Ibukota Negara, Dayak Bagai Kera Kena Belacan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – “Haiya, orang Dayak sekarang, bagai kera kena belacan. Ribut sendiri,” demikian obrolan di warung kopi di Bengkayang, Ibukota Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, Jumat pagi, 3 Mei 2019, menanggapi diskusi pro dan kontra di media sosial sehubungan wacana pemindahan Ibukota Negara dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ke Borneo (Kalimantan).

Selasa, 30 April 2019, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), mengumumkan rencana pemindahan Ibukota Negara ke tiga lokasi, dan salah satunya di Borneo, dengan pertimbangan aman dari ancaman bencana alam gempa bumi.

Istilah macam kera kena belacan, bagian dari penggalan dialog film komedi P. Ramly tahun 1960-an di Malaysia, dimana sampai sekarang terus diputar berkali-kali di stasiun televisi, dengan jumlah penonton yang cukup banyak.

Penggalan dialog dalam film besutan P. Ramly, berjudul: “Pendekar Bujang Lapok”, diambil dari kisah lucu antara kera jinak dan tuannya. Kera sangat tidak suka bau terasi atau belacan.

Saat diberi makan berupa kepalan nasi, tapi di dalamnya ada unsur terasi (belacan), kera akan membuang makanan itu, dan kemudian ribut sendiri, sembari berteriak histeris.

Dalam suasana ribut sendiri, tangan si kera jinak tadi digosok terus-menerus ke bagian benda keras di sekitarnya, hanya untuk menghilangkan bau belacan, kendatipun akhirnya tangannya terluka mengeluarkan darah.

Itulah yang terjadi dengan Suku Dayak di Pulau Borneo, sekarang, menanggapi wacana Presiden Joko Widodo, menindaklanjuti kajian ilmiah Fakultas Geografi Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 30 Agustus 2017, dan dilanjutkan dengan Kajian Nawacita Kementrian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 24 Januari 2018.

Bagi yang menarima wacana, terlihat semata demi kepentingan pragmatisme, mampu meningkatnya perputaran devisa sebagai daya dukung pergerakan ekonomi sektor riil.

Lucunya, bagi yang menolak, sepertinya tidak memiliki argumentasi yang bisa diterima akal sehat. Ini lantaran dasar penolakan tidak substantif, tidak ilmiah, cenderung emosional, tidak menggunakan otak, tapi semata-mata mengedepankan otot yang berimplikasi kepada bahan tertawaan berkepanjangan banyak orang.

Jatidiri Rapuh

Argumentasi penolakan yang tidak substantif, cerminan kerapuhan jatidiri orang Dayak. Padahal kalau latar belakang penolakan, mengedepankan aspek kebudayaan, bisa dengan mudah dicerna, dan pihak lain bisa memahaminya, demi kesinambungan pembangunan.

Karena kebudayaan, implikasi pemahamannya sangat luas. Di dalam kebudayaan, ada tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranata peradaban politik.

Di dalam subpranata sosial, di dalamnya ada aspek sistem religi (agama asli) dari suku bangsa yang bersangkutan, bersumber dan atau berurat berakat dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat.

Jadi, bicara masalah kebudayaan Suku Dayak, sebagai bagian tidak terpisahkan dari suku bangsa di Asia, di dalamnya otomatis bicara masalah sosial Dayak (agama asli Dayak), ekonomi Dayak dan politik Dayak.

Tiga aspek saling terkait satu sama lain, sehingga tidak bisa dilihat secara parsial, sebagai implementasi trilogi peradaban kebudayaan Suku Bangsa di Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Masalahnya orang Dayak, sekarang, sudah tidak lagi memahami bahwa sistem religi yang menjadikan hutan sebagai sumber peradaban, mampu membuat orang Dayak bertahan hidup beradab-abad, sampai sekarang.

Kalupun ada yang beritikad baik memahami sistem religi di dalam agama asli Suku Dayak, sekarang, justru jadi sasaran pelecehan dan cemoohan sebagian oknum elit internal, karena dicap sebagai praktik menyembah berhala. Padahal anggapan inilah yang pada dasarnya membuat jatidiri orang Dayak menjadi hilang.

Sistem reiligi sebuah suku bangsa, termasuk di kalangan Suku Dayak, menjadi sangat penting, menjadi filosofi dalam etika berperilaku, karena merupakan sebuah bukti kecerdasan bertindak, bukti kecerdasan berpikir, dan bukti kecerdasan bersikap (berdamai dan serasi dengan leluhur, alam sekitar dan sesama).

Karena seseorang mengenal Tuhan dengan akal dan budinya. Jadi, orang Dayak memiliki kemampuan mengenal Tuhan dengan akal dan budinya.

Sistem religi di kalangan Suku Dayak, adalah filosofi, bukan sepenuhnya harus dilihat sebagai sumber keyakinan iman, sehingga antara keduanya harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, sehingga terbebas dari tudingan mencampuradukkan ajaran agama.

Heart of Borneo

Kehancuran jatidiri orang Dayak, gambaran ancaman kepunahan jatidiri Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Karena secara umum, jatidiri bangsa Indonesia, memang hancur, dampak dari Gerakan 30 September 1965, dimana jatidi bangsa sedianya berupa kemandirian bangsa, antikolonialisme, berubah total dari antikomunisme dengan implikasi yang cukup serius.

Tapi dalam perkembangan selanjutnya, memang terbuka lebar peluang bagi berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk Suku Dayak, untuk kembali kepada jatidi diri.

Pertama, secara internasional, Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, tentang perlindungan terhadap penduduk pribumi, penduduk asli (Suku Dayak masuk kategori penduduk pribumi).

Kedua, penerapan Program Heart of Borneo (HoB), inisiatif tiga negara yaitu Brunei Darussalam, Indonesia dan Malaysia untuk mengelola kawasan hutan tropis dataran tinggi di Borneo yang didasarkan pada prinsip konservasi dan pembangunan berkelanjutan.

Pada 12 Februari 2007, pemerintah ketiga Negara akhirnya sepakat mendeklarasikan komitmen mereka untuk mengelola secara berkelanjutan dan melindungi kawasan HoB.

Deklarasi HoB ditandatangani oleh Menteri Kehutanan, Minister of Natural Resources and Environment -Malaysia, dan Minister of Industry and Primary Resources – Brunei Darussalam di Nusa Dua, Provinsi Bali, Indonesia.

Ketiga, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), tanggal 16 Mei 2013, berupa pengakuan terhadap tanah adat, dimana ditegaskan hutan negara di luar hutan adat, hutan adat milik masyarakat adat dan hutan adat bukan hutan negara.

Keempat, putusan MK-RI, Selasa, 7 Nopember 2017, mengakui eksistensi Aliran Kepercayaan yang dimaknai pula sebagai pengakuan terhadap agama asli berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk pengakuan terhadap agama asli Suku Dayak di Pulau Borneo.

Infrastruktur Kebudayaan

Sayangnya, sebagian besar Suku Dayak di Pulau Borneo, tidak jeli melihat dari empat aspek dimaksudkan di atas sebagai peluang untuk kembali kepada jatidirinya.

Orang Dayak gagal memanfaatkan empat aspek di atas untuk memperkuat jaringan infrastruktur kebudayaannya, melalui program revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak.

Ketidakjelian itu, membuat jaringan infrastruktur kebudayaan Suku Dayak sekarang menjadi sangat lemah. Padahal hutan sebagai sumber religi orang Dayak adalah implementasi dari jatidiri orang Dayak.

Rapuhnya jatidiri, berdampak orang Dayak sangat mudah jadi korban hegemoni kelompok lain yang jaringan infrastruktur kebudayaannya yang sudah kuat, dengan dalih demi stabilitas keamanan, demi kesinambungan pembangunan nasional dan demi Pancasila.

Sampai sekarang, sebagian besar elit Dayak, tidak melihat urgensi pentingnya sinergitas Program HoB pada perencanaan pembangunan, dimana menempatkan Borneo sebagai paru-paru dunia, sebagai upaya memperkuat jaringan infrastruktur kebudayaan Dayak .

HoB mencakup 23 juta hektar, sebanyak 16 juta hektar di antaranya di wilayah Indonesia, membentang lurus di Pegunungan Muller melintas dari Provinsi Kalimantan Timur – Provinsi Kalimantan Barat, dan Pegunungan Schwaner melintas dari Provinsi Kalimantan Tengah – Provinsi Kalimantan Barat, dimana dimukimi seratus persen Suku Dayak.

Padahal cukup banyak pejabat pemerintah dari kalangan etnis Dayak yang bersentuhan langsung dengan perencanaan pembangunan, baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten dan kota.

Saat bersamaan, orang Dayak diam seribu bahasa, menyaksikan praktik pelecehan terhadap identitas Suku Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo, sehubungan pembangunan Tugu Perdamaian di Kota Sampit, Ibu kota Kabuupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, yang menggunakan aksara Arab.

Ketidakjelian ini, bukti bahwa Suku Dayak di Pulau Borneo, sudah tidak mampu lagi menunjukkan diri sebagai panutan peradaban, sehingga berbagai argumentasi dangkal penolakan dari orang Dayak terhadap wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan, akan dengan mudah dipatahkan.

Situs Dayak

Memang ada wacana HoB sebagai salah satu posisi tawar bagi kalangan Suku Dayak untuk menolak wacana pemindahan ibukota ke Borneo. Karena konsep HoB, menempatkan Borneo sebagai paru-paru dunia.

Pemindahan ibukota negara ke Borneo, dikhawatirkan bisa merusak Program HoB, dengan bakalan banyaknya kawasan hutan, beralih fungsi menjadi kegiatan ekonomi nonkonservasi.

Kalaupun Borneo nantinya positif dijadikan lokasi ibukota negara, harus ada jaminan terhadap kelanjutan Program HoB, sehingga jalan keluarnya harus diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Suku Dayak sebagai penjaga paru-paru dunia di Pulau Borneo.

Tapi pertanyaan kemudian, sampai sejauh mana orang Dayak memperkuat jaringan infrastruktur kebudayaannya, melalui program revitalisasi Kebudayaan Dayak, sebagai bentuk dukungan konkret terhadap program HoB?

Nyatakan, belum ada gerakan konkret scara masif dan terstruktur dari orang Dayak mendeklarasikan kawasan situs pemukiman dan situs pemujaan sebagai hutan adat (kawasan suci Suku Dayak), sebagaimana digariskan di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang kehutanan.

Padahal di dalam rekomendasi Seminar Nasional Hutan Adat, Tanah Adat, Identitas Lokal dalam Integrasi Nasional, di Pontianak, Senin, 22 Mei 2017, ditegaskan, kawasan situs pemukiman dan pemujaan yang sudah terlanjur menjadi kegiatan ekonomi konservasi, maka setelah habis izin dan atau habis masa berlaku sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) dan atau habis satu siklus tanam, otomatis menjadi milik Suku Dayak setempat.

Dengan demikian, dari aspek kebudayaan, paling tidak sementara waktu, belum ada argumentasi yang kuat kalangan Suku Dayak untuk menolak wacana pemindahan ibukota negara ke Borneo.

Kecuali apabila minimal 45% hutan di Borneo, sudah dideklarasikan menjadi hutan adat Dayak, sebagaimana sudah terjadi di Costarica, Amerika Tengah, barulah orang Dayak memiliki posisi tawar yang kuat untuk menerima atau atau menolak pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Borneo.

Orang Dayak di Borneo, mesti belajar dari pengalaman berbagai suku asli di Costarica. Di Costarica, ada 45% dari luas hutan keseluruhan, berstatus hutan adat, cukup dikukuhkan sesuai upacara ritual agama asli.

Berbekalkan 45% dari luas keseluruhan hutan dari Costarica berstatus hutan adat (cukup diperkuat peta lokasi dirancang secara standar), terbukti sebagai alat tawar cukup ampuh masyarakat adat di negara itu di dalam menuntut Otonomi Khusus. (Aju)