Jakarta (Independensi.com)
Pemindahan ibukota negara dari kota Jakarta ke daerah lain tidak bisa begitu saja diputuskan Presiden. Tapi harus ada undang-undang baru untuk pemindahan ibukota negara yang diusulkan pemerintah kepada DPR RI.
“Jadi sepanjang belum ada Undang-Undang membatalkan penetapan Jakarta sebagai ibukota negara dan pengusulan daerah lain sebagai ibukota negara baru, maka keputusan presiden soal pemindahan ibukota negara masih sebatas wacana,” kata pengamat politik dan kebijakan publik DR Andi Yusran kepada Independensi.com, Kamis (29/8/2019).
Dia menyebutkan untuk dapat memindahkan ibukota negara, presiden perlu mengusulkan RUU pembatalan UU Nomor 29 tahun 2007 tentang penetapan DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan pengusulan daerah lain sebagai ibukota negara baru.
“Ini juga lebih elok dibandingkan langkah selama ini yang terkesan powerful,” katanya seraya menyebutkan Jokowi berani bermanuver saat ini karena memiliki kekuatan politik cukup kuat dengan ditopang partai koalisi yang mengusai parlemen.
Padahal, tutur Yusran, idealnya Jokowi tidak perlu terlalu cepat bermanuver soal pemindahan ibukota negara. “Tapi lebih baik lakukan kajian dahulu secara mendalam soal relokasi ibukota kemudian siapkan draft RUU nya.”
Karena jika nanti RUU tersebut dibawa ke DPR, ucap dia, bisa dipastikan tidak akan mengalami resistensi dari sebagian besar anggota DPR.
Yusran juga menyoroti alasan Bappenas soal pemindahan ibukota negara yang dinilainya sangat tidak beralasan dan terkesan hanya dicari-cari.
“Karena jika dikatakan untuk
mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek maka hal itu bisa dilakukan dengan tanpa harus relokasi ibu kota,” kata pengamat dari Indopol Research and consulting.
Caranya, ucap dia, optimalkan implementasi kebijakan desentralisasi dan perkuat sistem e-goverment. “Beban Jakarta yang terlalu berat karena tata kelola pemerintahan yang serba Jakarta, bahkan rapat kades pun kerap dilakukan Kementrian di Jakarta. Belum lagi prilaku sentralistik parpol yang serba DPP.”
Sedangkan pemerataan pembangunan, ucap dia, sejatinya dilakukan melalui redistribusi kebijakan dan aset antar wilayah dan zona melalui pendekatan spasial dan bukannya melalui relokasi fisik ibu kota.
Ditegaskannya juga mengubah mindset pembangunan dari Jawa sentris menjadi indonesia sentris tidaklah terkait posisi keberadaan ibukota. “Melainkan karena ketimpangan distribusi kebijakan dan alokasi sumber daya,” tuturnya.
“Jadi kemanapun ibukota ditempatkan jika kebijakan pembangunan tidak didesain mempertimbangkan aspek sektoral dan spasialnya, mindset tersebut tidak akan pernah berubah,” kata Yusran.
Disebutkannya juga kalau
Jakarta selama ini telah menempatkan diri sebagai ibukota representasi adat dan budaya nusantara.
Karena itu, tutur dia, relokasi ke tempat lain bisa saja justru memicu gesekan sosial dan kultural baru sehingga Bappenas butuh kajian baru yang lebih reasionable guna memenuhi permintaan politik elit terkait dengan pemindahan ibukota negara.(MUJ)