SINTANG (Independensi.com) – Masyarakat Suku Dayak Uud Danum yang tergabung di dalam Program Pelestarian Jantung Borneo, Heart of Borneo (HoB) mengusulkan penetapan Hutan Cagar Adat Kolohkak Tambun Bungai di pehuluan Sungai Melawi, Desa Deme, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar).
Usulan komunitas masyarakat Suku Dayak Uud Danum direspons positif Program Director Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan, Puspa Dewi Liman, Ketua Forum Masyarakat (Forma) HoB, Marko Mahin, Ketua Forma HoB Provinsi Kalimantan Barat, Markus, Perwakilan World Wide Fund for Nature (WWF) Sintang, Didi Wahyudi, serta delegasi masyarakat dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Melawi dalam pertemuan di Sintang, Minggu, 9 Desember 2018.
Berkaitan dengan itu, baik Puspa Dewi Liman, maupun Marko Mahin dan Didi Wahyudi, berjanji segera berkoordinasi dengan komunitas Dayak Uud Danum, melakukan pendataan awal, sebelum dilakukan pemetaan potensi sumberdaya alam, karena luas areal yang diusulkan menjadi Hutan Cagar Adat Kolohkak Tambun Bungai seluas 100 ribu hektar.
Kolohkak artinya situs pemukiman. Tambun dan Bungai, dua nama tokoh legendaris dalam legenda suci Dayak Uud Danum. Luas keseluruhan Kecamatan Momaluh, mencapai 5 ribu kilometer pergi, setara dengan luas Provinsi Bali. Kecamatan Momaluh sekarang tengah dirancang untuk dimekarkan menjadi dua kecamatan baru.
Usulan komunitas Dayak Uud Danum, mengacu kepada point ke-30 rekomendasi seminar nasional: Hutan Adat, Tanah Adat, dan Identitas Lokal Dalam Integrasi Nasional, digelar Panitia Pekan Gawai Dayak Provinsi Kalimantan Barat ke-XXXII Tahun 2017 di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017.
Bunyinya, “Kawasan Situs Pemujaan berupa Air Terjun Nohkan Lonanyan setinggi 180 meter hingga kawasan pehuluan Puruk (Gunung) Mindak di Desa Deme dan situs Pemukiman Leluhur Tambun Bungai (Legenda Dayak Uud Danum yang disebut tatum) di Olung Pojange dan Olung Kolon, Desa Monahkon seluas 100.000 (seratus ribu) hektar di Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang sebagai Hutan Cagar Adat Suku Dayak Dayak Uud Danum.”
“Komunitas Dayak Uud Danum, agar berkoordinasi lebih komprehensif dengan WWF di Kalimantan Barat, terutama masalah sinkronisasi lahan,” kata Puspa Dewi Liman.
Marko Mahin, menegaskan, pengecekan lahan berkaitan dengan pemetaan lahan, agar lebih memberdayakan WWF Kalimantan Barat, dan kemudian perlu dibentuk kelembagaan internal dan penyusunan rencana pengelolaan di lingkungan komunitas masyarakat Suku Dayak Uud Danum.
Marko Makin berharap, selain mengemukakan alasan penetapan Hutan Cagar Adat Kolohkak Tambun Bungai, sebagai tempat suci, menggelar ritual adat, masyarakat Suku Dayak Uud Danum, harus bisa memaparkan alasan dijadi hutan cagar adat, lantaran sebagai sumber resapan air.
Tambun dan Bungai
Tambun dan Bungai merupakan bagian dari 75 tokoh legendaris dalam legenda suci Dayak Uud Danum. Bahkan Komando Daerah Militer di Palangkaraya, 1958 – 1974, pernah diberi nama Kodam XI/Tambun Bungai.
Pertimbangan menjadi Hutan Cagar Adat Kolohkak Tambun Bungai, karena sebagai salah satu tempat suci dalam Agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak Uud Danum, Dayak Ngaju dan Dayak Baritu.
Di pehuluan Sungai Nohkan Lonanyan, anak Sungai Deme yang kemudian mengalir ke pehuluan Sungai Melawi, tepatnya di wilayah Desa Deme, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, ditemukan kawasan sangat beracun yang diduga mengandung zat belerang sangat aktif, karena tamanan kehutanan di sekitarnya merangas dan mati.
Tapi air yang mengalir dari areal sangat beracun, kembali normal setelah lebih dari diameter 10 kilometer ke bawahnya, dengan dibuktikan air bisa dikonsumsi masyarakat.
Berdasarkan legenda kolimoi, kawasan sangat beracun berdiameter 10 kilometer, dinamakan sohpan ahpui (kawasan berapi), sebagai lokasi pemakaman anak Sahabung (manusia alam atas) dengan Nyai Endas, manusia di alam bumi.
Sahabung menandai lokasi pemakaman anaknya itu, menurut legenda Dayak Uud Danum yang dinamakan kolimoi, dengan menciptakan sebuah kawasan sangat beracun yang dinamakan sohpan ahpui.
Kolimoi menuturkan, tanpa ada ikatan pernikahan sekalipun, apabila manusia alam atas sering berinteraksi sosial dengan manusia alam bumi yang berlainan jenis kelamin, maka si perempuan dipastikan akan hamil dan melahirkan anak.
Sahabung dan Nyai Endas memang tidak terikat pernikahan dan dilegendakan pula tidak pernah hidup bersama. Keduanya hanya sering berinteraksi satu sama lain sebagaimana manusia biasa lainnya.
Tapi Sahabung sadar, Nyai Endas hamil, lantaran sering berinteraksi dengannya tanpa ikatan pernikahan dan atau tanpa persetubuhan. Saat Nyai Endas melahirkan, anaknya sudah keburu meninggal dunia.
Menyadari anaknya sudah meninggal dunia saat melahirkan, Sahabung pergi ke alam atas, alam danun diang, danum kaharingan (air kehidupan), membawa air yang jika diperciki ke muka jasad anaknya, bisa hidup.
Nyai Endas Menangis
Tapi Sahabung berpesan kepada Nyai Endas, untuk tidak boleh melanggar pantang, yakni tidak boleh bersedih, apalagi bersedih sampai menangis mengeluarkan air mata. Tapi saking sayang kepada anaknya, Nyai Endas lupa pesan Sahabung, dengan menangis dan meneteskan air mata.
Sampai di alam danum kalunen, alam bumi, Sahabung tahu Nyai Endas menangis. Tapi dampak buruk dari Nyai Endas menangis, mengeluarkan air mata, anaknya sudah tidak bisa dihidupkan kembali, kendatipun harus diteteskan dengan air danum kaharingan, air kehidupan, air alam atas yang dibawa Sahabung dari sebuah kehidupan dari alam atas.
Saking sayangnya dengan anak hasil hubungan interaksi sosial dengan Nyai Endas, maka Sahabung memakamkan anaknya di tengah sungai di pehuluan Sungai Nohkan Lonanyan, dengan pesan sumpah, seluruh mahluk hidup yang berada di sekitarnya dengan radius tertentu, akan mati apabila menghirup udara di sekitarnya.
Dalam legenda tahtum setelah kolimoi, diceritakan proses perpindahan sebagian generasi Suku Dayak Uud Danum dari Olung Kolon dan Olung Pojange, Desa Monahkon, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, ke wilayah pehuluan (di antaranya ke pehuluan Sungai Katingan, Kabupaten karingan) Provinsi Kalimantan Tengah, akibat konflik internal keluarga (konflik Tingang dan Bihing).
Itulah sebabnya, berdasarkan versi tahtum, komunitas Suku Dayak di Kalimantan, sebagian besar bermukim di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, terutama di wilayah Kabupaten Kapuas, Kabupaten Katingan, Kabupaten Murung Raya, Kabupaten Kota Waringin Barat dan Kabupaten Kotawaringin Timur.
Legenda kolimoi dan tahtum, dengan keberadaan danum kaharingan artinya air kehidupan artinya air yang berasal dari alam atas, dalam aspek anthropologi dan sosiologi, sangat menarik apabila ada produk literasi khusus dikaitkan dengan keberadaan Agama Kaharingan.
Suku Dayak Uud Danum memiliki dua jenis legenda yang cukup populer, yakni kolimoi dan tatum. Kolimoi menceritakan kehidupan manusia di alam gaib (khayangan), dengan bahasa dan gaya bertutur yang sangat halus dan sangat spesifik di dalam berkomunikasi.
Penuturan kolimoi diekspresikan dengan bahasa sastra penuh makna, berkaitan satu sama lain, menyangkut pengungkapan, perilaku dan gaya hidup yang penuh kesantunan, kesopanan, serta rasa penuh hormat dan kujujuran kepada mohotarak danum diang (Yang Maha Kuasa).
Kehidupan Alam Gaib
Kolimoi menceritakan kehidupan manusia di alam gaib yang sangat patuh akan tradisi dan budaya leluhur.
Di antara tokoh kolimoi adalah Sahabung, Komanai Olung Sahai bergelar Komanai Kuhung Cahai Langit, Uhkok bergelar Anin Pungut Lacak Bisuk, Songumang bergelar Lacak Tanjung Sakai Duhung atau Amai Pulang Tanjung Sakai Duhung, Lahuk Anak Benang.
Kemudian, Sokulun, Oling, Dilang, Hacik, Rahuk Anak Benang bergelar Lahuk Laut Bungai Duhung, Sokanak bergelar Tiung Beo Ngopiah Bulo (adik Songumang), Sokahtuk bergelar Haoi Lupang Kajas Tuhtung Lubuk Kapui Daben Aphui.
Di samping itu, Dalung Maban bergelar Dalung Ahtak Bosai Saleng Lacak Tumbang Danum Tuah, Menyae bergelar Amai Libeu Bahtang Menyamuk Duhung. Tokoh perempuan generasi kolomoi, di antaranya, Pongotak, Burak, Tosahkik, Jolingoi, Lenden, Lucang, Manyang Bulan, Nyaring Pulang, Mangut bergelar Nyai Ngiban Deleh Bulan, Lating (adik Komanai Olung Sahai), Lupung (adik Rahuk) bergelar Lupung Laut Bungai Luhung.
Kolimoi mengilustrasikan masing-masing tokoh memiliki kelebihan dan keunggulan masing-masing di jamannya, di dalam memberikan teladan hidup bagi umat manusia di alam bumi.
Baik kolimoi maupun tahtum, memiliki ratusan dan bahkan ribuan cerita menarik tentang kepahlawanan dan heroisme kehidupan di masa silam para tokoh Suku Dayak Uud Danum.
Kolimoi dan tahtum, biasanya dituturkan para penutur sastra lisan kalangan Suku Dayak Uud Danum, lebih dari satu malam, di tengah puluhan audiens, sepanjang malam suntuk.
Tahtum menceritakan kehidupan manusia di alam bumi yang di dalam takaran tertentu, sangat sering berhubungan dengan manusia di alam gaib. Tahtum menceritakan keberanian, kejujuran dan ketaatan terhadap adat-istiadat yang mesti diteladani generasi penerus yang dipertahankan sampai sekarang.
Tindak kekerasan yang sering mencuat di dalam tahtum, seperti peperangan yang merenggut korban jiwa, lebih kepada implikasi interaksi sosial antar manusia Dayak Uud Danum, di mana salah satu pihak, dan atau pihak luar, terbukti melanggar etika, moral, kejujuran dan sopan-santun.
Etika dan Moral
Tradisi menjunjung tinggi etika, moral, kejujuran, kesopanan, kesantunan, menjaga kelestarian alam sekitar, menghormati budaya leluhur di kalangan Dayak Uud Danum, sebagian tertuang di dalam dogma atau doktrin Agama Kaharingan yang pemeluknya banyak di kalangan masyarakat Suku Dayak Uud Danum dan Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Tengah.
Tatum memiliki setidaknya 75 tokoh, berkait, beruntun, berkesinambungan satu sama lain. Di antara tokoh tahtum yang sangat legendaris, yakni Bihing, Damang Sabang, Lambung, Sephung (Sam Hau Fung), Kolakang, Likai, Ekan, Sangen, Songalang (adik kandung Bungai) bergelar Songalang Bio Hobuluk Bulo alias Bahkas Bajan Endas Nyalan, Nohoon Endas Mocon.
Arti gelar Songalang adalah penjaga rumah agar terjamin kelestarian budaya, etika dan moral leluhur. Songalang diilustrasikan memiliki kesaktian dan yang lebih tinggi dari Bungai.
Tokoh laki-laki tahtum lainnya, Damang Ahphui, Andin Amai Benang bergelar Lukun Olung Sahkau Bahtang, Kolatung Laung Penyang, Iman Tambun (tokoh manusia yang hidup di gua), Sabang Owah Olung Dahtah, Sarun Nukan Olung Monyangan (selalu seorang diri jika mengayau bertujuan memotong kepala manusia).
Lalu, Basiu Anjuk Kuhung Bahtuk Dalang Patuk Kuhkoi Kaluk Balahaan Nuhkat Honjan Lunjan Depah Uhpah Nyandah (artinya seorang tabib yang kesohor dan sangat terkenal), Lako Amai Lebe Olung Dungan.
Tokoh tahtum perempuan, Nyai Endas (istri Sephung), Tobalak, Menyuk, Buteu, Tibeu, Lucang, Lupung, Nyai Undang. Generasi tahtum berikutnya Tambun, Bungai, Karing (istri Bungai), Bulo (istri Tambun), Benang, Undang Inai Hemai bergelar Nyai Kajuk Tangik, Somulit Minak Lingut bergelar Babin Uud Nyahput Dumut.
Babin Uud Nyahput Dumut merupakan anak perempuan Sephung dari istrinya yang berasal dari orang Sungai Bohokam (Mahakam) di Provinsi Kalimantan Timur. Ada lagi tokoh lain bernama Komulung (adik Tambun).
Kolimoi dan tahtum mengilustrasikan paling tidak ada empat tokoh fenomenal, yakni Kolakang, Sephung, Nyai Endas dan Buhkai. Kolakang lahir, tumbuh, berkembang, hingga meninggal dunia di Dusun Pojange, Desa Olung Monahkon, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
Keturunan Kolokang
Kolakang memiliki anak kandung hingga tiga puluh orang, karena terkena sumpah binatang kepiting yang sedang mengeram telur di dalam sungai permukaan dangkal. Lantaran haus, Kolakang tidak cermat meletakkan sumpitnya saat akan meminum air di sungai.
Mata sumpit Kolakang tumbang mengenai tubuh kepiting yang tengah mengeram. Sambil mengerang kesakitan terkena mata sumpit, makluk kepiting mengeluarkan sumpah bahwa kelak nanti Kolakang bakal memiliki banyak anak seperti dirinya.
Sephung diilustrasikan manusia perantau, pedagang dan jago mengawini perempuan cantik, kaya-raya dan sakti, karena setiap mengunjungi wilayah baru, selalu ada wanita muda yang dijadikan istri hingga punya anak.
Selain mengawini wanita cantik, kaya-raya dan sakti bernama Nyai Endas, jagoan Sephung diceritakan juga mengawini sejumlah perempuan pemilik tempayan antik, berparas cantik di wilayah pehuluan Sungai Bohokam (Mahakam).
Nyai Endas, selain kawin dengan Sephung, diceritakan pula pernah kawin dengan dua orang lelaki dari manusia alam gaib di dalam waktu yang berbeda, yakni Sahabung dan Kandang bergelar Lacan Oho Bobalo Bulo (raja langit berambut emas).
Perkawinan Nyai Endas dengan manusia alam gaib, berlangsung sebelum berkenalan dengan Sephung. Perkawinan Nyai Endas dengan Lacan Oho Bobalo Bulo berlangsung, pada saat Sephung merantau cukup lama.
Selama perantauannya pula, Sephung menikah dengan beberapa wanita lain di pehuluan Sungai Bohokam (Mahakam), Provinsi KalimantanTimur. Sungai Bokoham bermuara di Selat Makassar.
Tahtum menyebut Sephung berasal dari Republik Rakyat Cina (RRC) dan mendarat di Kalimantan lewat pantai Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia. Tiba di wilayah Negara Bagian Sarawak, dekat Sabah, Sephung menemukan sungai yang dengan pemandangan yang sangat indah, dan belakangan dinamakannya, Sungai Miri.
Buhkai, selain menikah dengan lelaki alam bumi bernama Seluphui, diceritakan pula sebelumnya menikah dengan lelaki dari manusia alam gaib bernama Komanai Olung Sahai di pehuluan Sungai Pojange, Desa Olung Monahkon, Kecamatan Sorabai (Serawai), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
Beberapa tahun menetap di Sungai Miri, Sarawak, Sephung mendengar di Olung Pojange, Desa Monakon, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, ada seorang perempuan sangat cantik bernama Nyai Endas.
Sephung langsung meluncur dari Sarawak, Malaysia, dan ternyata Nyai Endas, sudah pindah bersama keluarganya ke Olung Pojange, pehuluan Sungai Kahayan, Kabupaten Puruk Bulo (Gunung Mas), Provinsi Kalimantan Tengah.
Tidak kehilangan akal, Sephung langsung menyusul dan berhasil menemui Nyai Endas yang dipersutingnya sebagai istri.
Nyai Bolian
Nama Bungai dimiliki oleh tiga orang. Pertama, Bungai keturunan biologis pasangan Sephung – Nyai Endas, asal Pojange, Desa Monahkon, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.
Kedua, Bungai keturunan biologis dari Nyai Bolian, asal Pojange, Desa Monahkon, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang.
Ketiga, Bungai keturunan biologis dari Nyai Maro, asal Pojange, Desa Monahkon, Kecamatan Momaluh (Ambalau) yang lebih banyak menetap di Olung Mongilik (Tumbang Miri), Kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah.
Sungai Mongilik di Kecamatan Kahayan Hulu Utara, kemudian dikenal dengan Sungai Miri, sebuah nama yang diberikan Sephung, setelah berhasil mempersunting Nyai Endas.
Kalau di Kalimantan kemudian, memiliki dua sungai bernama Miri, yakni di Negara Bagian Sarawak, Federasi Malaysia dan di Kecamatan Kahayan Hulu Utara, Kabupaten Puruk Bulo (Gunung Mas), Provinsi Kalimantan Tengah, merupakan dua buah sungai yang semata-mata nama pemberian Sephung, seorang perantauan dari RRC yang dilustrasikan laki-laki kaya raya, mata keranjang dan tukang kawin.
Kisah tahtum memperkuat pendapat para anthropolog yang menyebutkan Bangsa Indonesia berasal dari Provinsi Yunnan, Republik Rakyat Cina (RRC). Berbagai hasil studi dan penelitian menyebutkan keturunan Bangsa Indonesia dari Provinsi Yunnan, RRC, baik di bidang anthropologi, folklore, linguistik dan sebagainya telah berhasil membuktikan pendapat, ras Indonesia berdasarkan sudut pandang anthropologi.
Legenda tokoh Sephung atau Sam Hau Fung menguatkan spekulasi dari aspek anthropologi di atas, masyarakat penduduk asli di Kalimantan, termasuk Suku Dayak Uud Danum, paling tidak sering berinteraksi dan atau merupakan imigran Provinsi Yunnan, RRC.
Dayak Kadazan
Hal ini diperkuat legenda Suku Dayak Kadazan di Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia yang sekarang mayoritas pemeluk Agama Katolik.
Di kalangan Suku Dayak Kadazan, keberadaan Bukit Kinabalu, bukit tertinggi di Kalimantan, mencapai ketinggian 4.094 meter dari permukaan laut, berasal dari buah kerinduan seorang wanita cantik lokal terhadap suaminya yang tidak kunjung pulang dari RRC.
Saban hari si wanita cantik Dayak Kadazan meneteskan air mata, kemudian menumpuk, mengeras, membatu, meninggi sehingga berubah menjadi Bukit Kinabalu. Kina dalam Bahasa Dayak Kadazan adalah Cina. Balu adalah janda.
Kinabalu dalam terjemahan harafiahnya adalah Janda Cina. Jadi, Bukit Kinabalu dilegendakan terbentuk dari tetesan air mata seorang janda cantik Suku Dayak Kadazan yang sangat merindukan suaminya seorang berkebangsaan RRC yang tidak pernah kembali usai menikah. (Aju)
Nice posts! 🙂
___
Sanny