Presiden Joko Widodo segera umumkan susunan kabinet periode 2019-2024

Setelah Presiden Ucapkan Sumpah

Loading

Independensi.com – Penyusunan Kabinet periode 2019-2024 menurut Presiden Terpilih Joko Widodo telah rampung dan tinggal mengumumkan, dan tinggal menentukan waktunya, apakah Agustus ini atau pada saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden 20 Oktober 2019 nanti.

Akan tetapi menurut Oesman Sapta Odang (OSO) Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) dari bahasa tubuh Presiden menunjukkan akan ada pengumuman, perhatian orang tentunya adalah pengumuman tentang susunan menteri.

Hampir pasti bahwa jumlah menteri sesuai Undang-undang No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara sebanyak 34 orang, dan kalau 55 persen dari professional dan 45 persen dari partai politik, maka sebagian besar berbagai pihak menjadi ketar-ketir menunggu bagaikan menanti suara tokek”, masuk, tidak, masuk, tidak…”

Banyak pihak berpendapat lebih cepat lebih baik kalau Presiden mengumumkan susunan kabinet periode keduanya, dengan pengumuman itu yang bersangkutan dapat melakukan orientasi sebagai persiapan untuk bisa langsung bekerja. Ada benarnya juga.

Tetapi seorang pengamat hukum tata negara dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggoro mengingatkan, bahwa Presiden berpotensi melanggar UU No. 39/2008 Tentang Kementerian Negara, apabila mengumumkan susunan kabinet sebelum pelantikan Presiden terpilih.

Undang-undang tersebut memang menyebutkan dalam Pasal 16 :”Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/janji.

Artinya, bahwa UU ini menghendaki pengumuman cabinet itu setelah Presiden mengucapkan janji, yaitu setelah tanggal 20 Oktober 2019 dan dan dalam jangka waktu selambatnya 14 hari.

Hal mana juga sebagaimana ditentukan Pasal 1 butir 4 yang menentukan; “Pembentukan Kementerian adalah pembentukan Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah Presiden mengucapkan sumpah/janji.”

Dalam Penjelasan Umum UU ini menyebutkan: Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan pengangkatan dan pemberhentian menteri. Pengaturan persyaratan pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik.

Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden.”

Bahwa pengangkatan menteri adalah hak prerogatif Presiden tetapi sekaligus juga menjadi tanggungjawab moril Presiden untuk memilih orang-orang yang memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Memang tidak ada ukurannya tetapi seorang yang berintegritas dan berkepribadian baik singkatnya tidak cacat etik, moral dan hukum sesuai dengan norma-norma sosial kemasyarakatan.

Di bagian lain penjelasan itu juga menyebutkan: “Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja

Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.”

Kalau diakhir periode ini Presiden memberikan toleransi kepada pimpinan partai merangkap sebagai menteri seperti dari Partai Golkar, mungkin dapat dimaklumi mengingat adanya krisis kepemimpinan di Partai Golongan Karya, akan tetapi untuk periode berikutnya, amanat UU tersebut: “diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatan-jabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik” seyogyanya diperhatikan.

Sehingga seorang menteri benar-benar menjadi abdi negara dan abdi masyarakat tidak tersimpangi sebagai abdi partai, bukan mendikotomikan yang berasal dari partai dengan kaum professional, sebab partai juga banyak memiliki professional, namun partai juga harus rela untuk membebastugaskan kadernya menjadi abdi negara dengan sepenuh hati.

Di periode kedua pengabdian Jokowi- dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin ini merangkul bibit-bibit radikalisme dan intoleransi di tengah-tengah masyarakat kembali untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakt, berbangsa dan bernegara.

Salah satu yang mungkin terlupakan sejak Orde Baru sampai era reformasi ini adalah masalah penegakan hukum dan perwujudan keadilan, termasuk lembaga-lembaga penegak hukumnya. Agar hasil-hasil pembangunan itu benar-benar dinikmati seluruh masyarakat, penegakan hukum harus dilakukan secara konsekwen dan konsisten akan tetapi oleh aparat yang benar-benar berintegritas.

Oleh karena itu dalam pengisian kementerian periode mendatang tidak hanya mem-profesional-kan bidang ekonomi, keuangan dan industri serta sarana dan prasarana, bidang penegakan hukum juga perlu oleh professional. Walaupun telah tersusun, jangan didorong-dorong Presiden melanggar UU, dan biarlah waktu tersisa dapat digunakan untuk mengkaji ulang nama-nama yang telah ada, agar sesuai dengan kebutuhan nusa dan bangsa. (Bch)