JAKARTA (Independensi.com) – Persoalan utang luar negeri Indonesia yang diklaim telah mencapai Rp4.000 triliun dinilai dapat menjadi amunisi bagi kelompok oposisi untuk mengkritik Pemerintah.
Presiden Joko Widodo mempersilakan para politikus oposisi untuk beradu argumen soal utang dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Soal utang, saat kita dilantik [sebagai Presiden pada Oktober 2014], utang itu sudah Rp2 ribu triliun, bunganya kurang lebih 250-an triliun. Dihitung saja angkanya,” ujar Jokowi dalam Mata Najwa ‘Eksklusif: Kartu Politik Jokowi yang ditayangkan di Trans 7, Rabu (25/4/2018) malam.
Satu hal yang pasti, kata Jokowi, pemerintah akan menyimpan dana dari utang luar negeri itu pada bidang-bidang yang produktif dan memberikan keuntungan bagi negara.
“Jangan itu pinjaman itu dipakai untuk hal-hal yang konsumtif seperti subsidi BBM. Itu yang tidak baik,” katanya.
Jokowi pun mempersilakan orang-orang yang ingin mengkritik untuk beradu argumen dengan ekonom makro yang memiliki data angka jelas, termasuk dengan Sri Mulyani.
“Silakan, silakan, saling beradu argumen dengan menteri keuangan yang juga memiliki angka-angka,” ujar Jokowi.
Terkait itu, Mantan Menteri Koordinator bidang Maririm dan Sumber Daya Rizal Ramli mengaku siap gelar debat terbuka terkait utang luar negeri dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI).
“Ini asyik, saya siap dan tolong diatur debat terbuka RR versus SMI,” kata Rizal kepada CNNIndonesia.com, Kamis (26/4/2018).
Menteri Koordinator bidang Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu juga mengaku siap jika adu argumen data dengan Sri Mulyani disiarkan secara langsung.
“Atur debatnya di CNN Indonesia TV, secara live,” kata Rizal.
Rizal Ramli sempat menyebut masyarakat telah dirugikan oleh keputusan Sri Mulyani yang tak bisa menegosiasikan bunga utang menjadi lebih murah. Hal ini membuat bunga utang yang diperoleh Indonesia tinggi dan penerimaan pajak yang didapat dari masyarakat banyak disedot untuk membayar bunga utang tinggi.
Mantan Kepala Bulog itu mencontohkan, keputusan salah itu pernah dilakukan Sri Mulyani kala menjadi bendahara negara di era Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu, Sri Mulyani menyepakati penerbitan utang kepada asing dengan bunga lebih tinggi sekitar dua persen dibandingkan surat utang yang diterbitkan negara-negara tetangga, yakni Filipina, Thailand, dan Vietnam. Padahal, peringkat surat utang ketiga negara tersebut lebih rendah dari Indonesia.
“Jadi, dia terbitkan bond (surat utang) US$42 miliar, tapi hampir US$11 miliar ekstra bunga yang harus masyarakat bayar. Saya minta Sri Mulyani tukar bond dengan pembiayaan yang lebih murah, karena harusnya Indonesia di bawah Thailand, Vietnam, dan Filipina,” ujarnya di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (26/3).
Rizal menantang Sri Mulyani untuk menukar kembali surat utang luar negeri yang telah dikeluarkan Indonesia agar bisa mendapatkan bunga yang lebih murah dan tak membebani masyarakat. Menurutnya, Sri Mulyani seharusnya bisa memperjuangkan hal itu lantaran peringkat surat utang Indonesia yang sudah jauh lebih baik.
Penerbitan utang dengan bunga rendah sebenarnya sudah pernah dilakukan oleh Agus D W Martowardojo kala mengisi kursi bendahara negara yang ditinggalkan Sri Mulyani beberapa tahun lalu.
“Ini sudah dibuktikan saat Agus Marto jadi Menteri Keuangan. Bunga bond saat itu turun satu persen dibandingkan tiga negara lain,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga meminta Sri Mulyani untuk lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan dan merestrukturisasi utang pemerintah. Salah satunya, melalui negosiasi ulang dengan negara-negara kreditur untuk mengubah tenor utang dari jangka pendek ke jangka panjang.
Saat ini, menurut dia, sekitar 50 persen utang pemerintah adalah utang jangka pendek. Hal ini sering kali memberikan tekanan pada sektor keuangan Tanah Air.
“Bila berhasil, ini akan meningkatkan kestabilan keuangan dan juga dapat menurunkan tingkat bunga domestik,” terang Rizal.
Sri Mulyani juga dinilai dapat meniru langkah yang pernah dilakukan Rizal kala ia masih menjabat sebagai menteri keuangan pada 12 Juni hingga 9 Agustus 2001. Kala itu, pemerintah berhasil melunasi utang dari Kuwait, sehingga pemerintah Kuwait memberikan ‘hadiah’ atas pelunasan itu, melalui pembangunan proyek infrastruktur.
Bila hal-hal itu bisa diupayakan barulah tepat bila dunia memberikan predikat Menteri Keuangan terbaik kepada Sri Mulyani. Ia menilai predikat tersebut diberikan hanya karena pihak asing diuntungkan oleh keputusan bunga utang Sri Mulyani.
“Tentu, itu karena dia berikan bunga dua persen (lebih tinggi), lebih mahal dari negara lain. Sedangkan Menteri Keuangan Singapura, China, Jepang, tidak dapat penghargaan karena ketika menerbitkan bond, mereka negosiasi semurah mungkin demi kepentingan bangsanya,” celetuknya.
Negosiasi bunga utang, menurut dia, menjadi penting agar bisa menyehatkan kembali sektor keuangan Indonesia. Pasalnya, ia mencatat, mayoritas indikator keuangan saat ini mengalami defisit.
Neraca transaksi berjalan dan keseimbangan primer misalnya, pada tahun lalu, masing-masing mencatatkan defisit US$5,8 miliar dan Rp68,2 triliun. Selain itu, defisit pembayaran cicilan pokok dan bunga utang (service payment) meningkat hingga mencapai hampir dua kali lipat dari anggaran pendidikan dan infrastruktur saat ini sebesar Rp800 triliun.
“Menteri Keuangan selama ini selalu berpidato prudent, prudent. Apanya yang prudent? Wong semuanya defisit. Apanya yang prudent? Ini prudent kalau semuanya positif,” pungkasnya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga Februari 2017, total utang pemerintah hingga akhir Februari 2017 menembus Rp4.035 triliun. Utang pemerintah masih didominasi oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah.
Adapun dalam dua bulan pertama tahun ini saja, pemerintah telah merealisasikan pembayaran bunga utang mencapai Rp34,43 triliun. (Berbagai sumber/eff)
The very root of your writing while sounding agreeable in the beginning, did not settle well with me after some time. Someplace throughout the paragraphs you actually were able to make me a believer but just for a while. I nevertheless have a problem with your leaps in assumptions and one would do nicely to help fill in all those breaks. If you actually can accomplish that, I will definitely end up being fascinated.