JAKARTA (IndependensI.com) – Produksi sejumlah komoditas strategis seperti beras dan jagung selama empat tahun terakhir meningkat signifikan. Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyebutkan bahwa petani memiliki peran penting dalam peningkatan tersebut.
“Produktivitas petani kita terus membaik dan produktivitas merekalah yang mendongkrak produksi pangan strategis,” jelas Winarno saat dimintai keterangan, Rabu (6/2).
Salah satu kunci peningkatan produksi pangan adalah transformasi pertanian dari tradisional ke pertanian modern. Pertanian modern yang dijalankan oleh para petani turut mendongrak produksi komoditas pangan strategis.
“Empat tahun terakhir produktivitas petani kita meningkat pesat. Modernisasi sudah berjalan dengan penggunaan alat mesin pertanian (alsintan) secara masif sehingga kerja petani lebih efektif dan efisien,” tutur Winarno.
Pada tahun 2018 saja, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,81 triliun untuk belanja lebih dari 70.000 unit alsintan yang berfokus pada peningkatan komoditas pangan strategis padi, jagung dan kedelai.
Modernisasi pertanian tidak hanya sebatas inovasi alat dan mesin pertanian, tapi juga perubahan dalam manajemen tanam. Petani yang semula hanya menanam sekali setahun, sekarang sudah bisa menanam dua hingga tiga kali setahun. “Dengan manajemen tanam yang baru, setiap hari terjadi olah tanah, tanam dan panen. Dengan produktivitas petani yang meningkat, hasil produksi pun turut terdongkrak,” ucapnya.
Winarno mencontohkan komoditas beras yang produksinya tak hanya sebatas meningkat. Jika mengacu pada Food and Agricultural Organization (FAO), Winarno menyebutkan Indonesia sudah bisa dinyatakan swasembada beras. “Hal ini mengacu pada FAO yang menyebutkan suatu negara dikatakan swasembada jika produksinya minimal mencapai 90% dari kebutuhan nasionalnya,” terangnya.
Winarno mengungkapkan sejak tahun 2016 sampai 2018, produksi beras surplus. Faktanya, pada tahun 2016 dan 2017 sama sekali tidak ada impor. Sementara beras yang masuk pada tahun 2016 itu merupakan sisa impor tahun 2015.
Kemudian pada tahun 2018, Indonesia bahkan mengalami surplus. Berdasarkan data BPS, surplus beras 2018 sebesar 2,85 juta ton dan impor 2018 itu merupakan sebagai cadangan nasional, tidak sebagai stok utama.
Capaian yang diraih pertanian Indonesia pada beberapa tahun belakangan ini, merupakan prestasi para petani Indonesia. Untuk itu, Winarno meminta publik untuk tidak mendistorsi prestasi petani dengan menggembar-gemborkan data impor pangan.
“Pada tahun 1984 FAO menyebutkan bahwa Indonesia mencapai swasembada beras. Padahal saat itu, Indonesia masih mengimpor beras 414 ribu ton. Tantangan yang dihadapi pertanian kita lebih berat. Jumlah penduduk saat ini 260 juta, meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1984 sebanyak 164 juta penduduk. Jadi surplus pada tahun 2018 jangan dianggap sebagai capaian ringan,” tandas Winarno.
Pada tahun lalu, Indonesia bahkan sudah melakukan ekspor beras jenis khusus (speciality rice). Salah satunya adalah beras varietas tarabas. Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) Priatna Sasmita, menyampaikan bahwa varietas tarabas adalah beras tipe japonika pertama di Indonesia yang biasa digunakan untuk makanan khas Jepang. Selama ini beras japonika hanya berhasil dikembangkan di negara subtropis seperti Jepang, Korea, dan Taiwan.
Beras tarabas tidak hanya didistribusikan ke hotel, restoran, dan kafe (Horeka) dalam negeri, tapi juga mengisi pasar mancanegara.
“Sepanjang tahun 2018, kita sudah mengekspor beras tarabas sebanyak 3.100 ton. Tahun 2019 ini kita mentargetkan kenaikan 40%,” terang Priatna.
Ekspor Jagung 2019 Ditargetkan Sebanyak 500 Ribu Ton
Dalam keterangan terpisah, Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) Sholahuddin menyebutkan bahwa produksi jagung kembali diperkirakan mengalami surplus. Diproyeksikan, produksi jagung pada tahun 2019 ini bisa mencapai 29,93 juta ton dengan angka konsumsi nasional sebanyak 23,25 juta ton. “Proyeksi ini kita harapkan tidak meleset, apalagi petani sudah mendapatkan bantuan benih jagung yang disalurkan ke 33 provinsi,” sebutnya.
Ada beberapa provinsi yang menjadi kontributor utama dalam peningkatan produksi jagung secara nasional. Provinsi Jawa Timur menyumbang kontribusi sebesar 27,7 persen, provinsi Jawa Tengah 15 persen, Lampung 8,4 persen dan Sulawesi Selatan 7,9 persen.
Konsumsi jagung terbesar secara nasional digunakan untuk bahan baku industri pangan sebesar 11,1 juta ton. Kemudian bahan baku industri makanan 5,93 juta ton dan bahan baku ternak 4,2 juta ton. Adapun untuk konsumsi rumah tangga angkanya mencapai 405 ribu ton. Sedangkan yang tercecer sekitar 1,5 juta ton.
“Kita harapkan jagung hasil produksi petani kita bisa mencukupi kebutuhan pakan secara nasional. Apalagi petani sudah mendapatkan bantuan pengering jagung,” sebut Sholahuddin.
Lebih lanjut, dirinya mendukung target pemerintah untuk ekspor jagung sebanyak 500 ribu ton pada tahun 2019 ini. Menurut Sholahuddin, dengan produksi jagung yang diproyeksi surplus, sudah selayaknya kelebihan produksi tersebut dinikmati oleh petani lokal. “Yang paling merasakan keuntungan ekspor jagung adalah petani. Jika kebutuhan nasional sudah terpenuhi, tidak ada salahnya jika petani turut merasakan keuntungan lebih dengan menjual jagung mereka di pasar mancanegara,” tutup Sholahuddin