Tolak Revisi UU KPK, FMAP YLBHI Sampaikan Tiga Tuntutan kepada Presiden

Loading

Jakarta (Independensi.com)
Forum mantan advokat publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (FMAP YLBHI) menolak dengan tegas revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mereka beralasan revisi terhadap UU KPK yang disetujui para wakil rakyat di DPR RI berpotensi mengancam serta melumpuhkan eksistensi dan kewenangan KPK.

Oleh karena itu FMAP YLBHI melalui rilis yang dikirim anggota forum Abdul Fickar Hadjar kepada Independensi.com, Selasa (10/9/2019) menyampaikan sikap dan tiga tuntutan.

Sikapnya yaitu menolak RUU Revisi KPK. Sedangkan tiga tuntutan yaitu: Pertama, mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak mengeluarkan Surat Presiden menyetujui pembahasan RUU Revisi UU KPK.

Kedua, mendesak Presiden Joko Widodo bersikap tegas menolak RUU Revisi UU KPK, dan Ketiga kembalikan RUU Revisi KPK kepada DPR RI

Ada sejumlah alasan FMAP YLBHI menolak revisi UU KPK. Antara lain RUU revisi UU KPK meniadakan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan.

Selain itu, kata Abdul Fickar, revisi UU KPK membentuk lembaga inkonstitusional yaitu Dewan Pengawas KPK serta penambahan wewenang untuk menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).

Padahal, tuturnya, saat ini KPK berhasil membongkar kasus-kasus korupsi karena adanya kewenangan penyadapan.

“Tapi jika KPK harus mendapat izin penyadapan dari Dewan Pengawas KPK, berpotensi ada intevensi dan penyalahgunaan persetujuan penyadapan tersebut,” kata staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini.

Selain itu, tuturnya, KPK secara konstitusional adalah lembaga negara independen. “Karena itu KPK harus diberi kewenangan untuk merekrut pegawainya secara independen termasuk rekruitmen penyidik dan penuntutnya sendiri.”

Dikatakannya juga KPK lembaga negara independen dan tidak berada di bawah lembaga eksekutif, legilsatif dan yudisial.

“Ratio legis UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas menegaskan kelahiran KPK merupakan trigger mechanism untuk pemberantasan korupsi di Indonesia,” kata Abdul Fickar.

Untuk itu, tuturnya, konsep trigger mechanism masih diperlukan di Indonesia dalam pemberantasan korupsi.

“Sehingga KPK punya wewenang yang unik sebagai penyidik dan penuntut, dan tidak mempunyai wewenang menerbitkan SP3. Trigger mechanism lahir dari asas korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau xtra ordinary crime,” ujarnya.

Dia menyebutkan “Bola panas” RUU Revisi UU KPK kini berada di tangan Presiden Joko Widodo yang pada kampanye Pilpres 2019 berjanji memperkuat KPK.
“Karena itu Preiden Jokowi harus membuktikan janjinya.”(MUJ)