahana belum mendeklarasikan cawapres.
Siapa cawapres bagi Jokowi? Pertanyaan inilah yang akan menjadi poin sentral bagi berbagai kekuatan politik untuk melangkah. Kecuali NasDem, parpol pendukung kubu petahana berambisi untuk menyorongkan figur mereka menjadi cawapres bagi Jokowi.
Mengapa kubu Jokowi mengulur waktu dalam deklarasi penentuan capwapres? Seperti di laga penting dunia persepakbolaan, masing-masing kubu ingin mengintip strategi yang dipilih oleh lawan. Saat ini kubu Jokowi tentu sedang dirundung untuk menjawab pertanyaan sentral ini: cawapres dari kalangan yang berlatar religius, militer, atau profesional yang layak dipilih untuk mendampingi sang petahana?
Untuk menghindarkan penyatuan kubu Jokowi dan Prabowo terjadi, yang otomatis tiadanya pesaing sepadan dalam Pilpres 2019, kalangan elite politik, terutama parpol-parpol besar perlu mengupayakan terhindarnya kondisi yang merugikan perkembangan demokrasi itu.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah secara terus-menerus mereka membuat pernyataan-pernyataan yang optimistik bahwa rakyat sudah matang dalam berdemokrasi. Pilpres 2019 tak akan memicu perpecahan karena pengalaman dalam berdemokrasi selama tiga kali pilpres justru mematangkan sikap rakyat dalam berdemokrasi.
Yang tak kalah pentingnya adalah figur utama dalam persaingan merebut kursi kekuasaan RI 1, yakni Jokowi dan Prabowo meyakinkan kepada publik bahwa Pilpres hanyalah jalan atau sarana menuju Indonesia yang sejahtera dan adil. Jadi, Pilpres tak harus menjadi pertarungan hidup-mati yang membuat Indonesia bubar.(*)
Penulis adalah wartawan LKBN Antara