Oleh: Albert Hasibuan
JAKARTA (Independensi.com) – Akhir-akhir ini, di saat rakyat Indonesia memperingati HUT ke 74 Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, nampaknya,hampir semua fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)sepakat terhadap rencana amandemen kelima Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, saya mencatat, fraksi-fraksi tersebut masih berbeda tentang rencana materi yang harus diamandemenkan. Keinginan (politik) fraksi-fraksi di MPR dalam amandemen kelima itu, masih harus dirumuskan dengan eksplisit.
Ada fraksi yang mengusulkan, agar amandemen kelima ini bertujuan mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya. Yakni, UUD 1945 yang berisikan XVI Bab dan 37 Pasal,berikut Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar Negara Indonesia dengan XVI Bab dan Pasal 37.
Ada yang menghendaki agar amandemen kelima itu menghadirkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), karena Pasal 3 UUD 1945 tentang penetapan GBHN telah dihapus oleh MPR pada saat dilakukan amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001.
Seperti diketahui, PDI Perjuangan, dalam Kongres ke-V di Bali 8-10 Agustus 2019, telah mengusulkan suatu amandemen terbatas untuk mengembalikan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang berwenang menetapkan GBHN, kemudian juga pemisahan pemilu legislatif dan penguatan ideologi Pancasila dalam pemerintahan.
Lalu, kelompok anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan agar ada amandemen yang memperkuat peran DPD dan tidak terbatas pada rumusan Pasal 22D UUD 1945 sekarang ini.
Pengusulan dari DPD tersebut sudah berlangsung beberapa tahun,pada saat,dimana belum ada yang mengusulkan, secara tegas, tentang rencana melakukan amandemen UUD 1945 itu.
Terhadap fenomena ini, saya akan lebih fokus pada pertanyaan: Mengapa fraksi-fraksi MPR itu, ingin, atau merencanakan, mengadakan perubahan kembali,atau amandemen kelima,terhadap konstitusi UUD 1945 yang berlaku saat ini?
Padahal, konstitusi UUD 1945 adalah hasil dari empat kali perubahan oleh MPR selama empat tahun berturut-turut (1990-2002), dimana UUD 1945 itu seharusnya menjadi suatu “living constitution” bagi negara dan masyarakat Indonesia yang dapat berlaku puluhan, bahkan, ratusan tahun kedepan.
Pertanyaannya: Dimana letak masalahnya? Tanpa ingin mengecilkan hasil kerja dan jasa para pembuat amandemen tersebut, saya rasa masalahnya,antara lain, terletak (pada anggapan) bahwa ada ketidak-lengkapan, kekurangan dan ketidak-sempurnaan UUD 1945.
Dalam konteks ini, saya, terlebih dahulu, harus mengacungi jempol, dan berterima kasih, kepada MPR, yang telah mengadakan pembaruan serta inovasi politik secara konstitusional,seperti pemilihan langsung (oleh rakyat) Presiden/Wakil Presiden dananggota DPR/DPRD, dst., Mahkamah Konstitusi, pencantuman pasal-pasal Hak Asasi Manusia (HAM), Komisi Yudisial, dihapuskan persyaratan bahwa “Presiden ialah orang Indonesia asli”, pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), pasal tentang pemberhentian (“impeachment”) Presiden/Wakil Presiden, dll.
Namun, suatu kenyataan, bahwa oleh fraksi-fraksi di MPR, ditambah anggota masyarakat lainnya, saat ini, terhadap konstitusi UUD 1945, direncanakan untukdiadakan amandemen kelima UUD 1945.
Pertanyaannya: Mengapa terjadi kekurangan, ketidak-lengkapan dan ketidak-sempurnaan dalam UUD 1945 sehingga diadakan amandemen kelima?
Menurut saya, mungkin saja, dalam proses amandemen empat kali UUD 1945 di MPR, telah terjadi kompetisi, “bargaining” dan kompromi, diantara anggota MPR yang berasal dari berbagai politik, sehingga dalam mengamandemen itu tidak lepas dari kepentingan dan interes dari partai politik masing-masing (Valina Singka Subekti, 2008).
Namun, saya ingat, sebelumnya, keadaan ini telah disadari dan diakui sendiri oleh MPR, ketika merumuskan konsideran menimbang huruf c. dan d. Ketetapan No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi berikut Tap MPR No. 4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.
Dalam konsideran tersebut dinyatakan, antara lain, bahwa “meskipun perubahan-perubahan UUD 1945 sudah cukup untuk mengatur pelaksanaan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara, tetapi masih diperlukan pengkajian secara komprehensif dan transparan dengan melibatkan masyarakat luas”, dan bahwa “karena itu dipandang perlu dibentuk suatu Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 yang hasilnya akan diputuskan dalam ST-MPR 2003.”
Oleh karena itu, dalam melakukan pengkajian secara komprehensif dan transparan tentang perubahan (amandemen) konstitusi UUD 1945, Komisi Konstitusi, yang beranggotakan 31 orang, terlebih dulu mengadakan suatu “review” yang menyeluruh, yang hasilnya adalah suatu kritikan (yang bersifat membangun) dan saran-saran terhadap UUD 1945.
Saya menganggap bahwa kritikan, dan saran, itu dapat dijadikan pertimbangan dan masukan pada saat dilakukan dan diselenggarakan amandemen kelima UUD 1945.
Kritikan-kritikan itu, beberapa diantaranya, adalah pendapat bahwa disamping tidak menemukan suatu kerangka acuan, atau naskah akademik, sebelum MPR melakukan perubahan UUD 1945 itu, Komisi Konstitusi berpendapat 1) Adanya kekaburan dan inkonsistensi teori materi muatan UUD 1945, 2) Kekacauan struktur dan sistematisasi pasal-pasal dalam UUD 1945.
Kemudian, 3) Ketidak–lengkapan konstitusi dan pasal-pasalnya yang multi interpretatif, 4) Aspek filosofis, sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang membingungkan.
Juga, bahwa perubahan atau amandemen empat kali oleh MPR sudah merupakan penggantian (“alteration”) konstitusi UUD 1945. Karena, pasal-pasalnya yang diubah jauh lebih banyak yakni 31 pasal atau 83,79 %, dibanding yang tidak diubah yaitu 6 pasal atau 16,21%. Pasal-pasal tambahan pun sebanyak 36 pasal atau 93,30% dari naskah asli yang hanya 37 pasal.
Mengenai ideologi Pancasila, sebagai dasar falsafah kenegaraan, dalam UUD 1945 telah dirumuskan dengan kurang sentral, karena memungkinkan untuk diubah, yang terlihat, dari bunyi Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.” Sedangkan, ideologi Pancasila tidak ada pasal yang secara khusus, menyatakan, tidak boleh merubah ideologi Pancasila.
Kemudian, apakah kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dirumuskan dalam Pasal 22 UUD 1945 sudah mencukupi kewenangan dan kekuasaannya? Apakah peran DPD harus diperkuat?
Dengan pertimbangan bahwa DPD merupakan representasi kepentingan daerah dan sebagai lembaga negara memiliki fungsi integrasi sebagaimana Sila Ketiga Pancasila yakni Persatuan Indonesia, maka kewenangan dan kekuasaan DPD yang bersifat “spatial representation” yang seimbang, atau “symetric”, dengan sistem “check and balances”, maka kewenangan dan kekuasaan DPD harus ditambah.
Lalu, masalah inkonsistensi dan kekaburan teori UUD 1945 yang berhubungan dengan sistem Presidensial. Hal ini dapat dilihat dari bunyi Pasal 2 ayat (5) UUD 1945.
Dalam sistem pemerintahan Presidensial segenap legislasi (pembuatan undang-undang) adalah wewenang badan legislatif atau DPR. Presiden tidak mengambil keputusan apa-apa dalam pembuatan legislasi tersebut, walaupun Presiden berhak mengajukan undang-undang kepada DPR dan DPD.
Oleh karena itu, Presiden berhak menolak, atau “hak veto”, suatu rancangan undang-undang, dengan ketentuan bahwa bobot keputusan DPR yang menentukan validitasnya.
Misalnya, dengan dukungan 2/3 suara di DPR atau 2/3 suara pada masing-masing kamar untuk menghasilkan rancangan undang-undang yang tidak boleh ditolak oleh Presiden. Oleh karena itu, Pasal 20 ayat (5) adalah bentuk dari gejala dominasi kekuasaan legislatif atau “legislative heavy.” Demikian, beberapa masukan (dan kritik) untuk amandemen kelima UUD 1945.
Penulis adalah Wakil Ketua Komisi Konstitusi dan anggota Wantimpres (2012-2014).