JAKARTA (IndependensI.com) – Peneliti Pusat Studi Benca Institut Pertanian Bogor (IPB), Pri Menix Dey menilai berbagai program terobosan yang telah dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) hingga saat ini telah terbukti mampu meningkatkan produksi pangan secara nyata. Tidak hanya berhenti pada peningkatan produksi, program terobosan tersebut juga telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan menjaga stabilitas harga pangan pada tingkat yang wajar.
“Faktanya, melihat data BPS hasil rapat koordinasi bersama Kementan, pada tahun 2014 produksi padi di Indonesia mencapai 70,8 juta ton gabah kering giling. Produksi padi 2015 dan 2016 hingga 2017 pun terus mengalami peningkatan yakni masing-masing 75,4 juta ton, 79,4 juta ton dan pada pada tahun 2017 naik menjadi 81,1 juta ton gabah kering giling,” demikian beber pria yang akrab disapa Pri Menix di Bogor, Kamis (11/10).
“Peningkatan produksi ini selain disebabkan adanya perbaikan produktivitas, pada saat yang sama juga terjadi peningkatkan luas panen yang disebabkan adanya peningkatan indek pertanaman, khususnya pada lahan-lahan yang tidak berkompetisi dengan tanaman lainnya. Kita sudah cek, misalnya lahan pertanian di Jawa Barat, banyak lahan sawah yang dulu hanya satu kali tanam, tapi sekarang bisa dua hingga tiga kali tanam,” sambungnya.
Koordinator Nasional Indonesia Food Watch (IFW) ini pun menegaskan peningkatan produksi padi pun terus terjadi pada tahun ini. Lihat saja data Angka Ramalan (ARAM) I 2018 BPS, produksi padi diperkirakan juga meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 83,0 juta. Mengacu data produksi ini, diperkirakan pada tahun 2018 produksi beras mencapai 48 juta ton, sementara kebutuhan beras dalam negeri sekitar 30 hingga 33 juta ton per tahun.
“Artinya apa? Ini menunjukkan produksi dalam negeri sudah jauh melebihi kebutuhan dalam negeri. Stok beras tidak hanya ada di gudang Bulog, tetapi juga ada di rumah tangga, industri, hotel, restoran, dan katering. Sehingga pada dasarnya kita tidak perlu impor. Bahkan dengan produksi sebesar itu, kita masih punya cukup banyak kelebihan beras untuk memenuhi kebutuhan tahun depan,” ujarnya.
Terkait keakuratan data produksi di atas, Pri Menix menilai tidak ada keraguan terhadap data produksi beras yang disajikan pemerintah saat ini. Pasalnya, terlepas dari keterbatasannya, metode pengumpulan data produksi padi yang masih dipakai saat ini sudah lama ditentukan secara bersama-sama oleh BPS dengan Kementan. Baik sebelum tahun 2015 maupun sampai saat ini metode tersebut tidak berubah, yaitu tetap berpedoman pada survei pertanian yang telah disepakati BPS dan Kementan.
“Artinya, data yang dikumpulkan juga merupakan hasil pengolahan BPS kemudian disinkronisasikan pada rapat pembahasan Angka Tetap, Angka Sementera, Angka Ramalan yang dihadiri oleh semua perwakilan BPS pusat dan provinsi serta dinas-dinas pertanian seluruh Indonesia,” tegasnya.
Selain itu, Pri Menix pun menilai upaya pemerintah saat ini yang secara terus menerus untuk meningkatkan produksi beras dalam negeri untuk memenuhi kebutuhannya merupakan pilihan yang bijak. Hal ini sangat beralasan karena dengan kondisi pasar beras dunia yang tipis yakni beras yang diperdagangkan tidak lebih dari 10% dari total produksi beras dunia, maka bagi Indonesia yang berpenduduk cukup besar dengan tingkat partisipasi konsumsi beras hampir 100%, pemenuhan kebutuhan beras yang bergantung pada impor sangat riskan terhadap ketahanan pangan nasional.
“Tak hanya itu, pada kondisi nilai tukar rupiah yang melemah, pilihan memperkuat produksi dalam negeri dan mengurangi atau bahkan tidak impor akan dapat menjaga agar nilai tukar rupiah tidak semakin terpuruk dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” terangnya.
“Karena itu, upaya memperkuat produksi dalam negeri dengan menerapkan inovasi teknologi yang berbasis pada keunggulan komparatif dan sumberdaya setempat serta perbaikan efisiesi biaya produksi merupakan pilihan yang bijak. Tentu upaya ini juga sebagai ujung tombak mensukseskan Nawacita Presiden Jokowi yakni membangun negara dari pinggiran,” pungkas Ketut.
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementan, Ketut Kariyasa mengatakan terkait data luas panen, walaupun sering disebut dengan pendekatan klasik “eye estimate”, namun dalam pelaksanaannya pencatatan luas panen adalah berdasarkan laporan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) atau Manteri Tani yang tahu betul tentang jumlah luas panen riil yang ada di wilayah kerjanya.
“PPL atau Manteri Tani pada saat melaporkan atau mencatat tidak mendapat tekanan dari siapapun untuk melaporkan lebih dari yang sebenarnya,” pintanya.
Ketut pun menegaskan dalam rangka perbaikan data pangan, Kementan menyambut dengan baik adanya metode baru dalam perhitungan luas panen, yaitu Kerangka Sampel Area (KSA) yang sedang dikembangkan oleh BPS. Bahkan Kementan sangat berharap hasilnya secepat mungkin dirilis.
“Namun yang perlu dicatat bahwa sekalipun dengan menggunakan metode KSA, melalui program-program terebosan yang sedang dijalankan pemerintah melalui Kementan, kami yakin produksi padi atau beras dalam negeri akan tetap lebih besar dari kebutuhannya,” tegasnya.