JAKARTA (IndependensI.com) – Siswa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama yang sudah menyelesaikan pendidikannya di jenjang tersebut perlu mendaftarkan diri di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan peraturan terbaru mengenai PPDB 2019 melalui Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 dengan sistem zonasi. Kebijakan ini menyeleksi setiap siswa untuk diterima di suatu sekolah berdasarkan nilai Ujian Nasional dan domisilinya. Siswa yang memiliki domisili yang sama dengan sekolah tempatnya mendaftar diberikan kuota lebih besar.
Sistem zonasi sebenarnya sudah ditetapkan sejak tahun lalu. Tapi ruang lingkup domisili yang digunakan saat itu adalah tingkat Kotamadya/Kabupaten. Pada tahun 2019 ini ruang lingkup domisili yang digunakan untuk menyeleksi siswa adalah tingkat kelurahan.
Kuota PPDB 2019-2020 dibagi menjadi beberapa jalur, yaitu jalur zonasi (60%), jalur non-zonasi (30%), jalur prestasi (5%), dan jalur perpindahan domisili orang tua (5%). Dengan kuota terbesar, memilih jalur zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing.
Seleksi Ketat
Siswa yang sudah mendaftar dan diterima di sekolah jenjang berikutnya melalui jalur ini tidak bisa mendaftar lagi melalui jalur lain. Kuota jalur non-zonasi yang jauh lebih kecil diperebutkan oleh seluruh siswa di Indonesia tanpa batas domisili. Jalur non-zonasi pun menjadi jalur seleksi PPDB yang sangat ketat.
“Kami memahami bahwa kebijakan ini bertujuan baik untuk menginisiasi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Dengan kebijakan ini, siswa-siswi dengan potensi akademis yang unggul, tidak akan berkumpul di sekolah-sekolah tertentu saja,” kata Chief Brand Officer Zenius Education, Glenn Ardi.
“Efek jangka panjangnya, kebijakan ini dapat meniadakan istilah sekolah favorit yang dianggap lebih unggul daripada sekolah lainnya. Dengan adanya kebijakan ini pula, sumber daya tenaga pendidik diharapkan dapat terdorong untuk meningkatkan kualitas, kompetensi, dan kapabilitas mereka untuk memfasilitasi kebutuhan akademik siswa-siswi berprestasi yang tersebar tersebut,” ujarnya.
“Namun, terlepas dari semua tujuan baik atas sistem zonasi ini, pemerintah selayaknya memperhatikan aspek standarisasi kualitas infrastruktur sekolah dan tenaga pengajarnya terlebih dahulu. Jika sistem zonasi ini diberlakukan tanpa diiringi standarisasi kualitas guru dan sarana infrastruktur, maka para siswa-siswi yang telah berjuang mencapai hasil akademik yang baik pada jenjang sebelumnya, tidak akan memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan prestasi mereka,” kata Glenn.
Perlu diapresiasi juga inisiatif pemerintah dalam kebijakan sistem zonasi ini dapat memberikan manfaat bagi pengalaman belajar lebih baik. Salah satunya mengurangi kelelahan siswa yang harus berangkat lebih pagi dan kembali beristirahat lebih sore karena sekolahnya jauh dari rumah.
Energi dan konsentrasi para siswa akan lebih terfokus untuk belajar dan melaksanakan aktivitas positif seperti ekstrakurikuler. Harapannya membantu para siswa meraih prestasi yang optimal. Kemampuan akademik siswa yang lebih merata akan membantu mengurangi generalisasi psikososial dan stereotip terkait kemampuan seseorang berdasarkan asal sekolahnya.
Di sisi lain, sistem zonasi juga berpotensi menimbulkan masalah baru khususnya di kalangan peserta didik. Penetapan kuota dalam PPDB 2019 akan mempersulit hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan berprestasi mereka. Oleh sistem seleksi, siswa dituntut untuk masuk ke sekolah yang terletak di kelurahan yang sama dengan tempat tinggal mereka.
Hal itu berpotensi menghambat minat dan bakat para siswa yang telah dipupuk dengan baik pada jenjang sekolah sebelumnya. Katakanlah siswa yang berbakat dalam dunia musik idealnya mendapatkan sarana berlatih musik yang baik. Siswa yang berpotensi besar menjadi atlet, selayaknya juga mendapatkan sarana berlatih olahraga yang baik. Namun, dengan penetapan kebijakan sistem zonasi ini, seolah-olah kesempatan mendapatkan sarana berprestasi yang optimal itu dibatasi.
Di level nasional, kajian terhadap survei PISA yang dirilis oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) pada Agustus 2018 menyebutkan bahwa ketimpangan mutu sekolah di Indonesia relatif tinggi. Tingktanya mencapai 49 persen. Dalam pengukuran kompetensi guru yang diselenggarakan Kemendikbud, nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru hingga tahun 2017 masih di bawah 70 dari maksimal 100.
“Aturan sistem zonasi ini tentu bertujuan baik, namun perlu dikaji apakah sudah tepat untuk diberlakukan saat ini. Pada hakikatnya, tugas utama pemerintah adalah mengoptimalkan kualitas penyajian layanan pendidikan, baik dari segi infrastruktur maupun kualitas tenaga pengajarnya. Jangan malah membatasi ruang gerak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik,” kata Glenn.
“Sebetulnya ada banyak hal praktis yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempercepat pemerataan layanan pendidikan dan peningkatan kualitas pengajaran para tenaga pendidik. Salah satunya adalah upaya untuk meringankan beban administratif para tenaga pendidik dengan mendorong digitalisasi sekolah, sehingga para tenaga pendidik dapat fokus untuk menginspirasi dan mendidik para siswa dengan optimal,” ujarnya.