JAKARTA (IndependensI.com) – Rombongan Bupati Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, Suryadman Gidot melakukan kunjungan kerja tidak resmi ke Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Bahtu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, sekarang, Minggu pagi, 12 Agustus 2018.
Dalam kunjungan kerja tidak formal Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot, dihadiri mantan Bupati Pontianak, Cornelius Kimha, mantan Bupati Sintang, Elyakim Simon Djalil, mantan Bupati Gunung Mas, Juda Anom, anggota Dewan Perwakilan Daerah asal pemilihan Provinsi Kalimantan Tengah, Napa Irang Awad.
Kemudian, Sekretaris Daerah Kabupaten Bengkayang, Obaja, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bengkayang, Agustinus Yan, Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Bengkayang, Yohanes Atet, Kepala Bagian Protokoler Kabupaten Bengkayang, Tulen, mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bengkayang, Martinus Khiu, dan peserta lainnya.
Situs berupa bangunan rumah betang sebagai duplikat dan di sampingnya sisa-sisa puing bangunan yang dibiarkan dengan di depannya ada prasasti sebagaimana saran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nugroho Notosusanto dan penggantinya Fuad Hassan, 1982 – 1993.
Situs Rumah Betang Damang Bahtu Tumbang Anoi diresmikan Gubernur Kalimantan Tengah, Asmawi Agani tahun 2005. Secara garis besar, kondisi situs, dalam kondisi masih membutuhkan kerja keras dalam perawatannya. Lokasinya di bagian pehuluan Sungai Kahayan, wilayah perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat.
Mengingat sejarahnya, kalau ada tanggungjawab kolektif semua Suku Dayak di Borneo (Indonesia, Brunei Darussalam dan Malaysia) yang sekarang populasinya 9,4 juta jiwa, maka wujud Situs Rumah Betang Tumbang Anoi, bisa diupayakan berupa museum yang mengungkap sejarah peradaban Suku Dayak.
Karena pada 22 Mei – 24 Juli 1894 diprakarsai Belanda dan Inggris, seluruh tokoh Dayak dipimpin Damang Bahtu, secara bulat menyepakati sejumlah pasal, di antaranya menghentikan budaya mengayau (potong kepala manusia) dan praktik perbudakan.
Idealnya sekarang infrastruktur menuju Situs Damang Bahtu di Tumbang Anoi, lebih mendukung, terutama dari Olung Kolon, Ibu Kota Kabupaten Gunung Mas ke Tumbang Anoi berjarak tempuh tiga jam, sebagian besar jalan belum diaspal. Praktis jika musim hujan, jalannya kurang bersahabat.
Sekarang jarak tempuh ke Tumbang Anoi dari Palangka Raya, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Tengah, sekitar 6 jam perjalanan darat, meliputi Palangka Raya – Olung Kolon, sekitar 3 jam perjalanan dan Olung Kolon – Tumbang Anoi sekitar 3 jam. Status jalan rute Olung Kolon – Tumbang Anoi, masih berstatus jalan kabupaten.
Jembatan penghubung dari belakang Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi, sekarang sudah roboh, sehingga akses menuju situs harus melewati lorong sempit di sekitar pemukiman warga.
Belum ada dokumen tertulis di dalam rumah betang yang mengisahkan sejarah dan kesepakatan dari hasil pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, sehingga setiap tamu yang berkunjung semata-mata mengandalkan informasi lisan dari penjaga atau juru kunci.
Tatacara penerimaan tamu dengan berbasiskan Kebudayaan Suku Dayak Uud Danum di Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi, perlu pula dikemas sedemikian rupa, agar nuansa pariwisata betul-betulnya menunjukkan peradaban Suku Dayak.
Di masa mendatang, idealnya mesti ada pegawai khusus berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara khusus bertugas di Situs Rumah Betang Damang Bahtu, hasil koordinasi Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Apabila koordinasi dan tanggungjawab moral seluruh Suku Dayak di Borneo bisa terwujud, bukan mustahil nanti Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi, bisa dijadikan Pusat Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Borneo.
Ini pula, tidak terlalu berlebihan, kalau terwujud, Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), nantinya, harus berkantor pusat di Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi.
Inilah yang mendasari ajakan moral: Suku Dayak, Selamatkan Situs Tumbang Anoi!
Sangat tidak adil kalau pelestarian dan perawatan Situs Rumah Betang Damang Bahtu di Tumbang Anoi, semata-mata hanya dibebankan kepada Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
Tentu masyarakat Suku Dayak, sangat berterimakasih kepada Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang telah memberikan perhatian maksimal selama ini.
Tempat Bersejarah
Tumbang Anoi menjadi tempat yang bersejarah bagi Suku Dayak karena di tempat itulah digelar Rapat Damai Suku Dayak pada tanggal 22 Mei – 24 Juli 1894. Saat itu, rapat akbar tersebut dihadiri sekitar 1.000 orang dari 152 suku Dayak yang ada di Pulau Kalimantan yang mencakup wilayah Republik Indonesia, Federasi Malaysia dan Kerajaan Brunei Darussalam.
Rapat antara lain menghasilkan kesepakatan mengakhiri pertikaian sesama suku Dayak dan tradisi “mengayau” atau memenggal kepala manusia. Dengan adanya perjanjian itu maka terjalinlah persatuan dan persaudaraan antar suku-suku Dayak yang dulunya saling bermusuhan satu sama lain.
Pada jaman dahulu, “hakayau” atau “ngayau” merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan. Para “penjelajah dan akademisi asing” mencatat bahwa Suku Dayak Iban dan Suku Dayak Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat ngayau, yaitu memenggal dan membawa pulang kepala musuh.
Sementara bagi Suku Dayak Ngaju, di Kalimantan Tengah tradisi ngayau selain terjadi di saat peperangan, ngayau juga dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan “tiwah”, yaitu upacara sakral terbesar Suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh.
Dalam pelaksanaan tiwah, kepala hasil ngayau ditanam di bawah tiang “Sapundu”, diyakini bahwa di langit ke tujuh roh atau jiwa pemilik kepala itu akan menjadi “jipen” atau pelayan bagi jiwa yang di-tiwah-kan.
Kondisi semakin diperparah dengan adanya sengketa perebutan lokasi menyadap getah nyatu (damar hutan) antara Suku Dayak Ngaju dari Sungai Kahayan dengan Suku Dayak Kenyah dari Sungai Bohokam (Mahakam), yang kebetulan lokasinya berada di perbatasan wilayah kedua suku tersebut, yaitu di Puruk Ayau dan Puruk Sandah. Sengketa ini memicu perang dan saling kayau antar kedua suku yang dikenal dengan peristiwa “Kayau 100”.
Ketika berakhirnya pendudukan kolonial Inggris di tahun 1817, Pemerintah Hindia Belanda kembali menduduki Banjarmasin. Pemerintah Hindia Belanda memaksa Kesultanan Banjar agar menyerahkan secara tertulis wilayah-wilayah yang secara tidak langsung dikuasai oleh Kesultanan Banjar kepada Pemerintah kolonial Belanda.
Sultan Sulaiman (Sultan Banjar) menandatangani Persetujuan Karang Intan pada tanggal 1 Januari 1817 dan dilakukan di hadapan Residen J. D. J. Aernoud van Boekholzt. Dalam Persetujuan tersebut, dipertegas bahwa kawasan yang disebut wilayah Dayak itu adalah Dayak Besar dan Dayak Kecil (de Grote en Kleine Dajak).
Persetujuan Karang Intan Pertama, 1 Oktober 1817 kemudian mengalami beberapa perubahan, peralihan dan penyempurnaan pada tanggal 13 September 1823, sehingga melahirkan Persetujuan Karang Intan Kedua di depan Residen Mr. Tobias.
Pada persetujuan Karang Intan Kedua tersebut dipertegas kembali bahwa kawasan-kawasan yang diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda terdiri dari: Fort Tatas, Kween, Kutai, Berau, Pulau Laut, Pasir, Taboniau, Pegatan, Sampit dan seluruh daerah taklukannya (daerah di bawah pengaruh Kesultanan Banjar), yakni, sesuai dengan nama kawasan yang pernah diserahkan kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812 yang ditandatangani oleh Sultan Sulaiman dan Residen Inggris Alexander Hare.
Mengurus Wilayah Dayak
Berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua itu pula maka wilayah yang oleh Belanda disebut Dajaksche Provintien (wilayah Provinsi Dayak) meliputi kawasan-kawasan Kapuas, Kahayan, Dusun, Pembuang (Seruyan), Katingan, Sampit, Kotawaringin dan Jelai serta kawasan-kawasan Mendawai, Sampit, Jelai, dan Kotawaringin.
Sejak tahun 1823 Pemerintah Hindia Belanda mulai mengurus Wilayah Dayak yang berdasarkan Persetujuan Karang Intan Kedua dan tidak lagi berada di bawah pengaruh Kesultanan Banjar.
Ketika Belanda mulai masuk ke wilayah Dajaksche Provintien (wilayah Provinsi Dayak), kondisi saat itu sangat rawan, terutama di daerah pedalaman karena terjadi permusuhan dan sengketa antar suku yang dikenal dengan istilah “3 H” yaitu hakayau, habunu dan hatetek (saling memotong kepala musuh, saling bunuh dan saling penggal).
Orang-orang Belanda yang berusaha masuk ke pedalaman selalu dihinggapi perasaan was-was. Ketakutan dan keresahan atas situasi tersebut juga dirasakan oleh mayarakat Suku Dayak. Masyarakat saat itu harus selalu waspada, pilihannya hanya dua: membunuh atau dibunuh, lalu jika ada yang terbunuh maka harus balas membunuh pihak yang membunuh, begitu terus menerus tidak ada habis-habisnya.
Prihatin atas situasi tersebut, Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 September 1893 mengeluarkan Surat Kuasa guna menugaskan para Resident Afdeling Bagian Barat dan Resident Afdeling Bagian Selatan serta Resident Afdeling Timur Kalimantan, melalui Controleur Afdeling Tanah Dayak dan Controleur Afdeling Bagian Melawi untuk mengadakan pertemuan dengan Kepala-Kepala Adat Melayu dan Dayak serta dengan pihak-pihak terkait.
Pertemuan dimaksudkan memeriksa dan sedapat mungkin menyelesaikan berbagai kasus peperangan dan pembunuhan serta perkara-perkara lainnya yang sering terjadi di masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan adat, serta menghindari timbulnya sengketa-sengketa baru yang melibatkan masyarakat di masing-masing wilayah.
Menurut Pendeta A.R. Nyaring dari Kalimantan Tengah, pada tanggl 14 Juni 1893 di Kuala Kapuas, atas prakarsa Residen Banjarmasin diundang para kepala suku/tokoh adat untuk membicarakan bagaimana caranya agar diselenggarakan perdamaian di antara suku-suku Dayak yang saling bermusuhan.
Pertemuan tersebut membahas, antara lain: Memilih siapa yang sanggup dan mau menjadi ketua dan sekaligus menjadi tuan rumah penyelenggaraan Perdamaian tersebut; Menetapkan tempat penyelenggaraan; Menetapkan kapan waktu penyelengaraan; Menetapkan lamanya sidang damai itu bisa dilaksanakan.
Setelah Residen Banjar berkali-kali bertanya kepada para Kepala Suku dan tokoh yang hadir, siapa yang sanggup untuk menjadi ketua pelaksana dan sekaligus menjadi tuan rumah pelaksanaan rapat damai, hanya Damang Bahtu dari Tumbang Anoi yang berani menyanggupinya. Dengan demikian pertemuan awal menghasilkan beberapa kesepakatan, yaitu: Damang Bahtu ditetapkan sebagai Ketua Pelaksana Rapat Damai.
Diberi Waktu 6 Bulan
Tempat Rapat Damai di Tumbang Anoi, di betang kediaman Damang Bahtu. Diberi waktu kurang lebih 6 bulan untuk melakukan persiapan-persiapan, dan diharapkan pada awal tahun 1894 rapat tersebut sudah bisa dimulai (catatan penyunting:ternyata masa persiapan memakan waktu kurang lebih satu tahun).
Lama persidangan ditetapkan tiga bulan, direncanakan dimulai pada tanggal 1 Januari – 30 Maret 1894. Namun Rapat Damai Tumbang Anoi baru dapat dimulai pada tanggal 22 Mei – 24 Juli 1894.
Undangan disampaikan melalui para Kepala Suku dan tokoh masing-masing daerah. Utusan/peserta rapat haruslah tokoh atau kepala suku yang mengetahui adat-istiadat di daerahnya masing-masing.
Berikut adalah hasil keputusan Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894 yang diringkas menjadi sembilan butir keputusan penting yaitu: Menghentikan permusuhan dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda; Menghentikan kebiasaan perang antar suku dan antar desa; Menghentikan kebiasaan balas dendam antar keluarga; Menghentikan kebiasaan adat mangayau; Menghentikan kebiasaan adat perbudakan.
Kemudian, pihak Belanda mengakui berlakunya Hukum Adat Dayak dan memulihkan segala kedudukan, dan hak-hak suku Dayak dalam lingkup pemerintahan lokal tradisional mereka; Penyeragaman hukum adat antar suku; Menghentikan kebiasaan hidup berpindah-pindah dan agar menetap di suatu pemukiman tertentu; Mentaati berlakunya penyelesaian sengketa antar penduduk maupun antar kelompok yang diputuskan oleh Rapat Adat Besar yang khusus diselenggarakan selama Rapat Damai Tumbang Anoi berlangsung.
Rapat Damai Suku Dayak di Tumbang Anoi ditutup pada tanggal 24 Juli 1894 dalam suatu upacara di depan rumah Damang Bahtu. Sehari kemudian, yaitu pada tanggal 25 Juli 1894, semua kepala suku dan tokoh adat mengucapkan Sumpah Perdamaian, bahwa mereka selanjutnya dengan segala kemampuan siap membantu Pemerintah Hindia Belanda dalam upaya untuk mencapai sasaran perdamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Penamaan Kelompok Dayak
Meskipun “terselip” kepentingan pihak pemerintah Hindia Belanda sebagaimana poin 1 (satu) keputusan rapat di atas tersebut, termasuk ide untuk bersumpah siap membantu pemerintah Hindia Belanda, bagi Suku Dayak, hasil Rapat Damai Tumbang Anoi itu sangat penting, karena sejak saat itulah disepakati untuk menghentikan segala perselisihan dan permusuhan di antara sesama suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan.
Implikasi hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, bagaikan pedang bermata dua. Dari hasil Rapat Damai Tumbang Anoi, terlihat sekali kepentingan Pemerintahah Kolonial Belanda menjadi sangat kental. Belanda berkepentingan diwujudkan pertemuan damai, agar tidak terus-terusan menjadi korban kekerasan sejumlah warga Dayak, setiap kali akan memperluas wilayah taklukan di Kalimantan.
Maka tidak heran, baik dari segi pakaian para peserta rapat, sangat dipengaruhi kebudayaan kolonial Hidia Belanda. Pasca Pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, kolonial Belanda semakin memperkukuh pengaruhnya di Kalimantan.
Saat bersamaan, pertemuan Damai Tumbang Anoi, secara nyata membawa sejarah baru di dalam peradaban di kalangan Suku Dayak, karena dihentikannya budaya kekerasan, berupa saling potong kepala manusia demi kehormatan dan harga diri kelompok dan keluarga.
Selain itu, dihentikan pula praktik jipen atau budaya perbudakan bagi tawanan yang kalah perang atau pihak lain yang tidak mampu membayar utang.
Pasca pertemuan Damai Tumbang Anoi, 22 Mei – 24 Juli 1894, penataan wilayah pemukiman Suku Dayak semakin terarah dan terpola, karena perlahan-lahan budaya berpindah-pindah tempat, untuk menghindari gesekan dalam perebutan wilayah, semakin berkurang.
Penamaan kelompok yang kemudian dikategorikan ke dalam subsuku, semakin memperkukuh identitas yang dalam takaran tertentu identik dengan aliran sungai atau sebuah kawasan besar dan luas di sebuah wilayah tempat bermukim.
Suku Dayak Kantuk di Provinsi Kalimantan Barat, misalnya, mengacu kepada nama Sungai Kantuk di Kabupaten Sanggau dan di Kabupaten Kapuas Hulu. Suku Monday di Kabupaten Kapuas Hulu, menggambarkan warga masyarakat dari subsuku Dayak yang bermukim di sepanjang Sungai Monday (bisa jadi bagian stramras Dayak Uud Danum).
Suku Dayak Kanayatn, diilustrasikan kalangan Suku Dayak yang berada di wilayah pesisir wilayah Kesultanan Sambas, Kesultanan Mempawah dan Kesultanan Pontianak yang belum memeluk Agama Islam.
Dayak Uud Danum, mengacu kepada sejumlah kelompok orang Dayak yang lebih suka memilih tempat tinggal di pahuluan sungai. Uud artinya hulu dan danum artinya air (sungai). Uud Danum terjemahan harafiahnya orang yang tinggal di pehuluan sungai. (Aju)