Herman Arisabab (kanan). (Ist)

Herman Arisabab, Religi Papua dan Kerusuhan Papua

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah berkordinasi dengan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal (Purn) Wiranto, untuk menginstruksikan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Hadi Tjahjanto, menugaskan Mayjen TNI Herman Arisabab, putera asli Papua dari Pangdam XII/Tanjungpura (Pontianak, Kalimantan Barat – Kalimantan Tengah ) menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih (Jayapura, Papua) terhitung Senin (2/9).

Penugasan Herman Arisabab yang hanya 5 bulan menjadi orang nomor satu di lingkungan Kodam XII/Tanjungpura, 3 Maret – 2 September 2019, untuk meredam kerusuhan yang meluas di seluruh Tanah Papua, dampak dari ujaran kebencian bersikap rasis para demonstran dan oknum aparat keamanan saat mengamankan Asrama Papua di Malang dan Surabaya, Kamis, 15 Agustus 2019.

Kerusuhan di Papua, meledak sejak 19 Agustus 2019, dengan akumulasi permasalahan yang sangat kompleks, membutuhkan penanganan semua lini dari pihak yang sangat memahami karakteristik wilayah yang sangat luas itu. Dalam konteks itulah, Herman Arisabab diperintahkan pulang kampung.

Herman Arisabab digantikan Mayen TNI Muhamad Nur Rahmat sebagai Pangdam XII/Tanjungpura. Sementara Pangdam XVII/Cenderawasih sebelumnya, Mayjen TNI Jopie Onesimus Wawangkau kembali ke pos semula, Pangdam XVIII/Kasuari (Manokwari, Papua Barat) Mayjen TNI Yosua Pandit Sembiring.

Yosua Pandit Sembiring kemudian menjadi Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat (Aspem KSAD) menggantikan posisi Mayjen TNI Muhammad Nur Rahmat. Jadi, dua Kodam di Tanah Papua, dipimpin putera asli Papua.

Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI, Mayjen TNI Sridadi, menegaskan, dua perwira tinggi TNI AD ditugaskan di Tanah Papua, supaya pendekatan kultural di dalam meredam kerusuhan, bisa berjalan efektif, sesuai harapan banyak pihak.

Tidak diragukan lagi, teknis pendekatan kultural yang dilakukan Herman Arisabab terhadap warga Papua. Karena pendekatan serupa, telah dilakukan Herman Arisabab, selama bertugas di lingkungan masyarakat Suku Dayak di Pulau Dayak (sebutan berdasarkan Protokol Tumbang Anoi 2019).

Misalnya, di tengah-tengah pro dan kontra kalangan oknum elit Suku Dayak terhadap penyelenggaraan Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, 22 – 24 Juli 2019, Herman Arisabab, sangat mendukung cara tersebut, agar gerakan kalangan Suku Dayak yang sewaktu-waktu bisa menghembuskan isu Borneo Merdeka, bisa dieliminir.

Langkah Herman Arisabab, memang tidak main-main, di dalam merebut simpati kalangan masyarakat Suku Dayak se-Pulau Dayak (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam). Herman Arisabab menginstruksikan jajarannya membangun tenda milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) di Tumbang Anoi, sebagai tempat menginap delegasi dari dalam dan luar negeri.

Upaya Herman Arisabab menarik simpati kalangan Suku Dayak, membuat penyelenggaraan Seminar Internasional dan Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019, bisa berjalan sesuai harapan.

Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran, Bupati Gunung Mas, Jaya Samaya Monong, memutuskan memfasilitasi seluruh kegiatan tahap akhir pertemuan ribuan tokoh Dayak yang digelar 125 tahun kemudian (22 Mei – 24 Juli 1894 ke 22 – 24 Juli 2019).

Apabila hasil pertemuan ribuan tokoh Dayak di Tumbang Anoi 1894 menghasilkan 9 point kesepakatan, dijabarkan dalam 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan potong kepala manusia, maka pertemuan serupa di tempat yang sama pada 125 tahun kemudian, 22 – 24 Juli 2019, melahirkan Protokol Tumbang Anoi 2019 (di antaranya melahirkan 2 organisasi Dayak bertaraf internasional, yaitu Dayak International Organization dan Yayasan Damang Batu Internasional).

Peran Gereja

Pemerintah Pusat sangat memahami, pendekatan kultural dibutuhkan di dalam menanangani Papua. Hal ini sudah berkali-kali diungkapkan, dan hal serupa pernah diungkapkan Menteri Agama Republik Indonesia, Lukman Hakim Saefudin, untuk melihat permasalahan masyarakat dengan hati, bukan dengan pendekatan sistem.

Kendati demikian, kehadiran Herman Arisabab di Kodam XVII/Cenderawasih dan Jopie Onesimus Wawangkau di Kodam XVIII/Kasuari, di dalam meredam kerusuhan di Papua, tidak akan ada artinya kalau, sistem pendekatan kultural tidak dilakukan secara menyeluruh.

Sehubungan dengan itu, diharapkan Pemerintah Pusat, tidak bersikap setengah hati di dalam memberikan kepercayaan kepada Herman Arisabab dan Jopie Onesimus Wawangkau. Jangan pula nantinya, teknis pendekatan kultural yang dilakukan Herman dan Jopie, lantas kemudian dicurigai dari aspek strategi intelijen, sehingga pada akhirnya bisa membuat masalah kembali menjadi rumit.

Salah satu yang segera dilakukan Herman dan Jopie, terus berkoordinasi dengan Gubernur Papua, Lukas Enembe, Gubernur Papua Barat, Dominggus Damancan, Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Papua, Irjen Pol Rudolt Albert Rodja dan Kapolda Papua Barat, Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak, terus melakukan pendekatan dengan Tokoh Gereja (Uskup, Pendeta dan Pastor).

Karena suka atau tidak suka, para tokoh Gereja punya pengaruh yang cukup signifikan di Tanah Papua, karena bisa berkomunikasi langsung dengan kalangan masyarakat akar rumput, termasuk dengan kelompok garis keras sekalipun.

Dalam kondisi Tanah Papua seperti sekarang, sangat mustahil situasi keaman bisa berjalan sesuai harapan, apabila tidak maksimal di dalam melibatkan tokoh Gereja. Sudah sejak lama para tokoh Gereja di Papua, menjadi salah satu mitra strategis Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, karena mampu berkomunikasi langsung dengan para kepala suku dan kelompok garis keras seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) di seluruh wilayah Tanah Papua.

Kardinal Ignatius Suharjo

Pengangkatan Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharjo Hardjoatmodjo menjadi Kardinal oleh Paus Fransiskus terhitung Minggu, 1 September 2019, barangkali dijadikan momentum bagi Pemerintah Republik Indonesia, memaksimalkan fungsi Tokoh Gereja di dalam meredam gejolak sosial di Tanah Papua.

Tugas dan fungi seorang Kardinal sebagai penasehat pribadi Paus, menjadi sangat strategis, karena Negara Vatikan, memiliki pengaruh yang cukup luas dalam diplomasi lintas negara.

Karena itulah, peran Gereja di dalam meredam permasalahan di Indonesia, jangan hanya sebatas langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, di dalam melobi Vatikan agar embargo minyak mentah kelapa sawit dari Indonesia, tidak meluas di kalangan Uni Eropa.

Peran Ignatius Suharjo Hardjoatmodjo yang ditabhiskan Paus Fransiskus menjadi Kardinal bersamai 11 Uskup dari negara lainnya di Vatikan, Sabtu, 5 Oktober 2019 mendatang, paling tidak bisa dijadikan salah satu pihak, untuk menjembatani kepentingan Jakarta dan Papua.

Harus diakui, sampai sekarang, masih ada jurang yang masih menganga lebar antara Jakarta dan Papua. Jurang itu, bisa diisi tokoh-tokoh Gereja, asalkan kemudian tidak lantas dicurigai dari aspek strategi intelijen.

Ignatius Suharjo Hardjoatmodjo bersama para Pendeta di lingkungan Gereja Kristen, barangkali bisa mengisi jurang yang masih menganga. Karena paling tidak berkontribusi para Tokoh Gereja Katolik dan Gereja Kristen, bisa memberikan masukan yang konstruktif bagi kepada Pemerintah Pusat, sebelum Presiden Joko Widodo, memutuskan berdialog dengan Tokoh Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sistem religi Papua

Terpenting di dalam melihat Tanah Papua, janganlah melihat Papua dari semata-mata sumber keyakinan iman para Pejabat Jakarta. Jangan melihat Papua dari ayat-ayat kitab suci agama-agama samawi, karena tidak akan menyelesaikan masalah.

Lihatlah Papua, dengan hati. Lihatlah Papua dari aspek religi Papua, yaitu legenda suci Papua, mitos suci Papua, adat istiadat Papua dan hukum adat Papua. Sistem religi Papua, telah berhasil membentuk karakter, jatidiri dan identitas orang Papua, sehingga ada di antaranya mereka yang berhasil menjadi pejabat tinggi di lingkungan militer dan kepolisian.

Pahami sistem religi Papua yang membentuk karakter, identitas dan jatidiri Papua, barulah permasalahan Papua bisa diselesaikan secara komprehensif, berkesinambungan dan mengikat semua pihak demi keutuhan NKRI.

Jangan biarkan orang Papua tercerabut dari akar budayanya.

Kebudayaan mencakup tiga pranata peradaban: sosial, ekonomi dan politik. Di subsektor pranata peradaban sosial, ada aspek religi dan mengatur hubungan antara manusia.

Jadi bicara masalah Kebudayaan Papua, otomatis di dalamnya harus bicara masalah sosial/religi Papua, ekonomi Papua dan politik Papua. (Aju)