Prof Dr Faisal Abdullah, SH, MSi, DFM

Budaya Moderat dan Toleransi, Fondasinya Ada di Rumah

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Masyarakat Indonesia selama ini dikenal dengan budaya toleran dan rukun dengan menganut cara pandang moderat baik dalam beragama maupun bernegara. Dalam beragama pandangan moderat dipilih sebagai cara memaknai agama yang tidak ekstrim. Moderat dan toleran menjadi karakter dan jati diri bangsa. Namun saat ini dengan banyaknya narasi intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme di dunia maya telah sedikit banyak mengoyak cara pandang masyarakat.

Hal tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi mudah marah, tersinggung, dan senstitif dengan perbedaan apalagi melalui dunia maya. Sehingga menjadi perlu adanya mengarusutamakan moderasi dan toleransi di dunia maya untuk mendidik dan menanamkan kembali karakter dan jati diri bangsa.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Prof Dr Faisal Abdullah, SH, MSi, DFM, mengatakan bahwa rumah tangga atau keluarga di Indonesia harus terus menurunkan kebiasaan tentang budaya, moral serta etika yang ada di rumah tangga atau keluarga  ke anak-anak  atau cucu-cucunya. Karena melalui rumah tangga atau keluarga ini akan selalu memunculkan kesinambungan budaya dari masing-masing daerah yang ada di bangsa ini.

“Ini agar tidak terjadi putusan-putusan yang tidak menjadi suatu keutuhan yang menyeluruh secara nasional.  Karena dengan adanya budaya yang baru seperti dengan adanya smartphone dan kemajuan teknologi yang cukup pesat itu telah menjadi suatu loncatan sejarah yang mengakibatkan tergerusnya budaya lama dan munculnya budaya baru yang juga tidak dipahami oleh para orang tua untuk disampaikan ke generasi selanjutnya,” ujar Faisal, di Jakarta, Senin (15/7/2019).

Dijelaskan Faisal, jika sampai budaya baru tersebut muncul ke generasi-generasi berikutnya, tentunya akan membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, apalagi jika tidak ada hubungan antar generasi ke generasi berikutnya. Meskipun ada dialog antar generasi, tapi hal tersebut lebih hanya kepada sikap formal, bukan sebagai suatu kebiasaan di dalam rumah tangga antara anak dan orang tua.

“Tapi akhir-akhir ini baru mulai muncul kebiasan baru bahwa antara orang tua dengan anak muda atau anak-anak mereka itu sudah mulai ada dialog, mulai ada kebiasaan bersama, tapi kita sudah terlanjur kehilangan panutan. Sehingga apapun yang dilakukan itu baru mau menjadi budaya baru. Nah disinilah peran bagaimana media-media sosial harus menjadi penuntun, bukan menjadi perusak,” ujar Faisal.

Dikatakan Faisal, selama ini dirinya selama ini  mengamati media sosial sekarang ini lebih banyak  cenderung ke arah yang negatif. Apalagi ditambah dengan kondisi politik di negeri kita ini yang  memanas di tengah perbedaan sehingga dapat  memancing dan membawa media sosial ini ke arah yang lebih negatif. Hal tersebut tentunya mungkin akan berbeda jika kondisi politik di negara ini normal yang misalnya tidak terganggu dengan Pilpres atau tidak terganggu dengan masalah keagamaan.

“Saya katakanan tidak terganggu dengan masalah keagamaan karena di masalah ini kita mengalami suatu  hal yang sifatnya ada perbedaan antara dunia nyata dengan dunia media sosial. Contohnya di dunia nyata orang  ini bukan kiai, tapi karena dia sifatnya me-forward maka tersekonyong-konyong dia itu kiai.  Padahal itu adalah suatu kamuflase bahwa dia ingin dikatakan sebagai orang hebat di dalam grup tersebut.  Dia ingin dikatakan sebagai orang yang alim, tapi sebenanrya dalam faktanya dia biasa-biasa saja,” ujar pria kelahiran Pare-Pare, 24 Juni 1963 ini.

Diakui Faisal, bangsa Indonesia sendiri telah mengalami  loncatan sejarah sejak merdeka sampai selama hampir 74 tahun kemerdekaan, dimana sudah sudah mengalami banyak perubahan dan perkembangan. Namun  perubahan dan perkembangan terjadi yakni dari budaya yang rukun, damai, dengan tanpa televisi, telepon, handphone dan segala macamnya tiba-tiba masuk pada satu dunia yang lebih revolusi. Sayangnya revolusi ini melahirkan budaya yang bisa menjadi tergerusnya budaya lama, yang sebenarnya juga merupakan yang harus dilakukan ketersinambungan antara yang tua dengan muda.

“Tapi jarak antara sebelum pra kemerdekaan, setelah kemerdekaan dan juga dari orde baru ke orde sekarang ini, bangsa kita ini mengalami potongan-potongan budaya yang berakibat kepada munculnya budaya baru.  Padahal kita masih membutuhkan padangan dari kelompok yang moderat dan toleran yang menjadi karakter dan jati diri bangsa kita,” ujarnya.

Dikatakan Faisal, untuk menciptakan kelompok yang lebih moderat  tersebut bukanlah tidak ada tantangan,  karena orang yang sudah merasa enak atau mapan di suatu tempat itu akan merasa terganggu. Apalagi kalau dilihat secara mendalam sebenarnya hampir semua perjuangan-perjuangan mereka itu tidaklah secara ikhlas untuk melakukannya. “Karena ada yang berdasarkan pengaruh keuangan, pengaruh ekonomi dan juga ada karena pengaruh sosial mungkin keluarganya. Memang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti itu,”  ucapnya.

Persoalan yang secara multi itu kalau tidak dipilah dengan baik mana yang menjadi masalah budaya atau mana yang menjadi masalah sosial yang harus ditangani secara ekstrem atau ditangani secara perlahan-lahan dengan secara preventif dan represif tentunya bisa berakibat fatal.

“Saya kira akhir-akhir ini dan tahun-tahun kedepan kita akan mengalami guncangan guncangan yang sifatnya tentu kita harus siap dan sigap. Saya tidak ingin mengatakan itu mederat, tapi setidaknya dapat menghasilkan kelompok-kelompok  tapi yang berani untuk mengatakan bahwa saya Pancasila. Bukan saya Islam, saya Nasrani atau saya Kristen, tapi Saya membela Indonesia,” tuturnya.

Untuk itu menurutnya, perlu adanya  peran para tokoh untuk mengajak masyarakat mau menggelorakan pengarusutamaan moderasi dan toleransi baik di dunia nayta maupun dunia maya.  “Dan yang penting dilakukan para tokoh-tokoh tersebut yakni  tidak berselisih antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lainnya  Mungkin dalam kontemporer dia berselisih, tetapi dalam suatu ikatan yang lebih tinggi, dia adalah satu,” ujarnya

Diakuinya memang anak-anak muda sekarang sebenanya sudah tidak mengenal tokoh. Dan mereka tidak akan patuh misalnya kalau  tokoh A atau tokoh B yang mengatakan suatu hal, karena tokoh tersebut telah menjadi tokoh untuk dirinya.

“Nah ini yang sebenanrya menjadi pekerjaan berat sekarang ini . Karena anak-anak sekarang ini cenderung untuk memutuskan antara perilaku lama dengan perilaku yang baru. Jadi  mereka cenderung untuk berpikir secara instan dan bukan tidak toleran, tapi dia toleransi pada hal-hal yang menguntungkan bagi dia,” ujarnya.

Pria yang juga menjabat sebagai Deputi bidang Pemberdayaan Pemuda di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) ini mengatakan, selama ini dirinya di Kemenpora sendiri telah merancang untuk bekerjasama dengan beberapa lembaga dalam membekali pemuda agar tidak mudah terpengaruh dengan kemungkinan masuknya ideologi lain yang disebarkan melalui dunia maya.

“Kita ingin membangun basis basis pemuda yang dapat menangkal serangan-serangan seperti apakah itu berupa kalimat atau berupa narasi di media sosial terhadap perubahan-perubahan yang mereka lakukan atau yang ingin mereka lakukan yaitu dengan hoax,” ujanrya

Sebenarnya hoax ini ada tujuannya, yaitu ingin membuat masyarakat tidak percaya terhadap orang yang dibahas dalam satu konsep. Mereka ini sebenarnya ingin membangun suatu konsep, tapi belum bisa. Jadi sebelum mereka menanamkan itu,  sama dengan misalnya kalau mereka sudah kecanduan tentang hoax ini, baru mereka akan menanamkan apa yang akan mereka lakukan.

Karena dirinya melihat sekarang ini ada kelompok-kelompok yang ingin  masyarakat ini untuk tidak mempercayai apapun yang ada di dunia atau di negara kita ini. “Kalau dipikir jangka panjang kelompok-kelompok itu ingin membuat ideologi baru. Dan disitulah peran kita selaku pemerintah melalui Kemenpora ini untuk melihat ini bukan secara sempit. Untuk itulah kami berusaha semaksimal mungkin untuk membentengi generasi muda itu dari pengaruh-pengaruh tersebut,” katanya mengakhiri.