Mandau peninggalan Alianjang dan Armin Angkasa Alianjang, dan foto dibuat di Pontianak pada Kamis malam, 20 Oktober 2011.

Mandau Alianjang Bersuara Aneh, Sisi Aplikasi Agama Asli Dayak

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Mandau, sebagai senjata tradisional bagi orang Suku Dayak, penduduk pribumi di Pulau Borneo. Mandau sebagai senjata andalan saat berperang melawan musuh, dan selalu ada kisah aneh, saat pemiliknya meninggal dunia.

Demikian juga dengan mandau peninggalan Mayor Muhammad Alianjang. Mayor Muhammad Alianjang (lahir 20 Oktober 1920 – meninggal dunia di Singkawang, 7 April 1970 pada umur 49 tahun) seorang Suku Dayak Uud Danum asal Desa Menantak, Kecamatan Momaluh (Ambalau), Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat.

Alianjang, peraih Penghargaan Bintang Mahaputera Nararya tahun 1999, akibat jasanya dalam perang melawan Belanda dalam mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan Barat, memiliki sebilah mandau yang sampai sekarang masih disimpan putera-puterinya.

Cerita aneh mandau peninggalan Alianjang, diceritakan salah satu puteranya, Armin Angkasa Alianjang (kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat, 5 Februari 1956), saat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kodam) XII/Tanjungpura, ketika menerima Rafael Syamsudin, Iman Kalis dan Aju ke rumah jabatannya di Pontianak, Kamis malam, 20 Oktober 2011.

Saat itu, pembicaraan terkait rencana Brigjen TNI Armin Alianjang mengunjungi kampung kelahiran ayahnya di Desa Menantak. Kunjungan pribadi Armin Angkasa Alianjang terwujud dengan menggunakan helikopter Kodam XII/Tanjungpura, Sabtu, 22 Oktober 2011.

Sebagai orang Dayak, Armin Alianjang selalu membanggakan mandau peninggalan ayahnya, Alianjang. Tapi anehnya, ujar Armin, mandau tersebut, selalu bersuara aneh, dan sewaktu-waktu ada penampakan tidak jelas seisi rumah, apabila mandau tersebut akan dibawa ke luar Kalimantan Barat.

Atas kesepakatan internal, akhirnya mandau itu, tetap disimpan secara baik, bagi anak-anak Alianjang yang masih menetap di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Armin sendiri setelah pensiun dari TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal, memilih menetap di Bogor.

Selamat dari Musibah

Kisah mandau Alianjang, memang unik. Saat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Barat, Alianjang pulang kampung. Pulang ke Pontianak, Alianjang dihadiahi sebilah mandau oleh ayahnya di Desa Menantak, dengan pesan, “Apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan selama dalam perjalanan menghiliri Sungai Melawi menuju Pontianak, mandau harus diselamatkan. Barang-barang lain boleh hilang, tapi mandau harus diselamatkan.”

Dalam perjalanan melewati Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, menuju Sintang, Kabupaten Sintang, saat menghiliri Sungai Melawi pada malam hari, perahu motor yang ditumpangi Alianjang karam, setelah menabrak batu di tengah kegelapan malam.

Di tengah kegelapan malam, oleh-oleh dari kampung tidak ada yang bisa diselamatkan Alianjang, kecuali sebilah mandau yang melekat digenggam pada tangan kanan, saat berupaya berenang ke pinggir sungai.

Saat berupaya berenang, tiba-tiba muncul sebatang kayu mengapung. Dengan memegang kuat batang kayu yang mengapung, Alianjang selamat sampai di pinggiran Sungai Melawi. Tapi batang kayu yang mengapung tadi menggilang, dan mandau kembali terpegang erat di tangan kanan.

Sampai di Pontianak, Alianjang merasa aneh saja. Karena keluarga dekat dalam mimpi didatangi seorang perempuan berusia lanjut, mengabarkan agar jangan resah, karena saat tertimpa musibah perahu karam dalam perjalanan ke Pontianak, Alianjang berhasil menyelamatkan diri.

Semenjak itu, seluruh keluarga besar Alianjang, terutama anak-anaknya sangat sayang akan mandau pemberian orangtuanya dari Desa Menantak. Saking sayangnya, Armin pun berkali-kali berniat untuk selalu membawa mandau tersebut kemanapun bertugas, tetapi tidak terwujud, karena selalu mengeluarkan suara aneh dan penampakan tidak jelas di dalam rumah pada malam hari sebelumnya.

Mandau peninggalan Alianjang dipegang Rafael Syamsudin, dan foto dibuat di Pontianak, Kamis malam, 20 Oktober 2011.

Akhirnya, keluarga besar Alianjang berkesimpulan, memang mandau peninggalan ayahnya, tidak mau dibawa ke luar wilayah Provinsi Kalimanatan Barat, tapi masalahnya belum bisa dijelaskan, secara akal sehat sampai sekarang.

Keunikan kehidupan religi Suku Dayak, bukan saja terjadi di kalangan Suku Dayak Uud Danum. Fakta serupa juga terjadi dengan Suku Dayak Ibanic, yaitu Dayak Kantuk, serta Suku Dayak Kanayatn, dan lain-lain.

Nyengkelan Tanah

Tim Ekspedisi Harian Sore Sinar Harapan (Fransiska Ria Susanti, Jenda Taringan, Muniroh dan Aju), Selasa, 23 Juni 2013, di Desa Jaras, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, meliput upacara agama asli Suku Dayak Kantuk, salah satu subsuku Ibanic. Namanya, nyengkelan tanah, atau memberkati tanah.

Upacara nyengkelan tanah, selalu digelar Suku Dayak Kantuk yang sebagian besar sudah memeluk Agama Katolik. Tujuannya, meminta bantuan kepada Tuhan, agar memberkati orang Dayak Kantuk selama satu tahun kalender.

Terutama mohon berkat bagi Dayak Kantuk supaya selama melakukan aktifitas ekonomi, terutama saat membuka lahan ladang, untuk ditanami padi sebagai jaminan pasokan sumber pangan untuk satu tahun kemudian.

Peserta yang terlibat di dalam upacara nyengkelan tanah, ritual agama asli Dayak Kantuk, duduk bersila di atas tikar yang dihampar di tanah terbuka, diselingi musik gendang bersahut-sahutan. Lokasi, dipagari bambu yang sudah dibelah empat, dililit melingkar dan diikat dengan kayu cerucuk yang dihunjam berjejer berbentuk persegi empat.

Selama ritual agama asli Suku Dayak Kantuk digelar, ada dua kejadian aneh. Saat pemimpin upacara nyengkelan tanah, Temenggung Terapit, memanggil arwah roh lelulur, melalui sebuah teriakan histeris, dedaunan berguguran, dampak tanah bergetar dalam hitungan detik.

Demikian pula, di sela-sela musim kemarau, saat sesajen berupa potongan kepala babi diletakkan Temenggung Terapit di pinggir Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia, itu, tiba-tiba muncul gelombang ketinggian sekitar 25 centimeter disertai suara gemuruh, beberapa detik.

Setelah itu, air permukaan Sungai Kapuas, kembali terlihat mengalir tenang ke wilayah hilir sektor barat Provinsi Kalimantan Barat.

Mandau di Palangka Raya

Saat Saya menjadi narasumber di forum: “Extention Course of Education and Religion” di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, dengan judul: “Agama Kaharingan di Persimpangan Jalan di Kalimantan”, Senin malam, 14 Nopember 2016, ada pengakuan Slamet Purwadi.

Slamet Purwadi, salah satu staf pengajar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, mengutip pengalaman salah satu rekannya yang dihadiahi sebilah mandau (parang hias) dari salah satu tokoh Dayak di Palangka Raya.

Teman Slamet Purwadi, menolak secara halus hadiah mandau, karena pasti akan disita aparat saat akan diperiksa di Bandara Internasional Tjilik Riwut, Palangka Raya, karena masih dalam suasana traumatis dari kerusuhan rasial di Sampit, 21 Februari 2001.

Mendengar alasan penolakan teman Slamet Purwati, tokoh Dayak tadi tersenyum dan kembali membawa sebilah mandau tadi ke dalam kamar. Saat ke luar, mandau sudah dibungkus dengan kertas koran bekas dan dijamin pasti lolos saat diperiksa di Bandara Tjilik Riwut.

Saat diperiksa di Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya, untuk kembali ke Jakarta, mandau yang terbungkus koran bekas, lolos dari pemeriksaan petugas. Karena saat dipantau petugas dari layar komputer, mandau yang dibungkus koran bekas tadi, hanya terlihat berupa tongkat pendek.

Agama Asli

Sampai sekarang, hanya sebagian kecil orang Dayak mampu menjelaskan fakta seakan-akan ada kekuatan lebih dari kalangan Suku Dayak, pada saat-saat tertentu.

Belum lagi ketidakmampuan menjelaskan posisi tujuh bersaudara manusia Suku Dayak Kanayatn di alam gaib yang bersemanyam di Bukit Samabue, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat, setiap kali muncul konflik komunal di Pulau Borneo.

Sebagian besar orang Dayak sudah tidak mampu lagi memahami, kenapa tiba-tiba puluhan ribu manusia ikat kepala merah bisa memadati sejumlah tempat pada kerusuhan rasial Tionghoa – Dayak di Kalimantan Barat tahun 1967, dalam rangkaian operasi penumpasan Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS).

Hal serupa terjadi pula saat konflik komunal Dayak dan Madura di Kalimantan Barat, pada 1952, 1959, 1977, 1996, 1997, 1999, 2000, serta di Kota Sampit, Ibu Kota Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, 21 Februari 2001 .

Hal ini terjadi, karena sebagian besar Suku Dayak, sudah tidak mampu lagi mendalami doktrin agama asli Suku Dayak yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.

Padahal kemampuan untuk mendalami agama asli Suku Dayak, agar dijadikan rujukan dalam etika berperilaku, agar konflik komunal tidak serupa boleh terulang kembali di Pulau Borneo (Kalimantan) pada masa mendatang.

Apabila ada sejumlah pihak yang peduli, lantas dilihat sinis, dengan tudingan tahyul, mencampur adukkan ajaran agama.

Padahal ketidakmampuan orang Dayak mendalami doktrin agama aslinya Suku Dayak berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat, merupakan sebuah pertanda kehancuran terhadap identitas diri.

Karena seorang Dayak yang memeluk Agama Katolik sebagai keyakinan iman, misalnya, tidak semerta-merta membuat orang Dayak itu berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi, hanya lantaran Agama Katolik lahir dari akar kebudayaan Suku Bangsa Yahudi. Sedangkan identitas kedayakan seorang Dayak, akan melekat di dalam dirinya sampai akhir hayat.

Apabila orang Dayak, mampu menyelami doktrin agama asli Suku Dayak yang bersumber dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Dayak, maka klaim kesaktian dan atau tudingan kejam dan atau tudingan biadab dan atau tudingan penganut seks bebas kalangan Suku Dayak, bisa dengan sendirinya mampu terbantahkan.

Karena dalam ilmu filsafat sekalipun, soal kesaktian orang Dayak, kekejaman orang Dayak, kebrutalan orang Dayak, kebiadaban orang Dayak, Dayak penganut seks bebas, memang tidak benar, karena memang tidak pernah ada dari sudut pandang agama asli Suku Dayak.

Sering terjadi hal-hal di luar akal sehat saat meledak konflik sosial, semata-mata ekses dari pelanggaran pihak luar terhadap hekakat manusia Dayak beradat, yakni berdamai dan serasi dengan sesama, leluhur dan alam sekitar.

Orang Dayak, dalam takaran tertentu, tiba-tiba bertindak di luar batas alam bawah sadar, karena selalu bermula dari adanya tindak pelecehan pihak luar terhadap doktrin agama asli Suku Dayak (bersumber dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat) yang mengedepankan kesopanan, kesantunan, ketentraman, dan kedamaian dengan sesama, leluhur, alam sekitar.

Bahwa dalam berperilaku keseharian, implikasi dampak negatif dari benturan peradaban, seperti kerusuhan rasial Suku Dayak dengan suku lainnya di Pulau Borneo, bisa dijelaskan dari kacamata filsafat, apabila berangkat dari pemahaman teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati.

Teologi naturalis alamiah atau teologi adikodrati, diajarkan filsuf Pastor Thomas Aquinas, 1225 – 1274, menegaskan, seseorang mengenal Tuhan dengan akal budinya. Pastor Thomas Aquinas dari Ordo Pengkotbah (OP).

Akal dan Budi

Semenjak munculnya ajaran filsuf Thomas Aquinas, berarti sejak abad ketiga belas, sudah tidak ada lagi istilah seseorang atau kelompok masyarakat sebagai tidak bertuhan atau ateis, karena komunitas masyarakat dari berbagai suku bangsa, termasuk Suku Dayak, terbukti mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya sendiri-sendiri.

Orang Dayak pun, mampu mengenal Tuhan dengan akal dan budinya, seperti adanya sebuah ‘kekuatan’ lebih, saat terjadi benturan peradaban dengan etnis lainnya di Pulau Borneo. Dengan demikian, membangun masyarakat Suku Dayak di Pulau Borneo, harus berangkat dari akar budaya Suku Dayak itu sendiri, yaitu filosofi atau ideologi yang terkandung di dalam agama asli Suku Dayak.

Melalui pemahaman teologi naturalis seseorang dapat memaknai setiap pengalaman untuk mewartakan kebesaran Allah, versi Gereja Katolik. Sebuah pemikiran didasarkan atas ide-ide Aristoteles.

Gagasan yang memahami segala sesuatu termasuk pikiran atau jiwa adalah bagian dari alam. Teologi yang menekankan, bagaimana pikiran atau jiwa seseorang manusia melihat dan memahami dunia dalam tujuan dan makna kehidupan serta keteraturan universal menuju Allah sebagai tujuan terakhir.

Teologi adikodrati adalah dasar dari filsafat moral. Thomas Aquinas menjabarkan teologi adikodrati secara tradisional yang berbeda dari ajaran Anselmus dari bukti-bukti adanya Allah dan sifat-sifat Allah. Pengetahuan manusia tidak terlepas dari alam indrawi.

Teologi adikodrati atau naturalis diperkenalkan Thomas Aquinas (1225 – 1274), seorang filsuf dan teolog dari Italia yang sangat berpengaruh pada abad pertengahan. Karya terkenal Thomas Aquinas adalah Summa Theologiae (1273), sebuah sintesis dari filsafat Aristoteles dan Ajaran Gereja Katolik.

Pada tahun 1979, ajaran Thomas Aquinas dijadikan sebagai ajaran yang sah dalam Gereja Katolik Roma oleh Paus Leo XIII.

Ini sebagai tindaklanjut hasil Konsili Vatikan II, 1965, dengan menegaskan, di luar Gereja Katolik, tetap ada keselamatan, dan kemudian ditindaklanjuti dalam kebijakan inkulturasi Gereja Katolik dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, termasuk inkulturasi Gereja Katolik di dalam Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Borneo.

Inkulturasi Gereja Katolik di dalam kebudayaan berbagai suku bangsa di dunia, berangkat dari dokumen Gaudium et Spes (GS) atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini adalah dokumen puncak dari Konsili Vatikan Kedua. Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam sebuah pemungutan suara 2.307 berbanding 75, dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 7 Desember 1965.

Judul Gaudium et Spes atau Kegembiraan dan Harapan (dalam Bahasa Inggris “Joy and Hope”) diambil dari baris pertama dokumen ini, sebagaimana umumnya dokumen Gereja Katolik dinamai.

Dalam dokumen GS, yaitu hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa), menyebutkan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”

“Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.”

Pastor Thomas Aquino sering disebut Thomas dari Aquino. Menurut Pastor Thomas Aquinas, pengetahuan manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan melalui alam indrawi.

Pemikiran Thomas Aquinas atas eksistensi Allah ditemukan dalam lima jalan atau quinque viae dengan prinsip kausalitas. Allah dipandang sebagai prinsip pertama yang menjadi sebab (causa) tertinggi dari setiap gejala alamiah di bumi.

Agama Shinto

Apabila dilihat dari sisi aplikasi doktrin, memang dalam hal-hal tertentu ada kemiripan agama asli sebagai suku bangsa di Indonesia, termasuk agama asli Suku Dayak dengan Agama Shinto sebagai agama asli di Jepang yang sudah berabad-abad lamanya mendeklarasikan Fujiyama sebagai gunung suci.

Di Provinsi Kalimantan Barat, Agama Karimawatn, agama asli Suku Dayak Kanayatn menganggap Bukit Bawakng di Kabupaten Bengkayang sebagai gunung suci, tempat bersemanyam tokoh legenda suci dalam mitos suci.

Demikian pula, Agama Kaharingan, agama asli Suku Dayak Uud Danum, menganggap Puruk Mokorajak (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya) di Kabupaten Sintang sebagai tempat bersemanyam Tuhan Yang Masa Esa (mohotara).

Sebagai gunung suci Agama Karimawatn, Gunung Bawakng (ketinggian 1.406 meter) di Kabupaten Bengkayang, pernah dijadikan tempat bertapa Presiden Republik Indonesia, Soekarno (Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia), sebelum konfrontasi dengan Malaysia, 1963 – 1966.

Tjili Riwut, Gubernur Kalimantan Tengah (1958 – 1967), Pahlawan Nasional, pernah bertapa di puncak Puruk Mokorajak (ketinggian 2.278 meter) di Kabupaten Sintang, selama perang mempertahankan kemerdekaan, 1947 – 1949.

Kemampuan Soekarno memahami doktrin agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, berimplikasi sangat positif di masa penguasaan kembali Belanda di Indonesia, melalui pemerintahan sipil, bernama Nederlandsch Indië Civiele Administratie atau Netherlands-Indies Civiele Administration (NICA), periode 1945 – 1949.

Jepang simpati kepada perjuangan Indonesia menjelang maupun di awal kemerdekaan. Tanda simpati Jepang terhadap Presiden Soekarno, dengan membiayai operasi intelijen dan suplai senjata bagi tentara Indonesia dalam pembubaran negara federal yaitu Republik Indonesia Serikat (RIS).

Bukti tanda simpati Jepang dengan membiayai operasi intelijen pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan menempatkan Letkol (Inf) Zulfikli Lubis, setelah menemui perwira Jepang di Singapura bernama Mayor Ogi. Zukifli Lubis diperkenalkan dengan Fujiwara Kikan, Badan Rahasia Jepang untuk Asia Tenggara.

Sepulang dari Singapura, atas perintah Presiden Soekarno, maka Zulkifli Lubis, membagi tugas kepada sejumlah personil untuk melakukan ekspedisi TNI ke sejumlah daerah. Ke Sumatera antar lain ditugaskan MS Rasjid.

Di Kalimantan ditugaskan Moeljono dan Tjilik Riwut (di Tumbang Samba, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah), Sulawesi ditugaskan Warsito dan Wolter Monginsidi. Maluku ditugaskan Ibrahim Saleh, Yos Sudarso, Muljadi, Moerwanto, Isbianto, Anton Papilaya. Nusa Tenggara dtugaskan Soerjadi alias Paiman. Bali ditugaskan Bambang Soenarjo dan Jahja Jasin.

Jadi, antara agama asli di Jepang bernama Agama Shinto, dengan berbagai agama asli dari berbagai suku di Indonesia, termasuk agama asli Suku Dayak, sama-sama dikategorikan sebagai agama bumi, karena ada gunung atau bukit yang disucikan atau disakralkan.

Gunung Fujiyama adalah pusat keindahan yang menjadi icon di Jepang, yang juga merupakan gunung tertinggi yang terletak di perbatasan Prefektur Shizuoka dan Yamanashi di sebelah barat Tokyo. Gunung Fujiyama terletak di dekat pesisir Pasifik di pusat Honshu.

Gunung Fujiyama dikelilingi oleh tiga kota yaitu Gotemba di bagian timur, Fujiyama Yoshida bagian utara dan Fujinomiya di bagian barat daya. Gunung yang mempunyai ketinggian 3.776 meter dari permukaan laut, dikelilingi oleh lima danau yaitu Danau Kawaguchi, Danau Yamanaka, Danau Sai, Danau Motosu dan Danau Shoji.

Gunung Fujiyama sering digambarkan dalam karya seni rupa dan foto, serta dikunjungi para pendaki gunung maupun wisatawan mancanegara. Gunung yang merupakan simbol Jepang yang terkenal ini diperkirakan terbentuk sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Gunung Fujiyama, merupakan jenis gunung berapi, masih aktif hingga kini walaupun memiliki kemungkinan letusan berdaya rendah.

Pada tahun 1707, Gunung Fujiyama terakhir kali meletus. Tercatat sekitar 200.000 orang mendaki Gunung Fujiyama di setiap tahunnya, 30% di antaranya ialah orang asing. Tanggal dan waktu yang paling populer bagi para pendaki adalah dari 1 Juli hingga 27 Agustus. Pendakian bisa memakan waktu dari 3 hingga 7 jam sementara penurunan gunung mencapai sekitar 2 hingga 5 jam.

Roh Benda Mati

Agama Shinto mempercayai bahwa semua benda, baik yang hidup maupun yang mati, dianggap memiliki roh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap memiliki kemampuan bicara.

Itulah yang menyebabkan sampai sekarang Pemerintah Jepang, terus mencari samurai tentaranya yang gugur selama penguasaan di Indonesia, 1941 – 1945.

Argumentasi religinya, samurai yang tercecer itu diyakini telah menyatu dengan sukma tentara Jepang yang gugur dalam peperangan di Indonesia, 1941 – 1945, sehingga harus dibawa pulang ke Jepang.

Aplikasi religinya sama dengan mandau peninggalan Alianjang yang selalu bersuara aneh pada waktu-waktu tertentu.

Dalam keyakinan pemeluk Agama Shinto di Jepang, semua roh dianggap memiliki kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan penganut Shinto. Daya-daya kekuasaan inilah yang mereka sebut Kami.

Menurut Agama Shinto, Kami dapat diartikan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat diartikan dengan “dewa”, Tuhan, atau sejenisnya.

Dengan demikian, bagi penganut agama Shinto, kata Kami berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.

Motoori Norinaga, seorang sarjana dan pembaharu agama Shinto pada zaman modern mengatakan bahwa pada mulanya, istilah Kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terdapat spirit-spirit (mitama) yang mendiami tempat-tempat suci, tempat mereka dipuja.

Selain itu, bukan hanya manusia, tetapi juga burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan gunung-gunung, serta semua benda lain, apapun bentuknya yang patut ditakuti dan dipuja karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luar biasa, semuanya disebut Kami.

Mandau peninggalan Alianjang dipegang Iman Kalis dan foto dibuat di Pontianak pada Kamis malam, 20 Oktober 2011.

Kami juga tidak memerlukan sifat-sifat yang istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut Kami apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti.

Orang-orang Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto, kesetiaannya terhadap kepercayaan dan pengalaman ajarannya menjadi kualifikasi pertama sebagai “orang Jepang yang baik”.

Agama Shinto didirikan mulai sekitar 2,500 – 3000 tahun silam di Jepang. Agama Shinto memiliki 13 sekte yang mana masing-masing dari 13 (tigabelas) sekte kuno memiliki pendirinya. Dengan pengikut sekitar 30 juta orang, dominan terbesar di Jepang. Sebagian besar juga adalah penganut Agama Buddha. Ada dua pemisahan utama. Pertama adalah tiga belas sekte-sekte kuno, hampir sama semuanya.

Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Shinto Negara, dan merupakan sinthesa kemudian yang menemukan ekspresi tertinggi pada pemujaan pada Kaisar dan kesetiaan pada Negara dan keluarga. Shinto (dari bahasa Cina Shen dan Tao, yang berarti “Jalan dari Jiwa-jiwa”) disebut Kami-no-michi dalam bahasa Jepang, kami adalah banyak Dewa atau jiwa alam.

Daerah Istimewa Yogyakarta

Kemampuan Soekarno memahami identitas berbagai Suku Bangsa di Indonesia yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat suku bangsa yang bersangkutan, sebagai implementasi doktrin agama asli suku bangsa yang bersangkutan, merupakan pertimbangan utama penentuan status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Presiden Soekarno menyetujui status Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 19 Agustus 1945, dan terakhir dipertegas payung hukum DIY adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, dengan luas wilayah 3.185,80 kilometer persegi.

Karena Soekarno menilai, Yogyakarta harus menjadi DIY, lantaran Yogyakarta sebagai jantung peradaban Kebudayaan Suku Jawa di Indonesia yang melahirkan agama asli Suku Jawa, bersumber dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat Suku Jawa.

Keberadaan agama asli sebagai suku bangsa di Indonesia, dikukuhkan putusan hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), Nomor 97/PUU-IV/2016, tanggal 7 Nopember 2017, dimana diakuinya Aliran Kepercayaan.

Soekarno, menilai, Yogyakarta sebagai Jantung Peradaban Suku Jawa di Indonesia. Sehingga ciri khas Yogyakarta, sangat kental dengan nuansa kebudayaan, harus dijaga melalui pemberian status Daerah Istimewa (DI).

Tapi karena kekurangan-pahaman akan aspek budaya sebagai praktik religi berbagai agama asli di Indonesia, menyebabkan pada kemudian hari banyak pihak di dalam negeri terkesan menuding Presiden Soekarno dan Tjilik Riwut, diperalat Jepang pada Perang Dunia II, 1939 – 1945, maupun di awal kemerdekaan Republik Indonesia, 1945 – 1949.

Padahal Jepang membantu, justru berkat Soekarno, dimana Tjilik Riwut salah satu ujung tombaknya yang mampu memahami agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana doktrinnya dalam takaran tertentu ada kemiripan dengan agama asli di negara sakura itu, yaitu Agama Shinto. (Aju)