BANDUNG (IndependensI.com) – Direktur Jenderal Hortikultura menuturkan dalam berusahatani, harga naik ataupun turun bukan penyebab, tetapi akibat. Harga terjadi saat keseimbangan antara pasokan dengan permintaan.
“Untuk itu mari kita cari faktor utama pembentuk harga, diantaranya bisa faktor sistem produksi, sistem logistik, sistem distribusi, tata niaga, struktur dan perilaku pasar,” demikian disampaikan Suwandi dalam acara Pengembangan Kentang dalam rangka stabilisasi harga yang dilaksanakan di Balai Benih Kentang, Pangalengan Kabupaten Bandung, Jumat (15/3/2019).
Dia menegaskam perbaikan sistem produksi, logistik dan distribusi menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing dan menjaga harga tetap optimal. Pada sisi sistem produksi, para petani kentang diminta efisiensi input sebagai salah satu kunci.
“Petani kentang di daerah lain bisa memproduksi 17 sampai 22 ton per hektar dengan biaya Rp 40 sampai 60 juta per hektar. Harga juga bagus kisaran Rp 7.000 perkg. Ini salah satu contoh bertani efisien,” tegas Suwandi.
Caranya, yakni menerapkan budidaya ramah lingkungan, kurangi penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Petani harus mulai membuat sendiri pestisida hayati dan pupuk organik. Bahkan bertani tidak harus monokultur, tetapi tumpangsari dan ada rotasi antar tanaman.
“Kelembagaan petani juga diperkuat dan naik kelas dari kelompoktani menjadi Koperasi, BUMP atau sejenisnya,” ucap Suwandi.
Menurutnya, koperasi yang akan melayani input benih dan lainnya secara kolektif sehingga efisien, juga akses kredit dan asuransi. Koperasi juga mengembangkan industri olahan kentang skala rumahtangga dan kecil, juga bermitra dengan industri, eksportir, pelaku usaha, supermarket dan lainnya.
“Dengan begitu penjualan satu pintu oleh Koperasi, sehingga petani bersatu posisi tawarnya kuat, jangan jalan sendiri sendiri,” ujar Suwandi.
“Bahkan sistem transaksi kentang yang selama ini tiap pagi hari di pasar Pangalengan ini ditata rapih, sinergi dengan pedagang membentuk pasar lelang,” pinta dia.
Pasar lelang sayuran bermanfaat bagi petani agar memperoleh harga tertinggi dari penawar yang ada. “Dan dibayar cash and carry, tercipta one region one price serta memotong rantai pasok,” paparnya.
Muhammad Maulud, pelaku usaha dari Malang atau yang biasa dipanggil Ilud berbagi pengalamannya yang menerapkan teknologi dengan formula TP sebagai probiotik. “Saya membuka kerjasama dengan para petani untuk melakukan uji coba atau demplot,” katanya.
Basuni, penangkar benih Kentang dari Malang yang juga mewakili para peserta pertemuan mengatakan para penangkar benih Kentang kini memiliki permasalahan dengan melimpahnya benih. Penangkar kesulitan menjual, karena petani menggunakan benih kentang sendiri.
“Oleh karena itu, solusi yang disarankan adalah penataan rencana tanam dan penjadwalan tanam komoditas Kentang di seluruh sentra produksi yang terintegrasi,” ujarnya.
Kristiawan dari CV Kajeye Food Malang, yang terkenal dengan produk aneka keripik So Kresh mengungkapkan pihaknya menghasilkan keripik kentang yang renyah yang berbeda dengan keripik kentang yang dihasilkan oleh pengolah lainnya.
“Kuncinya adalah dengan menambahkan bahan tambahan pangan di samping pemakaian bahan alami menggunakan peralatan teknologi penggorengan secara vakum (Vaccum Fryer -red),” ujar dia.
Kepala Bidang Hortikultura, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat, Uung Gumilang menuturkan untuk menghasilkan produk yang berkualitas, petani harus berbudidaya secara baik dan benar melalui penerapan Good Agricultural Practices (GAP) dan pascapanen yang baik dan benar atau Good Handling Practices (GHP).
Apabila petani sudah menerapkan GAP, selanjutnya kebun atau lahannya dapat diregistrasi dan apabila memenuhi syarat dapat disertifikasi menjadi Prima 3.
“Cara pandang melakukan budidaya juga harus diubah dari menjual apa yg diproduksi, menjadi memproduksi apa yang dibutuhkan pasar (market driven),” kata Uung.