JAKARTA (IndependensI.com) – Kredibilitas pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, di mata dunia makin terpuruk.
Amnesti Internasional mencabut penghargaan kemanusiaan kepada Suu Kyi karena dianggap melakukan pengkhianatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) yang dulu dia perjuangkan.
Pengumuman pencabutan Ambassador of Conscience Awards dari Amnesti Internasional ini memperpanjang hilangnya penghargaan-penghargaan bergengsi yang diterima Suu Kyi.
Amnesti Internasional menilai pemimpin de facto Myanmar itu gagal menghentikan kampanye kekerasan terhadap muslim Rohingya. Mereka mengaku kecewa dan sedih karena Suu Kyi tidak berbeda dengan militer Myanmar yang melakukan penindasan dan intoleransi kebebasan berekspresi terhadap minoritas.
“Kami berharap Suu Kyi akan melanjutkan pendirian dan per juangan moralnya untuk melawan ketidakadilan, tak terkecuali di Myanmar,” ujar Sekjen HAM Amnesti Internasional Kumi Naidoo, dilansir independent. co.uk.
Dia menambahkan, rentetan kekerasan yang menimpa warga Rohingya jelas menunjukkan bahwa Suu Kyi tidak lagi merepresentasikan simbol harapan, keberanian, dan HAM. Para warga Rohingya kini hidup menderita di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh karena ketakutan atas tindakan otoritas Myanmar.
Sebelum Amnesti Internasional, US Holocaust Memorial Museum juga mengumumkan mencabut penghargaan tertinggi Elie Wiesel Award yang diberikan kepada Suu Kyi awal tahun ini. Mereka menyatakan Suu Kyi gagal membendung atau mengutuk kejahatan kemanusiaan yang menimpa suku Rohingya di Rakhine.
Pengumuman tersebut dikeluarkan pada 7 Maret waktu setempat di situs resmi ushmm.org. Sejak Rohingya dibantai pada 2012, Suu Kyi tidak pernah bersuara seperti saat menentang rezim militer. Begitu pun saat Rohingya dikucilkan secara peraturan perundangan di Myanmar, tidak ada perlawanan dari dia.
Langkah Suu Kyi ini membuat banyak pihak kecewa. Padahal, Suu Kyi kini memiliki kekuatan di Myanmar. Sesuai dengan amanat konstitusi, Suu Kyi yang memiliki anak keturunan non-Myanmar tidak bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Meski demikian, atas dukungan masyarakat yang kuat selama pemilihan umum (pemilu), dia tetap diberi wewenang untuk memegang jabatan penting konselor negara.
Kunci pemerintahan seperti keamanan negara tetap dikuasai militer. Kendati isu Rohingya ditangani para pejabat senior militer, Suu Kyi diharapkan memegang teguh pendiriannya dalam masalah HAM. Namun, sebaliknya, Suu Kyi justru mendukung kebijakan militer, menolak investigasi internasional, dan menolak Rohingya.
US Holocaust Memorial Museum mengeposkan sebuah surat tertanggal 6 Maret untuk Suu Kyi di situs ushmm.org. Surat itu dikirimkan lewat Aung Lynn, duta besar (dubes) Myanmar untuk Amerika Serikat (AS). Sejauh ini Kedutaan Besar (Kedubes) Myanmar tidak mem berikan komentar mengenai surat tersebut.
Surat yang ditulis Sara J Bloom itu juga mendesak Suu Kyi menggunakan posisinya un tuk bekerja sama dengan lem baga internasional yang berupaya menguak kebenaran di balik tragedi kemanusiaan yang memilukan di Rakhine, dan untuk menghukum pelaku.
Dia juga diminta memimpin per ubahan UU Myanmar. Suu Kyi menerima penghargaan tersebut pada 2012 silam. Elie Wiesel Award biasanya diberikan setahun sekali kepada mereka yang melawan kebencian, mencegah pembantaian, dan mempromosikan martabat manusia secara internasional, baik laki-laki maupun perempuan.
Suu Kyi dianggap sebagai ibu demokrasi. US Holocaust Memorial Museum pun menyatakan mengunjungi Myanmar dan Bangladesh untuk mengumpulkan bukti dan mewawancarai korban. Pada tahun lalu, mereka merilis temuan baru yang berisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, pembersihan etnis, dan banyaknya bukti adanya pembantaian.
“Sayangnya, selama lima tahun terakhir, situasinya menjadi lebih buruk,” ungkap US Holocaust Memorial Museum. Revokasi ini menunjukkan citra Suu Kyi sebagai pah lawan HAM telah luntur. Sekitar 700.000 warga Rohingya terpaksa melarikan diri dari Rakhine dan melintasi perbatasan menuju Bangladesh.
Mereka hanya membawa barang seadanya dan kisah-kisah tragis, termasuk pemerkosaan, pembunuhan, dan pembakaran. Berdasarkan laporan Human Right Watch (HRW), kebanyakan teror itu direncanakan.
Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai imi gran ilegal, meski sudah tinggal di Rakhine selama beberapa belas generasi. Alhasil mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Akibatnya mereka tidak mendapatkan akses kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan hanya hidup apa adanya.(budi/ist)