BEKASI (IndependensI.com)- Rasionalisasi anggaran di setiap organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, terpaksa dilakukan. Itu dilakukan akibat terjadi defisit pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2018. Nilainya cukup besar yakni hingga Rp 900 miliar.
Beberapa pejabat Pemkot Bekasi, mengakui pihaknta diperintahkan untum melakukan rasionalisasi anggaran. “Yang tadinya kegiatan dua kali, cukup sekali saja. Itu dilakukan terhadap kegiatan yang belum dilaksanakan atau biayanya belum terserap sampai saat ini,” ungkap seorang pejabat eselon III, Kamis (30/8/2018).
Tingginya nilai defisit karena belanja yang dilakukan pemerintah terlalu besar, tanpa melihat jaminan pendapatan yang akan diperoleh, ujar Angota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Bekasi, Chairoman J. Putro. Ia menilai, pemerintah terlalu lemah dalam melakukan perencanaan dan penganggaran keuangan daerah.
Ia menilai ada beberapa penyebab difisit tersebut. Pertama, Tunjangan Penambahan Penghasilan (TPP) aparatur terlalu besar sehingga membebani postur keuangan daerah. Kedua, pemerintah terlalu memaksakan pengerjaan proyek tahun jamak (multiyears), yang merupakan janji politik kepala daerah.
Ketiga, pembiayaan Kartu Sehat berbasis Nomor Induk Kependudukan (KS NIK) senilai Rp 200 miliar untuk menutupi biaya kesehatan masyarakat terlalu besar, dan penambahan jumlah tenaga kerja kontrak (TKK) di seluruh OPD) setempat.
“Pemerintah sedang mati suri, karena dana yang tersisa saat ini hanya untuk keperluan gaji pegawai seperti honor tenaga kerja kontrak (TKK) dan tunjangan aparatur,” kata Chairoman, Kamis (30/8/2018).
Berdasarkan data yang diperoleh Warta Kota, TPP paling besar diterima oleh Sekretaris Daerah Kota Bekasi atau pegawai eselon II A mencapai Rp 75 juta. Jumlah itu terdiri dari tunjangan statis Rp 45 juta dan tunjangan dinamis Rp 30 juta.
Sedangkan pegawai eselon II B setingkat Asisten Daerah, Kepala Dinas dan Staf Ahli mendapat TPP mencapai Rp 43 juta. Rinciannya tunjangan statis Rp 26.100.000 dan tunjangan dinamis Rp 17.400.000.
Penambahan TKK di seluruh OPD juga menjadi beban keuangan daerah, karena selain memperoleh gaji Rp 3,9 juta per bulan, mereka juga mendapat TPP di kisaran Rp 1 juta sampai Rp 2,5 juta per bulan.
Tahun lalu jumlah TKK sekitar 4.000 orang, namun 2018 naik sekitar 9.000 menjadi 13.000 orang. Otomatis, alokasi dana yang sebelumnya Rp 350 miliar untuk menggaji TKK, kini naik menjadi Rp 740 miliar.
Fenomena ini bisa diantisipasi bila pemerintah melakukan pemangkasan terhadap beberapa poin pemicu terjadinya defisit. Misalnya, nilai TPP di kalangan aparatur dipotong menyesuaikan keuangan daerah dan menghentikan sementara proyek multiyears.
Proyek multiyears yang dilakukan oleh dua OPD yakni Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Disperkimtan) serta Dinas Bina Mirga dan Sumber Daya Air (BMSDA) disebut paling besar menelan anggaran. Komposisinya sekitar Rp 600 miliar kegiatan di Disperkimtan dan Rp 400 miliar di Dinas BMSDA.
Asisten Daerah III Kota Bekasi, Dadang Hidayat tidak menampik adanya defisit anggaran di Pemerintah Kota Bekasi, namun dia enggan menyebut nilainya. “Itu angkanya (Rp 900 miliar) belum pasti karena masih dihitung, tapi yang jelas akan ada pemangkasan kegiatan yang sifatnya tidak prioritas,” kata Dadang.
Disebutkan, segala kemungkinan seperti pemotongan TPP di kalangan dan penundaaan pembayaran proyek multiyears bisa saja terjadi. Apalagi pemerintah sedang mengedepankan kebijakan fiskal untuk menstablikan perekonomian keuangan daerah. “Untuk sementara waktu yang mungkin dilakukan adalah penundaan pembayaran proyek ke pihak ketiga di tahun 2019,” ujarnya.
Sebagaimana diketahuj, besaran APBD Kota Bekasi tahun 2018 sebesar Rp 5,6 triliun. Sebagian besar anggaran buat gaji ditambah tunjangan daerah para pejabat yang terbesar se Jawa Barat, sebagaimana pernah diungkapkan Penjabat Wali Kota Bekasi Ruddy Gandakusumah. (jonder sihotang)