Independensi.com – Semua perhatian akhir-akhir ini seolah tertumpah untuk perolehan kursi, terutama yang merasa mempunyai andil atas kemenangan Presiden dan Wakil Presiden 2019-2024. Bahkan yang bukan koalisi juga berharap kebagian kursi jabatan baik secara terang-terangan, tersembunyi dan tersamar.
Wajar saja dalam politik, namanya saja usaha dan manusiawi, “carilah maka kamu akan dapat, mintalah maka kamu akan diberi”, semua tergantung Presiden sesuai dengan UUD 1945.
Tinggal memilih, zaken kabinet seperti usul Prof. Syafi’i Maarif, masukkan generasi muda tapi “jangan mejeng saja” seperti yang disebut Megawaty; professional dan praktisi, dari partai dan non partai, kalangan internal atau eksternal seperti usul para Jaksa pensiunan, tinggal memilih SDM bangsa ini tersedia, dan semoga tidak salah pilih.
Penyusunan kabinet Joko Widodo -Ma’ruf Amin dikaitkan juga dengan rekonsiliasi dengan perbandingan 55-45 sesuai dengan perolehan suara seperti pendapat Prof. Amin Rais. Tentu ada alasan masing-masing, termasuk yang menolaknya, tapi tokh kembali ke Presiden sendiri.
Presiden tokh sudah menegaskan bahwa beliau tidak ada beban moril pada masa jabatan period eke dua ini, sebab dia tidak bisa lagi mencalonkan diri periode berikutnya, bahwa Presiden sudah semakin longgar memilih pembantu-pembantunya dalam melaksanakan visi dan misinya.
Tujuannya adalah untuk membangun seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia bukan untuk memupuk kekuasaan sehingga perlu menmpatkan “tiang penyangga” karenanya, Presiden bebas memilih “bibit unggul” untuk “ditabur ke tanah yang subur”.
Seseorang yang pintar dan hebat, kalau ditempatkan di posisi yang tidak tepat dan cocok sesuai fungsi, tugas dan tidak bertanggung jawab, niat baik dan tekad Presiden tidak akan terwujud. Kita berharap, pembantu-pembantu Presiden bukan petugas partai dan tidak berdua hati menjalankan tugasnya.
Kepada para pengusul calon kabinet, kalau terpilih harus juga ada tanggungjawab moril, yaitu apabila orang yang diusulkan tidak capable atau bermasalah, harus ikhlas menariknya, sebab parpol atau ormas pengusul harus ikut bertanggung jawab atas perilaku orang yang diusulkan. kalau melanggar hukum misalnya, harus berani meminta mundur atau diganti.
Dengan demikian pengusul kan harus mengawasi “wakil-nya”, tidak ada lagi menteri yang terlibat tindak pidana korupsi seperti yang lalu-lalu. Keterlibatan anggota partai/ormas dalam tindak pidana korupsi juga harus dimaknai sebagai tanggungjawab moril partai/ormas yang bersangkutan.
Kita mengapresiasi Ketua Umum Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) Surya Paloh yang dengan tegas mengatakan tidak mengusulkan nama untuk duduk jadi menteri, namun kalau diminta partainya siap memberi nama dari putra-putri terbaik bangsa yang ada di Nasdem.
Mungkin saja dia mengambil sikap seperti itu karena dia risih melihat rekan-rekannya dari partai lain yang kadang-kadang “genit” dalam mempromosikan orang-orangnya sekaligus melirik kursi-kursi yang ada.
Dalam kaitan itulah mungkin, para pensiunan Jaksa Senior beberapa waktu lalu mendiskusikan kriteria Jaksa Agung yang ideal yang dikehendaki Keluarga Besar Purnawirawan Adhyaksa, dari internal (aktif maupun yang purnawirawan, namun jangan manula), tidak terlibat politik praktis, dan tidak bisa diintervensi.
Tanpa mengemukakan plus-minusnya, apa ada kaitannya usul para Pensiunan Jaksa Senior itu dengan kinerja Jaksa Agung M. Prasetyo SH, karena walaupun dari keluarga besar Adhyaksa apakah lebih berat politik praktis dibanding rasa korps Adhyaksa, Dono Iswahyudi cs yang tahu.
Mereka mengusulkan untuk kepentingan pencari keadilan, Jaksa Agung sebaiknya dari internal Kejaksaan, bisa yang aktif atau yang purna tugas tetapi jangan manula, dan juga tidak ketinggalan jangan yang mau diintervensi. Semua baik-baik saja tentunya.
Tetapi harus diingat Kejaksaan Agung belum tuntas mereformasi diri dan kinerjanya sesuai tuntutan penegakan hukum dan perwujudan keadilan, seperti rekrutmen, penempatan, jenjang karier terutama penanganan dan penyelesaian perkara apalagi pemberantasan korupsi.
Barangkali percepatan reformasi di tubuh Kejaksaan, kalau diterapkan seperti yang dilakukan di Polri, seorang “junior” melewati beberapa angkatan di atasnya, sedikit banyak hasilnya, nyata.
Mata dan telinga Presiden luas jangkauannya untuk menemukan “bibit unggul” seperti Susi Pujiastuti, tidak harus internal , plus-minusnya memang ada, Kejaksaan bukan untuk Kejaksaan saja, tapi untuk Negara Kesatuan Indonesia, semuanya masyarakat masih percaya pada hati nurani Presiden.(Bch)