Foto ini adalah pengobatan dengan sistem religi Suku Dayak di Palangka Raya, Dayak Tengah, Sabtu malam, 20 Juli 2019.

Religi Dayak, sebagai Identitas dan Jatidiri Dayak

Loading

Oleh : Aju

(Independensi.com) – Kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban, yaitu pranata peradaban sosial, pranata peradaban ekonomi dan pranatara peradaban politik. Pranata peradaban sosial, mengatur relasi antar sesama dan Yang Maha Kuasa (sistem religi). Relasi antar sesama, di antaranya adat istiadat dan hukum adat. Jadi, bicara masalah Kebudayaan Suku Dayak, otomatis bicara masalah sistem sosial Dayak, bicara masalah sistem ekonomi Dayak dan bicara masalah sistem politik Dayak.

Sebagai salah satu suku bangsa di Benua Asia, Suku Dayak, sebagaimana berbagai Suku Bangsa di wilayah lainnya di Asia, menganut trilogi peradaban (identitas) kebudayaan, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan dimaksud, membentuk karakter, identitas, dan jatidiri Suku Dayak beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, serta berdamai dan serasi dengan sesama, sebagai pilar pula utama etika berperilaku orang Dayak yang berurat berakar atau bersumber dari doktrin sistem religi Dayak (agama asli Dayak): legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak. Sistem religi Dayak, dengan menempatkan hutan sebagai sumber peradaban, mampu membuat Suku Dayak survive selama berabad-abad, hingga sekarang.

Ini, sama halnya dengan Agama Katolik yang berurat berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi, sumber doktrinnya: legenda suci Suku Bangsa Yahudi, mitos suci Suku Bangsa Yahudi, adat istiadat Suku Bangsa Yahudi dan hukum adat Suku Bangsa Yahudi, melalui Kitab Suci Injil, dimana ditulis selama 1.500 tahun oleh 40 penulis lintas generasi dan lintas profesi.

Dari perjalanan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, Kebudayaan Suku Dayak, sebagian bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, turut serta melahirkan ideologi Pancasila. Ini, mengacu kepada pendapat Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945, sebagai hari lahir Pancasila, bahwa Pancasila disarikan dari berbagai kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia, dimana dimaknai pula ideologi Pancasila disarikan dari Kebudayaan Suku Bangsa Dayak sebagai penduduk asli di Pulau Borneo.

Jadi, mengenal, memahami, dan mencintai identitas, karakter dan jatidiri Dayak bersumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak, adalah bentuk nyata di dalam mengamalkan ideologi Pancasila. Demikian pula sebaliknya. Jika masih ada orang Suku Dayak selalu melihat Kebudayaan Suku Dayak, semata-mata dari sumber keyakinan iman, maka di situlah awal dari kehancuran Kebudayaan Suku Dayak, di situlah awal dari kehancuran karakter, identitas, dan jatidiri orang Dayak.

Melihat Kebudayaan Suku Dayak secara khususnya dan kebudayaan suku-suku bangsa di Indonesia, semata-mata dari sumber keyakinan iman, sebagai potensi awal dari pengingkaran terhadap ideologi Pancasila, sebagaimana paham radikalisme khilafah yang selalu berkolerasi kepada aksi terorisme di berbagai wilayah di Indonesia, akhir-akhir ini.

Orang Dayak harus memaknai dalam konteks yang berbeda, antara agama sebagai sumber keyakinan iman, dengan sistem religi Suku Dayak, sebagai panduan etika berperilaku orang Dayak, agar terbebas dari tudingan mencampur-adukkan ajaran agama.

Karena seorang Suku Dayak yang memeluk Agama Katolik, misalnya, tidak semerta-merta berubah menjadi Suku Bangsa Yahudi di Timur Tengah, hanya lantaranya Agama Katolik berurat berakar dari Kebudayaan Suku Bangsa Yahudi. Sementara status kedayakan orang Dayak, akan melekat di dalam diri orang Dayak, sampai akhir hanyat.

Pembakuan nama Rupabumi

Pengenalan karakter, identitas dan jatidiri Dayak, terkait pula dalam hal prinsip dari aspek pembakuan nama rupabumi. Karena suka atau tidak suka, mulai dari kalangan akar rumput hingga kaum elit Suku Dayak di Pulau Dayak (Kalimantan/Borneo), dari dulu hingga sekarang, ada praktik pembiaran terhadap pelecehan identitas dan jatidiri orang Dayak.

Praktik pembiaran kalangan Suku Dayak atas pelecehan terhadap identitas dan jatidirinya, karena membiarkan kesalahan penulisan dan atau penyebutan nama wilayah dan tempat tinggalnya.

Bisa dilihat dari pembiaran terhadap kesalahan penyebutan nama sungai, gunung, lembah, ngarai, hutan, hingga fasilitas umum bentukan manusia, seperti jalan, jembatan, gedung dan lain sebagainya di wilayah pemukiman orang Dayak.

Kesalahan sering pula terjadi pada penulisan nama wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia, seperti orang Dayak, termasuk elit Dayak, melakukan pembiaran terhadap kesalahan penulisan nama dusun, desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi.

Di antaranya di Provinsi Kalimantan Barat, ada nama Desa Tiga Berkat di Kabupaten Bengkayang, ada nama Desa Jawa Tengah di Kabupaten Kubu Raya, kemudian ada nama Kecamatan Toba di Kabupaten Sanggau, ada nama Kecamatan Puring Kencana, ada nama Kecamatan Empanang, di Kabupaten Kapuas Hulu.

Ada lagi, nama Kecamatan Ambalau, nama Kecamatan Serawai, nama Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di Kabupaten Sintang, nama Gunung Jamur di Kabupaten Bengkayang, jelas-jelas, tidak mengacu kepada sebutan masyarakat lokal, terutama tidak mengacu kepada sebutan bahasa Suku Dayak setempat, sebagai penduduk asli di wilayah itu di Provinsi Kalimantan Barat.

Hambat Nasionalisme

Kesalahan penulisan dalam aspek pembakuan nama rupabumi atau teknik ilmu penamaan wilayah atau teknik penamanaan geografi atau toponimi, secara langsung menghambat munculnya semangat nasionalisme di kalangan Suku Dayak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) beriodelogi Pancasia.

Karena nasionalisme akan muncul dengan diawali rasa kecintaan terhadap identitas diri. Karena bagaimana mungkin orang Dayak muncul semangat nasionalismenya terhadap NKRI, jika dari aspek penulisan dan atau penyebutan identitas dan jatidirinya saja sudah salah.

Dampak lebih jauh, kesalahan penulisan dan atau penyebutan nama wilayah, menghambat terwujudnya Kebudayaan Suku Dayak dalam integrasi regional, nasional dan internasional.

Karena kebudayaan nasional Indonesia, berasal dari kebudayaan daerah yang disosialisasikan secara terus-menerus dari komunitas internal, kemudian diterima ranah psikologis masyarakat luas untuk ditetapkan menjadi kebudayaan nasional Indonesia.

Pulau Dayak

Pembakuan nama rupabumi mengacu kepada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 4 Tahun 1967, dimana digariskan, penyebutan dan atau penulisan nama wilayah, harus mengacu kepada kearifan lokal, harus mengacu kepada bahasa daerah lokal, harus mengacu kepada legenda suci lokal, harus mengacu kepada mitos suci lokal, harus mengacu kepada adat istiadat lokal dan harus mengacu kepada hukum adat lokal.

Hakekat dari pembakuan nama rupabumi sejalan dengan penjabaran ideologi Pancasila, yaitu menghargai keberagamanan yang ada di masyarakat.

Pembakuan nama rupabumi, memperteguh eksistensi Pancasila yang disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk di antaranya ideologi Pancasila disarikan dari Kebudayaan Suku Dayak di Pulau Dayak.

Menyadari hal itu, maka keluar Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia, Nomor 112 Tahun 2006, dimana menggariskan, supaya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, memfasilitasi langkah masyarakat melakukan penentuan nama wilayah dan atau mengusulkan perubahan nama wilayah, sesuai identitas lokal.

Teknis penentuan dan atau pengusulan perubahan nama wilayah, dimulai dari kesepakatan tertulis antar tokoh masyarakat lokal, kemudian disahkan otoritas berwenang di tingkat kecamatan, untuk selanjutnya diproses di bagian pemerintahanan di pemerintahan otonom.

Khusus terhadap usulan perubahan nama wilayah kecamatan, kabupaten, kota, provinsi, memang harus didasarkan keputusan politik Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) sesuai tingkatan.

Tapi proses pengambilan keputusan politik, itu, bukan mempersoalkan usulan perubahan nama wilayah, tapi hanya sebatas mengesahkan, untuk disampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Perubahan nama provinsi, kabupaten dan kota, didasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia.

Pemerintah Indonesia, menyadari, penentuan sebuah nama wilayah merupakan hal prinsip di dalam masyarakat, termasuk hal yang sangat prinsip di kalangan masyarakat Suku Dayak.

Seseorang, bisa kehilangan segala-galanya semasa hidupnya, tapi tidak dengan nama. Nama seseorang tetap melekat di dalam dirinya, sejak lahir, remaja, dewasa, menjadi orangtua, hingga jadi kakek dan nenek. Sampai meninggal dunia sekalipun, nama seseorang, akan terpampang di batu nisan.

Prinsip dasar dari pembakuan nama rupabumi, bukan menghapus fakta sejarah di wilayah yang akan diubah namanya sesuai kearifan lokal, melainkan melengkapi fakta sejarah yang pernah terjadi di wilayah yang diusulkan perubahan namanya itu.

Pemahaman universal dari konsep pembakuan nama rupabumi, kesalahan penulisan dan atau penyebutan nama wilayah, adalah bentuk kejahatan ilmiah yang dilakukan negara terhadap komunitas masyarakat setempat.

Selagi tidak ada inisiatif masyarakat lokal melakukan perubahan terhadap nama wilayah yang salah, dalam arti, melakukan pembiaran terhadap penamaan wilayah yang salah, maka selama itu pula, masyarakat lokal terlibat langsung di dalam tindak kejahatan ilmiah yang dilakukan negara terhadap identitas dan jatidirinya.

Itulah makna disampaikan Wakil Bupati Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Askiman, ketika mengeluarkan wacana Kalimantan atau Borneo jadi Pulau Dayak pada International Dayak Justice Congress (IDJC) di Hotel Queen Keningau, Negara Bagian Sabah, Federasi Malaysia, 14 – 16 Juni 2019.

Wacana Kalimantan atau Borneo jadi Pulau Dayak, idealnya tidak dilihat dari sudut pandang pragmatisme politik semata, karena pasti menjadi sebuah perdebatan panjang dan melelahkan, tapi mestilah dilihat dari strategi pembangunan kebudayaan, melalui Program Revitalisasi Kebudayaan Suku Dayak.

Wacana Kalimantan atau Borneo jadi Pulau Dayak, dapat dijadikan momentum kalangan internal untuk lebih mengenal identitas dan jatirinya. Orang Dayak harus melihat Kebudayaan Suku Dayak dari dalam secara jujur dan bermartabat. (*)

Penulis adalah wartawan senior. Tulisan ini disampaikan pada pada seminar di sela-sela Festival Budaya Dayak se Provinsi Kalimaantan Barat I Tahun 2019 di Bengkayang, Senin, 8 Juli 2019).