KEBUMEN (IndependensI.com) – Waduk Sempor termasuk salah satu destinasi wisata di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, yang tidak pernah sepi dikunjungi oleh para wisatawan terutama dan khususnya wisatawan lokal. Dan, bagi masyarakat yang berdomisli di Provinsi Jawa Tengah bagian Barat Daya seperti Kabupaten Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Kabupaten Banjarnegara rasanya belum afdol apabila dalam masa libur panjang seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru serta hari-hari besar lainnya tidak berdarmawisata ke waduk yang dibangun pada era Presiden Pertama Republik Indonesia Ir Soekarno tersebut.
Beberapa waktu lalu — tepatnya lima hari setelah Hari Raya Idhul Fitri 1440 Hijriyah — independensi.com diantar seorang sahabat yang telah pensiun sebagai Kepala Sekolah Dasar di tlatah Kabupaten Purbalingga, sempat berkunjung ke waduk yang pernah jebol dan menelan banyak korban jiwa selepas peristiwa kelam yang mewarnai perjalanan bangsa ini pada era 1960-an tersebut.
Jalur alternatif yang merupakan jalan provinsi yang kami lewati — dari wilayah Kabupaten Banjarnegara menuju Waduk Sempor — sangat mulus meski salah satu kendaraan harus menepi bila berpapasan dengan kendaraan lain yang datang dari arah berlawanan. Jalur yang berkelok-kelok, mendaki dan menurun, membuat siapa pun (khususnya para pengemudi utamanya pengemudi kendaraan roda empat) yang melewati jalan arternatif tersebut harus ekstra hati-hati. Pasalnya, selain berkelok-kelok serta mendaki dan menurun, di kanan kiri jalur arternatif tersebut juga terdapat jurang yang cukup dalam dan “dihuni” batu gunung besar-besar.
Setelah menempuh perjalanan sekitar kurang-lebih 60 menit lamanya IndependensI.com sampai di Waduk Sempor. Seperti destinasi wisata air pada umumnya, pada hari itu pun lumayan banyak wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut bisa dilihat dari jumlah kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat yang berada di tempat parkir. Satu dua kendaraan yang berada di tempat parkir di antaranya ada yang ber-plat kendaraan bermotor dari luar Provinsi Jawa Tengah.
Saat itu air Waduk Sempor sedang surut karena musim kemarau. Perahu-perahu yang biasa mangkal di dermaga yang letaknya tidak jauh dari tulisan SEMPOR berpindah tempat ke bagian bawah — tepatnya di hamparan daratan yang akan menjadi bagian dasar waduk kembali bila musim penghujan tiba.
Menurut Trisno, salah seorang anggota dari Kelompok Warga Sadar Wisata Waduk Sempor, yang bertugas menjual tiket bagi pengunjung yang akan berkeliling naik perahu di Waduk Sempor, walaupun air waduk sedang surut karena musim kemarau namun pengunjung tetap saja berdatangan. “Ini benar-benar berkah bagi kami warga masyarakat Sempor yang menggantungkan hidupnya dari keberadaan Waduk ini,” katanya dengan logat pengiyongan ngapak-ngapak yang sangat lekat. “Betul bahwa pengunjung hari ini tidak seramai seperti pada hari lebaran lalu. Tapi, bagi warga masyarakat di sini khususnya mereka yang berjualan makanan dan minuman, tetap merasa senang dan bersyukur walaupun keuntungan yang mereka peroleh tidak sebesar pada hari raya lebaran lalu.
Para wisatawan yang ingin berkeliling waduk diwajibkan membeli tiket seharga Rp10.000 per orang. Lama perjalanan 30 menit pulang-pergi. Kalau lebih dari waktu yang telah ditetapkan tarif per-orang menjadi Rp20.000 perorang.
Demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan di dermaga tersedia perahu cepat yang siap dipergunakan setiap saat oleh personil kelompok sadar wisata yang memiliki kecakapan dan keterampilan melakukan penyelematan di air. “Ada atau tidak insiden di waduk tenaga rescue yang terlatih selalu siap sedia di tempat,” tegas mas Trisno.
Keberadaan Waduk Sempor juga memberi hikmah tersendiri bagi anak-anak muda yang tempat tinggal mereda berada di sekitar waduk tersebut, terutama anak-anak muda yang aktif menggeluti kesenian ebeg atau Kuda Kepang. Selain pentas di arena pertunjukkan yang telah disediakan oleh kelompok masyarakat sadar wisata, mereka sering juga menerima job dari para pengelola penginapan untuk performance.
Saat independensi.com berkunjung ke sana, di belakangan warung yang menjual makanan dan minuman, ada beberapa anak muda yang tengah merawat barongan yang akan mereka pergunakan saat mereka tampil mempertunjukkan kebolehan mereka di hadapan undangan yang hadir di acara halal bi halal yang digelar di aula salah satu penginapan yang terletak di tepi Waduk Sempor.
Mereka mengaku tidak pernah sepi mendapat tanggapan. Karena, selain memiliki agenda tetap menghibur para wisatawan yang berkunjung ke Waduk Sempor, mereka juga sering mendapat order untuk tampil menghibur di luar wilayah Sempor dan sekitarnya. Bahkan, mereka bersama rombongan tim kesenian Kabupaten Kebumen pernah tampil di Anjungan Jawa Tengah Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Mereka memang tidak bersedia menyebut berapa tarif yang mereka tetapkan untuk sekali tampil, namun aktifitas mereka menjadi menarik ketika mereka mengaku bahwa keterlibatan mereka dalam kesenian ebeg bukan semata-mata untuk mencari uang akan tetapi untuk melestarikan kesenian tersebut dari kepunahan.
“Karena kalau bukan kami, siapa lagi yang akan melestarikan kesenian peninggalan leluhur kami ini,” kata salah seorang anak muda yang tengah asyik merawat “Tidak hanya kami yang ebeg-ebeg-an. Yang main gamelan mengiringi kami pun semuanya anak-anak muda. Bahkan ada di antara kami yang masih duduk di bangku SMA,” tambahnya.
Seperti halnya daerah tujuan wisata lainnya yang ada di Indonesia, di Waduk Sempor banyak sekali warung penjual makanan. Secara umum apa yang dijual rata-rata hampir sama dengan di tempat lain. Tapi, ada satu jenis makanan yang tidak dijual di tempat lain yakni mendoan. Betul bahwa kalau kita bicara masalah mendoan — kuliner khas dari sebuah masyarakat yang sehari-hari menggunakan dialek ngapak-ngapak pengiyongan, mendoan memang bisa ditemukan di tlatah Kabupaten Kebumen, Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara.
Namun, saat FX Djoko Santoso, pensiunan Kepala Sekolah yang mendampingi independensi.com berwisata ke Waduk Sempor memesan teh manis panas dan mendoan — membuat reporter Anda terkejut. Sebab, mendoan yang disajikan berukuran 5 kali lebih besar dari mendoan yang dijual oleh pedagang yang biasa mangkal di depan pasar-pasar tradisional
Dengan kepipihan hamparan kedelai yang menyatu akibat fermentasi ragi yang kemudian dikenal dengan sebutan tempe; Lalu tempe tersebut dimasukkan ke dalam adonan tepung yang telah ditambah dengan rajangan daun bawang, dan digoreng setengah matang kemudian dihidangkan; Rasanya memang benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan mendoan yang biasa dibeli di pedagang goreng-gorengan yang berkeliling di kompleks perumahan.
Berapa harga mendoan khas Waduk Sempor tersebut dijual? Hanya Rp 5.000,- (Lima Ribu Rupiah) satu porsi!
Anda ingin coba merasakan sensasi makan mendoan yang ukurannya 5 kali lebih besar dari mendoan yang biasa Anda beli di lingkungan tempat tinggal Anda, silakan datang ke Waduk Sempor. Bisa menghabiskan dua porsi dijamin selama 6 sampai 9 jam Anda tidak akan merasa lapar. (Toto Prawoto)