JAKARTA (IndependensI.com) – Cercaan dan hinaan yang semakin deras menerpa dianggap biasa saja oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Penderitaan di masa lalu membuat mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo itu semakin tangguh.
Jokowi berasal dari keluarga pekerja keras di bantaran Kali Anyar, Solo. Kedua orang tuanya harus bekerja keras untuk menghidupi dia dan tiga orang adik perempuannya.
“Ayah Saya sering hilang ketika pagi hari,” kata Jokowi saat peluncuran biografinya “Menuju Cahaya” di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis Kamis (13/12/2018).
Buku karya Alberthiene Endah ini mengisahkan masa lalu Jokowi dan perjalanan hidupnya hingga menuju Istana Negara. Buku ini merupakan karya Alberthiene yang ke-54. Sebelumnya, Alberthiene juga menulis biografi Chrisye dan mantan ibu negara Ani Yudhoyono.
“Bapak saya, Wijiatno Notomiarjo, kerap telah menghilang di pagi hari. Ia sudah bertarung mencari rezeki. Ia berjualan bambu dan kayu di lapak sederhana dalam pasar tak jauh dari rumah. Ibu saya Sujiatmi, beliau kerap menyalakan tungku di pagi buta dan membuatkan sarapan sederhana untuk keluarga,” kata Jokowi.
Saat menetap di bantaran Kali Anyar, ayahnya berjualan bambu dan kayu di Pasar Gilingan, tak jauh dari rumahnya. “Kayu dan bambu dihaluskan Bapak, diserut dan digergaji. Ada saja yang membutuhkan itu untuk membuat perkakas atau bahan membuat bangunan,” ujarnya.
Sang ayah, juga pernah menjadi sopir bus kota. Ketika sibuk menjadi sopir, ibu Jokowi yang mengurusi penjualan bambu dan kayu. Kedua orang tuanya bekerja keras mengumpulkan uang untuk membayar kontrakan rumah, setelah rumah di bantaran Kali Pepe digusur.
“Bapak nyaris selalu pulang larut malam, karena ia mengerahkan segenap tenaga dan waktunya untuk menyopir bus,” ucapnya.
Jokowi mengungkapkan, kesulitan hidup yang ia alami ketika kecil, membuatnya menjadi sosok pria yang tangguh. Ketika beranjak dewasa dan tamat kuliah, Jokowi pernah menjadi konsultan kehutanan pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) pada 1986-1988. Diceritakannya, babi hutan merupakan hewan yang hampir setiap hari ia temui.
“Dan setelah lulus kuliah saya kerja terus nikah dan tinggal di Aceh Tengah. Namun karena ada pemekaran namanya Kabupaten Bener Meriah. Tinggal di rumah panggung, kalau malam hampir 20-30 yang namanya babi hutan ada di bawah rumah setiap malam. Tapi, ya buat saya biasa saja. Namanya juga di hutan yang ada babi hutan,” ujarnya.