JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Negeri Kota Bekasi bongkar kasus dugaan korupsi di Satuan Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Satlak BPBD) Kota Bekasi, Jawa Barat terkait kasus beras tanggap darurat fiktif tahun 2016 dan 2017 yang diduga merugikan negara Rp1,8 miliar.
Dalam kasus ini sudah ada tiga tersangka. Salah satunya Kepala Satlak BPBD Kota Bekasi Drs HI. Dua tersangka lain yaitu PS (PNS Satlak BPBD) dan AD (Pegawai lepas harian BPBD)
Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bekasi Hermon Dekristo saat dikonfirmasi, Kamis (15/11/2018) membenarkan pihaknya sedang mengusut kasus tersebut, bahkan sudah menahan dua tersangkanya yaitu PS dan AD.
“Keduanya kami tahan sejak 13 November 2018 selama 20 hari di Lapas Bulak Kapal, Bekasi,” tutur Hermon didampingi Kasi Pidsus Siju, Kasi Intel Gusti hambali dan Kasi Datun Selamat Haryadi. Dikatakannya guna mengungkap kasus tersebut pihaknya sudah memeriksa 41 saksi. Diantaranya lurah, camat, relawan dan pegawai Bulog Sub Divre Karawang.
Adapun modusnya Satlak BPBD Kota Bekasi mengajukan permohonan cadangan beras pemerintah (CBP) pada 2016 dan 2017 kepada Perum Bulog Sub Divre Karawang dengan bekal surat penetapan status siaga darurat dari Walikota Bekasi.
Atas permohonan itu pihak Bulog mengeluarkan surat perintah penyerahan barang (SPBB) atau Delivery Order yang digunakan tersangka PS dan AD untuk mencairkan CBP sebanyak 100.000 kilogram atau 100 ton dari Gudang Bulog.
Sementara dari hasil penyidikan ditemukan bukti dari 100 ton CBP yang dimohon pada 2016 hanya 13.425 kilogram beras disalurkan kepada korban bencana banjir. Sisanya 86.575 kilogram beras dijual dan uangnya digunakan kepentingan lain termasuk kepentingan pribadi para tersangka.
Begitupun untuk 2017 beras CBP yang diterima BPBD kota Bekasi dari pihak Bulog tidak disalurkan kepada korban bencana, tetapi dijual ke pedagang bernama Sayda di Bantargebang dan uangnya untuk kepentingan pribadi para tersangka.
Selain itu, kata Hermon, terkait CBP seharusnya pihak Bulog tidak keluarkan DO untuk Satlak BPBD Bekasi. “Karena sesuai Peraturan Menteri Sosial Nomor 20 Tahun 2012 bahwa CBP hanya diperuntukan untuk status bencana tanggap darurat bukan siaga darurat,” tutur Hermon.
Dalam penyidikan terungkap juga dalam pengeluaran CBP untuk tahun 2017 didasari SK Walikota Bekasi yang ditandatangan dengan cara di scan oleh tersangka. “Karena Walikota Bekasi tidak pernah mengeluarkan surat penetapan status bencana apapun, baik status siaga darurat atau status tanggap darurat,” ucap Hermon.
Hermon tidak menepis kemungkinan ada tersangka lain selain tiga orang yang telah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka. “Ya nanti kita lihat perkembangan selanjutnya.” (MJ Riyadi)