JAKARTA (IndependensI.com)— Pemerintah Indonesia mewaspadai penyebaran wabah penyakit hewan African Swine Fever (ASF). Penyakit yang menyerang babi ini dikabarkan terjadi di beberapa negara, terutama yang memiliki banyak populasi babi.
Tiongkok merupakan salah satu negara tersebut. Populasi babi di sana mencapai sekitar 400 juta ekor, terbesar di dunia. Sejak awal penyakit ini diumumkan pada awal Agustus 2018, sudah 13 provinsi di sana terdampak ASF, salah satunya di kota Shenyang, Provinsi Liaoning.
Dalam waktu relatif singkat penyakit ini telah ditemukan di tujuh tempat dalam lima provinsi di Tiongkok Timur, yakni Liaoning, Henan, Jiamusi, Zhejiang dan Ahui. Puluhan ribu ekor babi harus dimusnahkan untuk menghindari penyebaran penyakit tadi. Wabah ASF di Tiongkok merupakan yang pertama di Benua Asia.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, menjelaskan Indonesia harus mewaspadai ancaman masuknya ASF ini. Belajar dari pola penyebaran penyakit babi sebelumnya, setelah terdeteksi di Tiongkok, maka dalam beberapa tahun penyakit tersebut telah terdeteksi di negara-negara di kawasan Asia Tenggara mengikuti pola lalu lintas babi dan produknya.
“Asia Tenggara kami nilai rawan terserang ASF. Ini jelas akan membahayakan populasi babi di Indonesia. Semua pemangku kepentingan akan sangat dirugikan. Kita harus mencegah sedini mungkin,” ujarnya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan, Kementerian Pertanian mengumpulkan dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan se-Indonesia. Pertemuan ini juga melibatkan laboratorium kesehatan hewan (balai veteriner), Institusi pendidikan dan akademisi, pelaku bisnis bidang peternakan dan kesehatan hewan, dan para peternak babi. Semuanya berkumpul di Solo pada 31 Oktober untuk menyamakan pola pandang terkait ancaman dan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mencegah masuk dan kemungkinan menyebarnya ASF.
Direktur Kesehatan Hewan menegaskan pemerintah telah menetapkan kebijakan yang ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Hal ini sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut Fadjar berpesan kepada pemangku kepentingan terkait untuk memastikan langkah pemusnahan yang tepat dari sisa-sisa makanan yang berasal dari pesawat udara, kapal laut atau kendaraan yang datang dari negara-negara tertular ASF. Sebabnya, virus ASF tahan hidup dalam daging babi yang telah diasap, diberi garam atau makanan kurang matang. Karena itu sisa daging babi dan bahan mengandung babi mudah menularkan penyakit ini.
Khusus untuk peternak, Fadjar meminta agar peternakan tidak memberikan sisa-sisa makanan dapur atau sampah (SWILL) yang mengandung daging babi atau produk daging babi yang kurang dimasak atau tidak dimasak kepada babi. “Apabila langkah-langkah tersebut kita bisa jalankan dengan benar, dan syitem surveilans bisa dilaksanakan dengan tepat, maka saya optimistis populasi babi di Indonesia yang berjumlah 8 juta ekor lebih dapat kita lindungi dari ancaman ASF” ujarnya.
Andri Jatikusumah, National Technical Adviser dari FAO ECTAD Indonesia menambahkan alasan kenapa Indonesia perlu mewaspadai ancaman penyakit hewan ASF. Di antaranya adalah sampai saat ini belum ditemukan vaksin anti-ASF dan tidak ada pengobatan apabila sudah terjadi kasus. Satu-satunya cara untuk mencegah penyebaran dan mengendalikan kasus apabila sudah terjadi adalah dengan cara memusnahkan babi-babi tersebut.
Walaupun beberapa negara Eropa berhasil memberantas penyakit ini, namun sampai akhir Oktober 2018, sebaran penyakit ASF masih cukup banyak di dunia. Berdasarkan kajian analisa risiko, Indonesia harus mewaspadai kemungkinan masuknya ASF melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya. “Sisa-sisa katering transportansi internasional (laut dan udara), serta orang yang terkontaminasi virus ASF dan kemudian kontak dengan babi di Indonesia juga harus diwaspadai,” tambah Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan Indonesia Tri Satya Putri Naipospos.
Sementara itu Ida Bagus Ardana, Pengurus Asosiasi Dokter Hewan Monogastrik Indonesia (ADHMI) sekaligus guru besar dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Udayana menjelaskan kemampuan deteksi dini penyakit hewan sangat diperlukan agar penyakit ASF segera tertangani dan tidak sampai menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Lebih lanjut Ardana menyampaikan bahwa Biosekuriti adalah strategi utama mencegah terjadinya ASF di peternakan-peternakan babi di Indonesia.
Senada dengan Ardana, Widya Asmara, pakar penyakit hewan dan guru besar FKH Universitas Gadjah Mada menjelaskan tanda-tanda klinis penyakit ASF untuk memudahkan pengenalan penyakit bagi peternak dan petugas kesehatan hewan. Dengan mengenali tanda-tanda itu, langkah cepat penanggulangan dapat dilakukan. Deteksi cepat, pelaporan cepat, dan respon cepat diperlukan untuk bisa mencegah penyebaran penyakit tambahnya.