Jakarta (Independensi.com)
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan dalam konteks negara demokrasi, substansi ketentuan makar sudah tidak relevan karena konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sudah menyediakan mekanisme memakzulkan atau menjatuhkan Presiden dan Wakil Presiden.
“Karena itu penerapan pasal makar sudah ketinggalan zaman,” kata Abdul Fickar kepada Independensi.com, Kamis (9/5/2019) menanggapi penetapan tersangka makar kepada Eggi Sudjana oleh penyidik Polda Metro Jaya terkait pernyataan Eggi yang menyerukan “People power”.
Dia menyebutkan makar dalam konteks hukum diatur dalam pasal 104,106 dan 107 KUHP yang intinya ingin membunuh presiden dan wakil presiden, memisahkan diri sebagian wilyah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan,
“Sementara dalam politik, wacana mengganti pemerintahan atau mengganti presiden itu sesuatu yang biasa yang dilakukan lima tahun sekali,” kata staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
Oleh karena itu, tuturnya, diskusi atau wacana itu bukanlah hal yang dilarang dalam politik. “Kecuali sudah terbukti ada upaya nyata untuk menjatuhkannya secara paksa.”
Dia mencontohkan tuduhan makar beberapa waktu lalu juga pernah dituduhkan terhadap beberapa tokoh, tetapi tidak berlanjut. Untuk itu dia menyayangkan penetapan tersangka makar terhadap Eggi Sudjana.
“Karena secara jelas hukum sudah digunakan sebagai alat kekuasaan,” kata Abdul Fickar seraya menyebutkan pada beberapa kasus di berbagai negara itu mencirikan sebagai negara yang totaliter.
“Aspirasi masyarakat dibungkam sekalipun dengan proses hukum. Padahal hukum itu tidak boleh mengadili pikiran dan pendapat warga negara,” ujarnya.
Dia pun menilai kasus Eggi Sudjana bukan semata-mata atau sekedar kasus hukum. “Tetapi juga bernuansa politis. Karena sebagaimana kita ketahui Eggi Sudjana itu aktivis opisisi yang aktif,” katanya.(MUJ)